Efikasi Bioinsektisida

Download as pdf or txt
Download as pdf or txt
You are on page 1of 15

Seminar Nasional dan Kongres PATPI 2008, Palembang 14-16 Oktober 2008

EFIKASI BIOINSEKTISIDA FORMULASI CAIR BERBAHAN


AKTIF Beauveria bassiana (BALS.) VUILL. DAN Metarhizium sp.
PADA WERENG PUNGGUNG PUTIH (Sogatella furcifera HORV.)

Siti Herlinda, Hartono, Chandra Irsan


Jurusan Hama dan Penyakit Tumbuhan Faperta dan Program Pascasarjana
Universitas Sriwijaya, Kampus Unsri Inderalaya, Ogan Ilir, Inderalaya 30662,
Email: [email protected]
ABSTRACT
The objective of the research was aimed to assess bioinsecticide activities of
Beauveria bassiana and Metarhizium sp. on Sogatella furcifera nymph. The application of
10 µl of each isolate solution tested to S. furcifera nymph by serial concentration 0, 103,
105, 107 spores/ml. The formulation used were B. bassiana fungi from corn mill
substrate+700 ml composted shrimp scale liquid extract (CSSE) 100%+300 g glucose
(A), Metarhizium sp. from corn mill substrate+700 ml CSSE 100%+300 g glucose (B),
Beauveria bassiana from rice substrate+700 ml CSSE 100%+300 g glucose (C),
Metarhizium sp. from rice substrate+ 700 ml CSSE 100%+300 g glucose (D), Beauveria
bassiana from SDB substrate+300 g glucose (E), Metarhizium sp. from SDB
substrate+300 glucose (F). The result showed that there were significantly effect of B.
bassiana and Metarhizium sp. substrate against the mortality of S. furcifera nymph on
BbA7, Mb7 and MD7 treatment. The highest nymph mortality on BbA7 treatment was
66.67% achieved from B. bassiana on corn mill substrate with concentration 107 spore/ml.
The lowest nymph mortality was 23.33% achived from B. bassiana on SDB substrate with
concentration 105 spores/ml. The shortest LT50 was 1.69 days achieved from B. bassiana
on corn mill substrate and the lowest 36.38 day from Metarhizium sp. on SDB substrate.
Laboratory tests on the use of B. bassiana and Metarhizium sp. for the control of S.
furcifera. Death nymph affected by B. bassiana and Metarhizium sp. will change in
colour; more black, hypotrophy and hardened as mummy. Hyphae formed on the surface
of nymph body between segments and the growth of white spores are the symptoms of
nymph affected by B. bassiana. The symptoms of nymph affected by Metarhizium sp. was
the formation of white fungi colonies as signed by B. bassiana, but the white colour would
be dark brownish.

PENDAHULUAN
Sumatera Selatan merupakan salah satu provinsi penghasil padi, produksi pada
tahun 2006 mencapai 2.456.251,00 ton, tahun 2007 mencapai 2.753.044,00 ton dan
diprediksi pada tahun 2008 sebesar 2.815.904,00 ton (Departemen Pertanian 2008).
Peningkatan produksi padi seringkali mengalami kegagalan karena adanya serangan hama
dan penyakit. Hama utama yang selalu menjadi kendala dalam produksi tanaman padi ialah

1
Seminar Nasional dan Kongres PATPI 2008, Palembang 14-16 Oktober 2008

Sogatella furcifera (Horv.) (Homoptera: Delphacidae). Hama ini mampu membentuk


populasi besar dalam waktu singkat dan merusak tanaman pada semua fase pertumbuhan.
Untung dan Tatang (1982) menyatakan S. furcifera menghisap cairan tanaman, sehingga
tanaman kekurangan cairan dan menjadi layu, lalu menguning, kemudian kering. S.
furcifera telah merusak 12,5 ha tanaman padi di Madiun, Jawa Timur (Ally 2007).
Upaya pengendalian hama yang selama ini dilakukan masih kurang memuaskan
terutama dalam menekan populasi S. furcifera berada pada batas ambang yang tidak
merugikan. Selain itu petani dalam menggunakan insektisida pada umumnya melebihi
dosis anjuran, akibatnya dapat mengganggu ekosistem dan kesehatan manusia.
Penggunaan insektisida yang tidak sesuai akan mengganggu keseimbangan musuh alami,
menyebabkan resurjensi atau ledakan hama serta resistensi hama (Supriyadi et al. 1999).
Untuk mengatasi permasalahan tersebut perlu alternatif pengendalian yang lebih baik,
aman dan ramah lingkungan. Pengendalian hayati yang merupakan komponen utama
pengendalian hama terpadu (PHT) menjadi salah satu alternatif pengendalian hama yang
baik, aman dan ramah lingkungan.
Pengendalian hayati dengan menggunakan jamur entomopatogen saat ini menjadi
pilihan utama. B. bassiana ialah jamur entomopatogen dapat membunuh serangga antara
lain ordo Coleoptera (Suprapto & Suroso 1998; Hasyim & Azwana 2003; Neves & Edson
2005), Lepidoptera (Winarto & Darmawati 2004; Herlinda et al. 2005), Thysanoptera
(Ludwig & Ronald 2002), Hemiptera (Herlinda et al. 2006a), Homoptera (Evi 2006),
Orthoptera (Thompson 2006) dan Diptera (Bernardi et al. 2006). Begitu juga dengan
jamur entomopatogen lainnya seperti Metarhizium sp. efektif membunuh serangga, antara
lain ordo Coleoptera (Gallegos et al. 2003), Lepidoptera (Prayogo et al. 2005), Isoptera
(Krutmuang & Supamit 2005), Thysanoptera (Thungrabeab et al. 2006), dan Orthoptera
(Tsakadze et al. 2003).
Berbagai kelebihan pemanfaatan jamur entomopatogen dalam pengendalian hama
ialah mempunyai kapasitas reproduksi yang tinggi, siklus hidupnya pendek, dapat
membentuk spora yang tahan lama di alam walaupun dalam kondisi yang tidak

2
Seminar Nasional dan Kongres PATPI 2008, Palembang 14-16 Oktober 2008

menguntungkan, relatif aman, bersifat selektif, relatif mudah diproduksi, dan sangat kecil
kemungkinan terjadi resistensi (Prayogo et al. 2005).
Kedua jamur di atas merupakan jamur yang dapat ditumbuhkan pada media buatan.
Faktor kelembaban, suhu dan makanan mempengaruhi pertumbuhan jamur pada media
buatan (Huffaker & Messenger 1989). Media substrat perbanyakan juga turut
mempengaruhi pembiakan jamur pada media buatan. Hasyim et al. (2005), menyatakan
bahwa media subsrat jagung dan beras merupakan substrat terbaik untuk pembiakan jamur
B. bassiana. Pengayaan media dengan penambahan tepung jangkrik yang kaya akan
kandungan khitin pada media SDB dapat meningkatkan kerapatan spora B. bassiana
(Herlinda et al. 2006b). Pada penelitian ini digunakan Ekstrak Kompos Kulit Udang
(EKKU). EKKU merupakan kompos yang kaya kandungan khitin. EKKU tersebut
digunakan sebagai bahan tambahan pada pembuatan formulasi bioinsektisida. Penelitian
ini bertujuan menguji kemanjuran bioinsektisida formulasi cair berbahan aktif B. bassiana
dan Metarhizium sp. pada nimfa S. frucifera.
BAHAN DAN METODE
Penelitian ini telah dilaksanakan di Laboratorium Entomologi Jurusan Hama dan
Penyakit Tumbuhan, Fakultas Pertanian, Universitas Sriwijaya. Penelitian ini
menggunakan metode Rancangan Acak Lengkap (RAL). Penelitian ini terdiri dari 19
perlakuan dan tiga ulangan pada masing-masing bioinsektisida formulasi cair adalah
sebagai berikut:
Kontrol = Kontrol (aquades)
BbA3 = Formulasi A dengan 103 spora B. bassiana per ml
BbA5 = Formulasi A dengan 105 spora B. bassiana per ml
BbA7 = Formulasi A dengan 107 spora B. bassiana per ml
MB3 = Formulasi B dengan 103 spora Metarhizium sp. per ml
MB5 = Formulasi B dengan 105 spora Metarhizium sp. per ml
MB7 = Formulasi B dengan 107 spora Metarhizium sp. per ml
BbC3 = Formulasi C dengan 103 spora B. bassiana per ml
BbC5 = Formulasi C dengan 105 spora B. bassiana per ml
BbC7 = Formulasi C dengan 107 spora B. bassiana per ml
MD3 = Formulasi D dengan 103 spora Metarhizium sp. per ml
MD5 = Formulasi D dengan 105 spora Metarhizium sp. per ml
MD7 = Formulasi D dengan 107 spora Metarhizium sp. per ml

3
Seminar Nasional dan Kongres PATPI 2008, Palembang 14-16 Oktober 2008

BbE3 = Formulasi E dengan 103 spora B. bassiana per ml


BbE5 = Formulasi E dengan 105 spora B. bassiana per ml
BbE7 = Formulasi E dengan 107 spora B. bassiana per ml
MF3 = Formulasi F dengan 103 spora Metarhizium sp. per ml
MF5 = Formulasi F dengan 105 spora Metarhizium sp. per ml
MF7 = Formulasi F dengan 107 spora Metarhizium sp. per ml

Penanaman Padi di Rumah Bayang dan Pembiakan Serangga Uji. Imago dan
nimfa S. furcifera dikumpulkan dari pertanaman padi di berbagai sentra produksi padi,
seperti di Banyuasin. Kemudian nimfa dibawa ke laboratorium dan dipelihara dalam
kurungan kasa berukuran 50 x 50 x 120 cm. Di dalam kurungan kasa tadi ditelakkan
tanaman padi fase vegetatif yang ditanam dalam pot plastik berdiameter 15 cm dan tinggi
20 cm untuk pakan dan tempat penelurannya. Setiap hari nimfa instar 1 yang terbentuk
dipindahkan ke dalam kurungan kasa yang lain berukuran 50 x 50 x 120 cm yang di
dalamnya terdapat pakan segar. Nimfa wereng yang digunakan untuk uji efikasi ialah
keturunan kedua (F2) atau setelahnya.
Perbanyakan Jamur pada Media Cair. Prosedur dalam memperbanyak jamur
entomopatogen dilakukan dengan dua tahap. Tahap pertama ialah produksi jamur di dalam
media cair (SDB), lalu dilanjutkan tahap kedua produksi pada media padat dengan cara
menginokulasikan inokulum dari media cari ke media padat jagung dan beras. Larutan
tersebut diambil sebanyak 50 ml dan dimasukkan ke dalam botol selai berbentuk tabung
tahan panas (volume 250 ml), ditutup dengan aluminium foil dan plastik. Botol berisi
substrat ini selanjutnya disterilkan di dalam otoklaf bersuhu 121 oC selama 15 menit.
Setelah itu, biakan murni Metarhizium sp. yang berasal dari GYA di atas diinokulasikan
sebanyak 10 potong (ukuran 0,5 x 0,5 cm per potong) ke dalam botol selai yang berisi
medium perbanyakan. Selanjutnya botol selai tersebut digoyang dengan shaker selama
tujuh hari pada suhu kamar guna mendapatkan spora yang optimal dan virulen. Jumlah
botol selai yang berisi biakan yang dibuat sebanyak 50 botol.
Perbanyakan spora pada media jagung giling. Isolat B. bassiana dan
Metarhzium sp. terbaik hasil kegiatan 2 di atas selanjutnya diperbanyak. Perbanyakan
spora masing-masing jamur ini dilakukan pada media jagung giling yang dicampur dengan

4
Seminar Nasional dan Kongres PATPI 2008, Palembang 14-16 Oktober 2008

200 ml EKKU 20% dan 300 ml aquades per 1000 g media dan didiamkan selama 20-30
menit, kemudian dimasukkan ke dalam plastik tahan panas sebanyak 100 gram/plastik.
Sebelum jamur diinokulasikan, campuran tersebut terlebih dahulu disterilkan di dalam
otoklaf. EKKU yang merupakan fermentasi kompos campuran pupuk kandang sapi dan
tepung kulit udang dibuat dengan mengikuti metode Suwandi (2004). Setelah media
campuran tadi disterilkan lalu diinokulasikan dengan biakan murni jamur sebanyak 10 ml
inokulum jamur B. bassiana dan Metarhizium sp. untuk 100 g media perbanyakan dengan
menggunakan pipet tetes. Media jagung yang telah diinokulasikan jamur ini diinkubasikan
pada suhu kamar selama 10 hari. Biakan B. bassiana ini pada jagung diberi kode A dan
Metarhizium sp. pada jagung diberi kode B. Selanjutnya akan dibuat formulasi cair.
Perbanyakan spora pada media beras. Perbanyakan spora B. bassiana dan
Metarhzium sp. masing-masing dilakukan pada media beras yang dicampur dengan 200 ml
EKKU 20% dan 300 ml aquades per 1000 g media seperti pada kegiatan perbanyakan
spora pada media jagung. Setelah media beras ini disterilkan lalu diinokulasikan dengan
biakan murni jamur sebanyak masing-masing 10 ml inokulum jamur B. bassiana dan
Metarhizium sp. untuk 100 g media perbanyakan. Media beras yang telah diinokulasikan
jamur ini diinkubasikan pada seuhu kamar selama 10 hari. Biakan B. bassiana dan
Metarhizium sp. ini pada beras diberi kode C dan Metarhizium sp. pada beras diberi kode
D. Biakan jamur ini selanjutnya akan dibuat formulasi cair.
Perbanyakan spora pada media SDB. Perbanyakan spora B. bassiana dan
Metarhzium sp. pada media SDB (komposisi 30 g/l media). Sebelaum biakan murni jamur
diinokulasikan, medua tersebut disterilkan lebih dahulu di dalam otoklaf. Setelah itu,
diinokulasikan biakan murni B. bassiana sebanyak 10 ml untuk 50 ml media perbanyakan,
begitu juga untuk isolat Metarhizium sp. Media SDB yang telah diinokulasikan jamur ini
diinkubasikan pada suhu kamar selama 10 hari sambil dishaker guna mendapatkan spora
yang optimal. Biakan B. bassiana pada SDB ini diberi kode E dan Metarhizium sp. pada
SDB diberi kode F. Biakan jamur ini selanjutnya akan dibuat formulasi cair.
Pembuatan Formulasi A dan B. Biakan B. bassiana (A) dan Metarhizium sp.
pada jagung giling (B) di atas dicampur dengan larutan EKKU 100% yang sebelumnya

5
Seminar Nasional dan Kongres PATPI 2008, Palembang 14-16 Oktober 2008

telah diotoklaf dengan suhu 121 oC dan tekanan 1,5 atm selama 15 menit. EKKU 100%
dituangkan ke dalam biakan tadi sebanyak 700 ml hingga didapatkan kerapatan spora
mencapai 109 spora/ml. Lalu campuran media jagung giling, EKKU 100% dan jamur ini
diblender, kemudian disaring dengan saringan diameter 1 mm. Hasil saringannya
kemudian ditambahkan 300 g gula pasir. Formulasi cari ini lalu dimasukkan ke dalam
botol gelas bening tahan panas (diameter 5 cm, bervolume 500 ml) yang steril, lalu ditutup
dengan alluminium foil dan siap diaplikasikan atau disimpan. Untuk penyebutan
berikutnya formulasi ini sebagai bioinsektisida formulasi A yang berbahan aktif B.
bassiana dan formulasi B untuk yang berbahan aktif Metarhizium sp. Pembuatan
bioinsektisida ini dilakukan sebanyak 25 botol (bervolume 200 ml) untuk masing-masing
formulasi (total 50 botol untuk formulasi A dan B).
Pembuatan Formulasi C dan D. Biakan B. bassiana (C ) dan Metarzhizium sp.
pada beras (D) di atas masing-masing dicampur dengan larutan EKKU 100% yang
sebelumnya telah diotoklaf dengan suhu 121 oC dan tekanan 1,5 atm selam 15 menit.
EKKU 100% dituangkan ke dalam biakan tadi sebanyak 700 ml hingga didapatkan
kerapatan spora mencapai 109 spora per ml. Lalu campur media jagung EKKU dan jamur
ini diblender, kemudian disaring dengan saringan berdiameter 1 mm. Hasil saringannya
kemudian ditambahkan 300 g gula pasir. Formulasi ini lalu dimasukkan ke dalam botol
gelas bening tahan panas (diameter 5 cm, bervolume 500 ml) yang steril, lalu ditutup
dengan aluminium foil dan siap diaplikasikan atau disimpan. Untuk penyebutan
berikutnya formulasi ini sebagai bioinsektisida formulasi C untuk yang berbahan aktif B.
bassiana, sedangkan formulasi D untuk yang berbahan aktif Metarhizium sp. Pembuatan
bioinsektisida ini dilakukan sebanyak 25 botol (volume 200 ml) untuk masing-masing
formulasi (total 50 botol untuk formulasi C dan D).
Pembuatan Formulasi E dan F. Biakan B. bassiana (E) dan Metarhizium sp.
pada SDB (F) di atas masing-masing diblender, kemudian disaring dengan saringan
berdiameter 1 mm. Masing-masing suspensi ini ditambahkan 300 g gula pasir yang
berfungsi sebagai pengawet. Campuran biakan pada SDB ini dan gula pasir untuk
selanjutnya disebut formulasi E untuk yang berbahan aktif B. bassiana dan formulasi F

6
Seminar Nasional dan Kongres PATPI 2008, Palembang 14-16 Oktober 2008

yang berbahan aktif Metarhizium sp. Pembuatan bioinsektisida ini dilakukan sebanyak 25
botol (volume 200 ml) untuk masing-masing formulasi (total 50 botol untuk formulasi E
dan F).
Uji Efikasi Bioinsektisida formulasi cair terhadap Wereng Punggung Putih.
Bioinsektisida formulasi cair yang baru dibuat di atas (A, B, C, D, E, dan F) (berumur 7
hari) diuji kefektifannya dengan uji efikasi dengan konsentrasi 103, 105, 107 spora/ml,
EKKU dan kontrol (aquades). Uji efikasi dilakukan dengan cara meneteskan 10 µl
bioinsektisida tadi pada kerapatan spora berbeda secara topikal pada instar ketiga wereng
punggung putih yang baru ganti kulit. Setiap perlakuan diaplikasikan pada 10 nimfa uji
dan diulang sebanyak tiga kali. Cara yang sama juga dilakukan pada bioinsektisida
lainnya.
Nimfa yang telah diaplikasi dengan formulasi cair bioinsektisida selanjutnya
dipelihara dalam silinder plastik (diameter 8,5 cm dan tinggi 40 cm) yang ditutup kain kasa
dan di dalamnya terdapat tanaman padi fase vegetatif. Percobaan ini diulang sebanyak tiga
kali. Setiap 3 jam selama fase nimfa dicatat nimfa yang mati, jumlah nimfa yang tersisa
yang membentuk imago dicatat setiap hari hingga semua nimfa menjadi imago.
Analisis Data. Data persentase mortalitas nimfa disajikan dalam bentuk tabulasi
dianalisis secara deskriptif. Nilai LT50 akan dianalisis menggunakan analisa probit
dengan bantuan program SAS-STAT pada SAS 6.12. Perbedaan data mortalitas nimfa
antar perlakuan dianalisis menggunakan ANOVA dan diuji lanjut dengan uji BNJ.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil penelitian menunjukkan bahwa setelah nimfa S. furcifera diaplikasi dengan
bioinsektisida formulasi cair berbahan aktif jamur B. bassiana dan Metarhizium sp. didapat
mortalitas nimfa yang berbeda sangat nyata pada perlakuan BbA7, MB7 dan MD7.
Mortalitas tertinggi ditemukan pada perlakuan BbA7, yaitu formulasi A dengan
konsentrasi 107 spora B. bassiana per ml (Tabel 1).
LT50 merupakan batas waktu yang menunjukkan jumlah kematian jasad sasaran telah
mencapai 50%. Hasil penelitian menunjukkan bahwa nilai LT50 tercepat pada perlakuan

7
Seminar Nasional dan Kongres PATPI 2008, Palembang 14-16 Oktober 2008

BbA7 yaitu 1,69 hari dan kematian nimfa paling lambat pada perlakuan MF7 sebesar 36,38
hari (Tabel 2).
Tabel 1. Rerata mortalitas S. furcifera setelah diaplikasi bioinsektisida formulasi cair
dengan konsentrasi spora yang berbeda

Kode Perlakuan Mortalitas (%) BNT 5%


Kontrol 0,00 (0,71) a
BbE5 23,33 (4,76) b
BbC3 26,67 (5,04) b
MF7 30,00 (5,47) b
BbA3 33,33 (5,61) b
BbE3 33,33 (5,72) b
BbC5 40,00 (6,15) b
MF3 40,00 (6,27) b
MF5 40,00 (6,33) b
MD5 43,33 (6,43) b
MB3 43,33 (6,55) b
BbC7 46,67 (6,76) b
MD3 46,67 (6,76) b
MB5 46,67 (6,80) b
BbE7 50,00 (7,03) b
BbA5 50,00 (7,11) b
MB7 56,67 (7,22) c
MD7 56,67 (7,55) c
BbA7 66,67 (8,00) c

Angka dalam kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama berarti tidak berbeda nyata (BNT0,05);
angka yang di dalam kurung adalah data yang ditransformasi x + 0,5

Hasil penelitian menunjukkan bahwa mortalitas nimfa S. furcifera setelah diaplikasi


dengan bioinsektisida formulasi cair berbahan aktif jamur B. bassiana dan Metarhizium sp.
berbeda sangat nyata pada perlakuan BbA7, MB7 dan MD7. Mortalitas tertinggi
ditemukan pada perlakuan BbA7 yaitu formulasi A dengan konsentrasi 107 spora B.
bassiana per ml (Tabel 1). Penelitian ini memperkuat kesimpulan Sari (2004); Prayogo
(2006); Suprapto dan Suroso (1998); Hasyim dan Azwana (2003), bahwa semakin tinggi
konsentrasi jamur entomopatogen yang diaplikasikan, maka kematian larva Plutella
xylostella, Spodoptera litura, Lophobaris piperis dan Cosmopolites sordidus makin tinggi.

8
Seminar Nasional dan Kongres PATPI 2008, Palembang 14-16 Oktober 2008

Tabel 2. LT50 dari bioinsektisida formulasi cair berbahan aktif jamur B. bassiana dan
Metarhizium sp.
Kode Perlakuan LT50 (hari) Selang Kepercayaan (hari)
Terendah Tertinggi
BbA3 14,16 9,65 27,12
BbA5 5,68 4,55 7,78
BbA7 1,69 1,39 2,00
MB3 7,60 5,69 12,02
MB5 5,64 4,61 7,48
MB7 2,99 2,48 3,69
BbC3 14,57 10,40 25,34
BbC5 8,24 6,72 11,07
BbC7 5,91 4,64 8,46
MD3 7,05 5,56 10,02
MD5 6,09 5,18 7,58
MD7 3,19 2,76 3,75
BbE3 11,07 8,50 16,64
BbE5 11,83 9,12 18,75
BbE7 4,56 3,94 5,48
MF3 9,05 6,61 15,07
MF5 8,63 6,63 12,92
MF7 36,38 16,13 243,79

Mortalitas tertinggi terjadi pada perlakuan BbA7 yaitu B. bassiana asal substrat
jagung giling (66,67%). Diduga hal itu dipengaruhi oleh asal isolat dan asal substrat.
Isolat yang digunakan pada penelitian ini ialah isolat yang diisolasi dari Chrysodeixes
chalchites (Lepidoptera: Noctuidae). Berdasarkan hasil penelitian Mahdalena (2007),
bahwa isolat tersebut dapat mematikan nimfa L. acuta sampai 78%.
Jagung giling memiliki kandungan nutrisi yang cocok bagi pertumbuhan dan
perkembangan jamur B. bassiana. Syahrir (2007) melaporkan bahwa jagung banyak
mengandung protein dan karbohidrat. Protein dan karbohidrat sangat dibutuhkan jamur
untuk pertumbuhan vegetatif dan pembentukan spora, spora yang terbentuk berkecambah
lebih cepat dan memiliki virulensi tinggi serta menyebabkan nimfa S. furcifera cepat mati.
Hal ini sejalan dengan penelitian Hasyim et al. (2005), bahwa daya kecambah isolat B.
bassiana yang dibiakkan pada media jagung giling lebih tinggi yakni sebesar 86,47%.

9
Seminar Nasional dan Kongres PATPI 2008, Palembang 14-16 Oktober 2008

Selain itu, diduga penambahan nutrisi berupa khitin yang berasal dari EKKU dapat
meningkatkan virulensi jamur B. bassiana. Hal ini sejalan dengan penelitian Herlinda et
al. (2006b), bahwa pengayaan media dengan penambahan tepung jangkrik yang
mengandung khitin dapat meningkatkan kerapatan spora B. bassiana, dan menyebabkan
kematian larva Plutella xylostella sampai 78,33%.
Mortalitas terendah terjadi pada bioinsektisida formulasi cair bahan aktif jamur B.
bassiana asal substrat SDB sampai 23,33%. Hasil penelitian ini relatif sama dengan hasil
penelitian Dewi (2007), bahwa B. bassiana tersebut mematikan larva Plutella xylostella
sekitar 14,44%. Diduga hal itu ada kaitannya dengan kandungan nutrisi di dalam media
SDB yang kurang sesuai untuk pertumbuhan dan perkembangan jamur entomopatogen.
Huffaker dan Messenger (1989) melaporkan bahwa jamur entomopatogen
memasuki inang dari bagian luar melalui kontak dengan integument serangga. Selanjutnya
spora infektif akan melekat pada kutikula serangga inang yang peka, berkecambah
membentuk tabung kecambah menembus kutikula serangga inang menuju ke hemocoel.
Di dalam hemocoel jamur akan tumbuh dan berkembang dengan membentuk pertunasan
(budding) tubuh hifa sampai seluruh ruang hemocoel terisi oleh massa hifa dan serangga
inang mati (Purnomo 2005).
Suhu rata-rata 25,91 oC dan kelembaban nisbi udara relatif 84,42% di ruangan
penelitian mendukung kehidupan jamur B. bassiana dan Metarhizium sp. Kedua faktor ini
sangat penting dalam mempengaruhi kemampuan spora berkecambah dan menginfeksi
nimfa S. furcifera. Menurut Sheroze et al. (2003), bahwa kelembaban relatif 80% dan
suhu 30 oC merupakan kondisi yang baik untuk pertumbuhan jamur B. bassiana dan M.
anisopliae.
Waktu yang dibutuhkan untuk menyebabkan kematian serangga uji bervariasi
tergantung pada virulensi patogen, sifat resistensi inang dan kondisi lingkungan mikro di
tubuh inang (Purnomo 2005). Kemampuan membunuh 50% serangga uji pada setiap
formulasi berbeda-beda. Hasil penelitian diketahui bahwa formulasi yang paling cepat
membunuh 50% serangga uji ialah B. bassiana substrat jagung giling dengan konsentrasi
107 spora per ml. Waktu kematian terjadi setelah 1,69 hari pada perlakuan B. bassiana asal

10
Seminar Nasional dan Kongres PATPI 2008, Palembang 14-16 Oktober 2008

substrat jagung giling dan yang paling lama setelah 36,38 hari pada perlakuan
Metarhizium sp. asal substrat SDB.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa aplikasi bioinsektisida formulasi cair berbahan
aktif jamur B. bassiana dan Metarhizium sp. mempengaruhi morfologi nimfa yang mati.
Tubuh S. furcifera yang mati disebabkan oleh jamur B. bassiana dan Metarhizium sp.
berwarna pucat, ukurannya mengecil dan mengeras seperti mumi. Sepuluh hari setelah
serangga uji itu mati pada permukaan tubuhnya terdapat massa spora jamur. Tubuh atau
mumi S. furcifera yang terinfeksi jamur B. bassiana berwarna putih (Gambar 1). Tubuh
atau mumi S. furcifera terinfeksi jamur Metarhizium sp. pada permukaan tubuhnya
terdapat massa spora jamur berwarna hijau.

a b c

Gambar 1. Nimfa Sogatella furcifera sehat (a), yang sakit terinfeksi jamur B. bassiana
(b) dan yang sakit terinfeksi jamur Metarhizium sp. (c)

KESIMPULAN DAN SARAN

Dari penelitian dapat disimpulkan bahwa bioinsektisida formulasi cair bahan aktif
B. bassiana asal substrat jagung giling+200 ml EKKU 20%+300 ml aquades dengan
konsentrasi 107 spora/ml dapat mematikan nimfa S. furcifera sebesar 66,67%.
Bioinsektisida formulasi cair mempengaruhi morfologi nimfa S. furcifera. Tubuh nimfa S.
furcifera yang mati disebabkan oleh jamur B. bassiana berwarna pucat, mengecil dan
mengeras seperti mumi. Tubuh atau mumi S. furcifera yang terinfeksi jamur B. bassiana
berwarna putih dan berwarna hijau yang terinfeksi jamur Metarhizium sp. Nilai LT50
tercepat ialah 1,69 hari terjadi pada perlakuan jamur B. bassiana asal substrat jagung
giling+200 ml EKKU 20%+300 ml aquades.

11
Seminar Nasional dan Kongres PATPI 2008, Palembang 14-16 Oktober 2008

Berdasarkan hasil penelitian disarankan dalam pembuatan bioinsektisida


menggunakan media perbanyakan jagung giling+200 ml EKKU 20%+300 ml aquades.
UCAPAN TERIMA KASIH
Penelitian ini merupakan bagian dari Insentif Riset Terapan yang didanai oleh
Program Insentif, Kementerian Negara Riset dan Teknologi, Sesuai dengan Surat
Perjanjian Pelaksanaan Program Insentif Tahun Anggaran 2007 Nomor:
94/RT/Insentif/PPK/I/2007, tanggal 15 Januari 2007 a.n. Siti Herlinda.
DAFTAR PUSTAKA
Ally A. 2007. Wereng Serang Ratusan Hektar Tanaman Padi di Madiun. (online)
(http:www.detik.com). Diakses 21 November 2007.
Anonim. 2005. Budidaya Padi. Dinas Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Bantul.
(online). (http://www.teknologi tepat guna/budidaya pertanian/budidaya padi.htm).
Diakses 15 Mei 2007.
Bernardi E, Pinto DM, do Nascimento JS, Ribeiro PB, da Silva CI 2006. Effect of The
Entomopathogenic Fungi Metarhizium anisopliae and Beauveria bassiana on The
Development of Musca domestica L. (Diptera: Muscidae) in The Laboratory. Arq.
Inst. Biol. 73(1):127-129.
Departemen Pertanian. 2008. Produksi Padi. Deptan. Jakarta.
Deptan. 2008. Whitebacked planthopper. (Online). (www.pustaka-deptan.go.id/rkb/
knowledgeBank/troprice/I-whiteb-phopper.htm). Diakses 27 Juli 2008.
Dewi C. 2007. Konsentrasi Sub-Lethal Beauveria bassiana (Bals.) Vuill. Terhadap
Perkembangan Larva Plutella xylostella (Linn.) (Lepidoptera: Yponomeutidae).
Fakultas Pertanian Universitas Sriwijaya. Indralaya. [Skripsi].
Direktorat Jenderal Bina Produksi Perkebunan. 2002. Musuh Alami, Hama dan Penyakit
Tanaman Kopi. Direktorat Perlindungan Perkebunan, Direktorat Jenderal Bina
Produksi Perkebunan. Jakarta.
Evi SY. 2006. Beauveria bassiana Pengendali Hama Tanaman. Warta Penelitian dan
Pengembangan Pertanian Vol. 28 No. 1. Pacet-Cianjur.
Ferron P. 1985. Fungal Control. Comprehensive Insect Phisiology, Biochem.
Pharmacol.(12):313-346.
Gallegos RP, Cesar A, Roger W, Anibal M, German A. 2003. Control of the Larvae of
the Beetle Phyllophaga sp. with Biological Products (Metarhizium anisopliae and
Beauveria sp.) in the Blackberry Crop Rubus glaucus Benth. Ohio State University.
Hasyim A, Azwana. 2003. Patogenisitas Isolat Beauveria bassiana (Bals.) Vuill. Dalam
Mengendalikan Hama Penggerek Bonggol Pisang, Cosmopolites sordidus Germar.
J. Hort. 13:120-130.
Hasyim A, Yasir H, Azwana. 2005. Seleksi Substrat untuk Perbanyakan Bbeauveria
bassiana (Bals.amo) Vuillemin dan Infektivitasnya terhadap Hama Penggerek
Bonggol Pisang, Cosmopolites sordidus Germar. J. Hort 15(2):116-123.

12
Seminar Nasional dan Kongres PATPI 2008, Palembang 14-16 Oktober 2008

Herlinda S, Era MS, Yulia P, Suwandi, Elisa N, Anung R. 2005. Variasi Virulensi Strain-
strain Beauveria bassiana (Bals.) Vuill. Terhadap Larva Plutella xylostella (L.)
(Lepidoptera: Plutellidae). Agritrop 24(2):52-57.
Herlinda S, Hamadiyah, Triani A, Rosdah T. 2006a. Toksisitas Isolat-isolat Beauveria
bassiana (Bals.) Vuill. Terhadap Nimfa Erydema pulchrum (Wetw.) (Hemiptera:
Pentatomidae). Agria 2(2):34-37.
Herlinda S, Muhamad DU, Yulia P, Suwandi. 2006b. Kerapatan dan Viabilitas Spora
Beauveria bassiana (Bals.) Vuill. Akibat Subkultur dan Pengayaan Media, serta
Virulensinya Terhadap Larva Plutella xylostella (Linn.). J. HPT 6(2):70-78.
Huffaker CB, Messenger PS. 1976. Theory and Practice of Biological Control.
Diterjemahkan oleh Soeprapto M. 1989. Teori dan Praktek Pengendalian Biologis.
Universitas Indonesia Press.
IRRI. 2005. Ilmu Padi Bagi Dunia yang Lebih Baik. (online). (http://BPH%20Ind.pdf).
Diakses 15 Mei 2007.
Kalshoven LGE. 1981. The Pests of Crops in Indonesia. Laan PA van der, penerjemah.
Jakarta: Ichtiar Baru-Van Hoeve. Terjemahan dari: De Plagen van de
Culuurgewassen in Indonesie.
Krutmuang P, Supamit M. 2005. Pathogenicity of Entomopathogenic Fungi Metarhizium
anisopliae Against Termites. In: Conference on International
Kusmayadi A. 1995. Permasalahn Lapangan tentang Padi di Daerah Tropika. Lembaga
Penelitian Padi Internasional. Jakarta.
Lee PC, Hou R. 1989. Pathogenesis of Metarhizium anisopliae var. anisopliae in the
smaller brown planthopper, laodelphax striatellus. Chinese J. Entomol. (9):13-19.
Ludwig SW, Ronald DO. 2002. Effycacy of Beauveria bassiana Plus Insect Attaractants
for Enhanched Control of Frankliniella occidentalis (Thysanoptera:Thripidae). J.
Florida Entomol. 85(1):270-272.
Mahdalena N. 2007. Seleksi Isolat Beauveria bassiana (Bals.amo) Vuillemin dan
Metarhizium sp. Dalam Menimbulkan Mortalitas Terhadap Nimfa Walang Sangit
(Leptocorixa acuta) (Thunb.) (Hemiptera:alydidae). Fakultas Pertanian Universitas
Sriwijaya. Indralaya. [Skripsi].
Neves PMOJ, Edson H. 2005. Beauveria bassiana Strains Selection for Biological
Control of the Coffee Berry Borer, Hypothenemus hampei (ferrari) (Coleoptera:
Scolytidae). J. Neotrop. Entomol. 34(1):77-82.
Prayogo Y, Tengkano W. 2002a. Pengaruh media tumbuh terhadap daya kecambah,
sporulasi dan virulensi Metarhizium anisopliae (Metchnikoff) Sorokin isolat
Kendalpayak pada larva Spodoptera litura. Sainteks. Jurnal Ilmiah Ilmu-ilmu
Pertanian. (9)4:233-242.
Prayogo Y, Wedanimbi T, Marwoto. 2005. Prospek Cendawan Entomopatogen
Metarhizium anisopliae untuk Mengendalikan Ulat Grayak Spodoptera litura Pada
Kedelai. J. Litbang Pertanian, 24(1):19-26.
Prayogo Y. 2006. Upaya Mempertahankan Keefektifan Cendawan Entomopatogen untuk
Mengendalikan Hama Tanaman Pangan. J. Litbang Pertanian, 25(2):47-54.

13
Seminar Nasional dan Kongres PATPI 2008, Palembang 14-16 Oktober 2008

Prijono H. 1989. Penuntun Praktikum Pengujian Pestisida. Jurusan Hama dan Penyakit
Tumbuhan, Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor.
Purnomo H. 2005. Patogen Serangga. (Online). (http://www.patogen_serangga.pdf).
Diakses 17 Desember 2007.
Sari EM. 2004. Evaluasi Awal Keefektifan Isolat-Isolat Beauveria bassiana (Bals.amo)
Vuillemin Dalam Membunuh Larva Plutella xylostella Linn.
(Lepidoptera:yponomeutidae). FP Unsri. Indralaya. [skripsi].
Sheroze A, Rashid A, Shakir AS, Khan SM. 2003. Effect of Bio-control Agents on Leaf
Rust of Wheat and Iinfluence of Different Temperature and Humidity Levels on
Their Colony Growth. Int. J. of Agri. Biol. 5(1):83-85.
Suprapto, Suroso. 1998. Pengaruh Konsentrasi Cendawan Beauveria bassiana Vuill
Terhadap Aspek Biologi Penggerek Batang Lada (Lophobaris piperis Mars.)
(Curculionidae: Coleoptera). Seminar Nasional PEI. Lampung.
Supriadiputra S, Ade IS. 2003. Mina Padi. Penebar Swadaya. Jakarta.
Supriyadi, Supyani, Hermastini LS. 1999. Pengaruh Beberapa Cara Pengendalian Kutu
Daun (Homoptera:Aphididae) pada Pertanaman Cabai Merah terhadap Populasi
Serangga Pemangsa. Prosiding Simposium Keanekaragaman Hayati Arthropoda.
Solo.
Suwandi. 2004. Efikasi Ekstrak Kompos Kulit Udang untuk Pengendalian Penyakit pada
Daun Tanaman Kacang Panjang, Cabai dan Kubis. J. Pest Trop. 1(2):18-24.
Syahrir S. 2007. Substtitusi Jagung dengan Gabah Dalam Ransum Broiler Fase Finisher.
Buletin Nutrisi dan Makanan Ternak. 6(1):25-30.
Tanada Y dan Kaya HK. 1993. Insect Pathology. Academic Press, Inc., California. 666
pp.
Thompson SR. 2006. Enhancing the Efficacy of Beauveria bassiana for Mole Cricket
(Orthoptera: Gryllotalpidae) Control in Turfgrass. Australia: North Carolina State
University. [Dissertation].
Thungrabeab M, Peter B, Cetin S. 2006. Possibilities for biocontrol of the onion thrips
Thrips tabaci Lindeman (Thys.,Thripidae) using different entomopathogenic fungi
from Thailand. J. Mitt. Dtsch. Ges. Allg. Angew. Ent. 15:299-304.
Tjitrosoepomo G. 2002. Taksonomi Tumbuhan (Spermatophyta). Gadjah Mada
University Press. Yogyakarta.
Tsakadze T, Abashidze E, Samadashvili D, Odikadze K. 2003. Fungi of Genus
Metarhizium as Pathogens Attacking Locust. L. Kanchaveli Georgian Plant
Protection Institute.
Tsay JG, Lee MJ, Ruey SC. 2001. Evaluation of Beauveria bassiana for Controlling
Casuarina Tussock Moth (Lymantria xylina Swinhoe) in Casuarina Plantations. J.
Bioc. Of Casuarina Tussock Moth 16(4):201-207.
Untung K, Tatang S. 1982. Aspek Populasi Wereng Coklat (Nilaparvata lugens Stal)
Wereng Hijau (Nephotettix spp.) dan Wereng Punggung Putih (Sogatella furcifera
Horvath.) di Lapangan. Fakultas Pertanian UGM. Yogyakarta.

14
Seminar Nasional dan Kongres PATPI 2008, Palembang 14-16 Oktober 2008

Winarto L, Darmawati N. 2004. Teknologi Pengendalian Hama Plutella xylostella dengan


Insektisida dan Agensia Hayati Pada Kubis di Kabupaten Karo. J. Pengkajian dan
Pengembangan Tekper. 7(1):27-33.
Yandianto. 2003. Bercocok Tanam padi. M2S Bandung. Bandung.

15

You might also like