Efikasi Bioinsektisida
Efikasi Bioinsektisida
Efikasi Bioinsektisida
PENDAHULUAN
Sumatera Selatan merupakan salah satu provinsi penghasil padi, produksi pada
tahun 2006 mencapai 2.456.251,00 ton, tahun 2007 mencapai 2.753.044,00 ton dan
diprediksi pada tahun 2008 sebesar 2.815.904,00 ton (Departemen Pertanian 2008).
Peningkatan produksi padi seringkali mengalami kegagalan karena adanya serangan hama
dan penyakit. Hama utama yang selalu menjadi kendala dalam produksi tanaman padi ialah
1
Seminar Nasional dan Kongres PATPI 2008, Palembang 14-16 Oktober 2008
2
Seminar Nasional dan Kongres PATPI 2008, Palembang 14-16 Oktober 2008
menguntungkan, relatif aman, bersifat selektif, relatif mudah diproduksi, dan sangat kecil
kemungkinan terjadi resistensi (Prayogo et al. 2005).
Kedua jamur di atas merupakan jamur yang dapat ditumbuhkan pada media buatan.
Faktor kelembaban, suhu dan makanan mempengaruhi pertumbuhan jamur pada media
buatan (Huffaker & Messenger 1989). Media substrat perbanyakan juga turut
mempengaruhi pembiakan jamur pada media buatan. Hasyim et al. (2005), menyatakan
bahwa media subsrat jagung dan beras merupakan substrat terbaik untuk pembiakan jamur
B. bassiana. Pengayaan media dengan penambahan tepung jangkrik yang kaya akan
kandungan khitin pada media SDB dapat meningkatkan kerapatan spora B. bassiana
(Herlinda et al. 2006b). Pada penelitian ini digunakan Ekstrak Kompos Kulit Udang
(EKKU). EKKU merupakan kompos yang kaya kandungan khitin. EKKU tersebut
digunakan sebagai bahan tambahan pada pembuatan formulasi bioinsektisida. Penelitian
ini bertujuan menguji kemanjuran bioinsektisida formulasi cair berbahan aktif B. bassiana
dan Metarhizium sp. pada nimfa S. frucifera.
BAHAN DAN METODE
Penelitian ini telah dilaksanakan di Laboratorium Entomologi Jurusan Hama dan
Penyakit Tumbuhan, Fakultas Pertanian, Universitas Sriwijaya. Penelitian ini
menggunakan metode Rancangan Acak Lengkap (RAL). Penelitian ini terdiri dari 19
perlakuan dan tiga ulangan pada masing-masing bioinsektisida formulasi cair adalah
sebagai berikut:
Kontrol = Kontrol (aquades)
BbA3 = Formulasi A dengan 103 spora B. bassiana per ml
BbA5 = Formulasi A dengan 105 spora B. bassiana per ml
BbA7 = Formulasi A dengan 107 spora B. bassiana per ml
MB3 = Formulasi B dengan 103 spora Metarhizium sp. per ml
MB5 = Formulasi B dengan 105 spora Metarhizium sp. per ml
MB7 = Formulasi B dengan 107 spora Metarhizium sp. per ml
BbC3 = Formulasi C dengan 103 spora B. bassiana per ml
BbC5 = Formulasi C dengan 105 spora B. bassiana per ml
BbC7 = Formulasi C dengan 107 spora B. bassiana per ml
MD3 = Formulasi D dengan 103 spora Metarhizium sp. per ml
MD5 = Formulasi D dengan 105 spora Metarhizium sp. per ml
MD7 = Formulasi D dengan 107 spora Metarhizium sp. per ml
3
Seminar Nasional dan Kongres PATPI 2008, Palembang 14-16 Oktober 2008
Penanaman Padi di Rumah Bayang dan Pembiakan Serangga Uji. Imago dan
nimfa S. furcifera dikumpulkan dari pertanaman padi di berbagai sentra produksi padi,
seperti di Banyuasin. Kemudian nimfa dibawa ke laboratorium dan dipelihara dalam
kurungan kasa berukuran 50 x 50 x 120 cm. Di dalam kurungan kasa tadi ditelakkan
tanaman padi fase vegetatif yang ditanam dalam pot plastik berdiameter 15 cm dan tinggi
20 cm untuk pakan dan tempat penelurannya. Setiap hari nimfa instar 1 yang terbentuk
dipindahkan ke dalam kurungan kasa yang lain berukuran 50 x 50 x 120 cm yang di
dalamnya terdapat pakan segar. Nimfa wereng yang digunakan untuk uji efikasi ialah
keturunan kedua (F2) atau setelahnya.
Perbanyakan Jamur pada Media Cair. Prosedur dalam memperbanyak jamur
entomopatogen dilakukan dengan dua tahap. Tahap pertama ialah produksi jamur di dalam
media cair (SDB), lalu dilanjutkan tahap kedua produksi pada media padat dengan cara
menginokulasikan inokulum dari media cari ke media padat jagung dan beras. Larutan
tersebut diambil sebanyak 50 ml dan dimasukkan ke dalam botol selai berbentuk tabung
tahan panas (volume 250 ml), ditutup dengan aluminium foil dan plastik. Botol berisi
substrat ini selanjutnya disterilkan di dalam otoklaf bersuhu 121 oC selama 15 menit.
Setelah itu, biakan murni Metarhizium sp. yang berasal dari GYA di atas diinokulasikan
sebanyak 10 potong (ukuran 0,5 x 0,5 cm per potong) ke dalam botol selai yang berisi
medium perbanyakan. Selanjutnya botol selai tersebut digoyang dengan shaker selama
tujuh hari pada suhu kamar guna mendapatkan spora yang optimal dan virulen. Jumlah
botol selai yang berisi biakan yang dibuat sebanyak 50 botol.
Perbanyakan spora pada media jagung giling. Isolat B. bassiana dan
Metarhzium sp. terbaik hasil kegiatan 2 di atas selanjutnya diperbanyak. Perbanyakan
spora masing-masing jamur ini dilakukan pada media jagung giling yang dicampur dengan
4
Seminar Nasional dan Kongres PATPI 2008, Palembang 14-16 Oktober 2008
200 ml EKKU 20% dan 300 ml aquades per 1000 g media dan didiamkan selama 20-30
menit, kemudian dimasukkan ke dalam plastik tahan panas sebanyak 100 gram/plastik.
Sebelum jamur diinokulasikan, campuran tersebut terlebih dahulu disterilkan di dalam
otoklaf. EKKU yang merupakan fermentasi kompos campuran pupuk kandang sapi dan
tepung kulit udang dibuat dengan mengikuti metode Suwandi (2004). Setelah media
campuran tadi disterilkan lalu diinokulasikan dengan biakan murni jamur sebanyak 10 ml
inokulum jamur B. bassiana dan Metarhizium sp. untuk 100 g media perbanyakan dengan
menggunakan pipet tetes. Media jagung yang telah diinokulasikan jamur ini diinkubasikan
pada suhu kamar selama 10 hari. Biakan B. bassiana ini pada jagung diberi kode A dan
Metarhizium sp. pada jagung diberi kode B. Selanjutnya akan dibuat formulasi cair.
Perbanyakan spora pada media beras. Perbanyakan spora B. bassiana dan
Metarhzium sp. masing-masing dilakukan pada media beras yang dicampur dengan 200 ml
EKKU 20% dan 300 ml aquades per 1000 g media seperti pada kegiatan perbanyakan
spora pada media jagung. Setelah media beras ini disterilkan lalu diinokulasikan dengan
biakan murni jamur sebanyak masing-masing 10 ml inokulum jamur B. bassiana dan
Metarhizium sp. untuk 100 g media perbanyakan. Media beras yang telah diinokulasikan
jamur ini diinkubasikan pada seuhu kamar selama 10 hari. Biakan B. bassiana dan
Metarhizium sp. ini pada beras diberi kode C dan Metarhizium sp. pada beras diberi kode
D. Biakan jamur ini selanjutnya akan dibuat formulasi cair.
Perbanyakan spora pada media SDB. Perbanyakan spora B. bassiana dan
Metarhzium sp. pada media SDB (komposisi 30 g/l media). Sebelaum biakan murni jamur
diinokulasikan, medua tersebut disterilkan lebih dahulu di dalam otoklaf. Setelah itu,
diinokulasikan biakan murni B. bassiana sebanyak 10 ml untuk 50 ml media perbanyakan,
begitu juga untuk isolat Metarhizium sp. Media SDB yang telah diinokulasikan jamur ini
diinkubasikan pada suhu kamar selama 10 hari sambil dishaker guna mendapatkan spora
yang optimal. Biakan B. bassiana pada SDB ini diberi kode E dan Metarhizium sp. pada
SDB diberi kode F. Biakan jamur ini selanjutnya akan dibuat formulasi cair.
Pembuatan Formulasi A dan B. Biakan B. bassiana (A) dan Metarhizium sp.
pada jagung giling (B) di atas dicampur dengan larutan EKKU 100% yang sebelumnya
5
Seminar Nasional dan Kongres PATPI 2008, Palembang 14-16 Oktober 2008
telah diotoklaf dengan suhu 121 oC dan tekanan 1,5 atm selama 15 menit. EKKU 100%
dituangkan ke dalam biakan tadi sebanyak 700 ml hingga didapatkan kerapatan spora
mencapai 109 spora/ml. Lalu campuran media jagung giling, EKKU 100% dan jamur ini
diblender, kemudian disaring dengan saringan diameter 1 mm. Hasil saringannya
kemudian ditambahkan 300 g gula pasir. Formulasi cari ini lalu dimasukkan ke dalam
botol gelas bening tahan panas (diameter 5 cm, bervolume 500 ml) yang steril, lalu ditutup
dengan alluminium foil dan siap diaplikasikan atau disimpan. Untuk penyebutan
berikutnya formulasi ini sebagai bioinsektisida formulasi A yang berbahan aktif B.
bassiana dan formulasi B untuk yang berbahan aktif Metarhizium sp. Pembuatan
bioinsektisida ini dilakukan sebanyak 25 botol (bervolume 200 ml) untuk masing-masing
formulasi (total 50 botol untuk formulasi A dan B).
Pembuatan Formulasi C dan D. Biakan B. bassiana (C ) dan Metarzhizium sp.
pada beras (D) di atas masing-masing dicampur dengan larutan EKKU 100% yang
sebelumnya telah diotoklaf dengan suhu 121 oC dan tekanan 1,5 atm selam 15 menit.
EKKU 100% dituangkan ke dalam biakan tadi sebanyak 700 ml hingga didapatkan
kerapatan spora mencapai 109 spora per ml. Lalu campur media jagung EKKU dan jamur
ini diblender, kemudian disaring dengan saringan berdiameter 1 mm. Hasil saringannya
kemudian ditambahkan 300 g gula pasir. Formulasi ini lalu dimasukkan ke dalam botol
gelas bening tahan panas (diameter 5 cm, bervolume 500 ml) yang steril, lalu ditutup
dengan aluminium foil dan siap diaplikasikan atau disimpan. Untuk penyebutan
berikutnya formulasi ini sebagai bioinsektisida formulasi C untuk yang berbahan aktif B.
bassiana, sedangkan formulasi D untuk yang berbahan aktif Metarhizium sp. Pembuatan
bioinsektisida ini dilakukan sebanyak 25 botol (volume 200 ml) untuk masing-masing
formulasi (total 50 botol untuk formulasi C dan D).
Pembuatan Formulasi E dan F. Biakan B. bassiana (E) dan Metarhizium sp.
pada SDB (F) di atas masing-masing diblender, kemudian disaring dengan saringan
berdiameter 1 mm. Masing-masing suspensi ini ditambahkan 300 g gula pasir yang
berfungsi sebagai pengawet. Campuran biakan pada SDB ini dan gula pasir untuk
selanjutnya disebut formulasi E untuk yang berbahan aktif B. bassiana dan formulasi F
6
Seminar Nasional dan Kongres PATPI 2008, Palembang 14-16 Oktober 2008
yang berbahan aktif Metarhizium sp. Pembuatan bioinsektisida ini dilakukan sebanyak 25
botol (volume 200 ml) untuk masing-masing formulasi (total 50 botol untuk formulasi E
dan F).
Uji Efikasi Bioinsektisida formulasi cair terhadap Wereng Punggung Putih.
Bioinsektisida formulasi cair yang baru dibuat di atas (A, B, C, D, E, dan F) (berumur 7
hari) diuji kefektifannya dengan uji efikasi dengan konsentrasi 103, 105, 107 spora/ml,
EKKU dan kontrol (aquades). Uji efikasi dilakukan dengan cara meneteskan 10 µl
bioinsektisida tadi pada kerapatan spora berbeda secara topikal pada instar ketiga wereng
punggung putih yang baru ganti kulit. Setiap perlakuan diaplikasikan pada 10 nimfa uji
dan diulang sebanyak tiga kali. Cara yang sama juga dilakukan pada bioinsektisida
lainnya.
Nimfa yang telah diaplikasi dengan formulasi cair bioinsektisida selanjutnya
dipelihara dalam silinder plastik (diameter 8,5 cm dan tinggi 40 cm) yang ditutup kain kasa
dan di dalamnya terdapat tanaman padi fase vegetatif. Percobaan ini diulang sebanyak tiga
kali. Setiap 3 jam selama fase nimfa dicatat nimfa yang mati, jumlah nimfa yang tersisa
yang membentuk imago dicatat setiap hari hingga semua nimfa menjadi imago.
Analisis Data. Data persentase mortalitas nimfa disajikan dalam bentuk tabulasi
dianalisis secara deskriptif. Nilai LT50 akan dianalisis menggunakan analisa probit
dengan bantuan program SAS-STAT pada SAS 6.12. Perbedaan data mortalitas nimfa
antar perlakuan dianalisis menggunakan ANOVA dan diuji lanjut dengan uji BNJ.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil penelitian menunjukkan bahwa setelah nimfa S. furcifera diaplikasi dengan
bioinsektisida formulasi cair berbahan aktif jamur B. bassiana dan Metarhizium sp. didapat
mortalitas nimfa yang berbeda sangat nyata pada perlakuan BbA7, MB7 dan MD7.
Mortalitas tertinggi ditemukan pada perlakuan BbA7, yaitu formulasi A dengan
konsentrasi 107 spora B. bassiana per ml (Tabel 1).
LT50 merupakan batas waktu yang menunjukkan jumlah kematian jasad sasaran telah
mencapai 50%. Hasil penelitian menunjukkan bahwa nilai LT50 tercepat pada perlakuan
7
Seminar Nasional dan Kongres PATPI 2008, Palembang 14-16 Oktober 2008
BbA7 yaitu 1,69 hari dan kematian nimfa paling lambat pada perlakuan MF7 sebesar 36,38
hari (Tabel 2).
Tabel 1. Rerata mortalitas S. furcifera setelah diaplikasi bioinsektisida formulasi cair
dengan konsentrasi spora yang berbeda
Angka dalam kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama berarti tidak berbeda nyata (BNT0,05);
angka yang di dalam kurung adalah data yang ditransformasi x + 0,5
8
Seminar Nasional dan Kongres PATPI 2008, Palembang 14-16 Oktober 2008
Tabel 2. LT50 dari bioinsektisida formulasi cair berbahan aktif jamur B. bassiana dan
Metarhizium sp.
Kode Perlakuan LT50 (hari) Selang Kepercayaan (hari)
Terendah Tertinggi
BbA3 14,16 9,65 27,12
BbA5 5,68 4,55 7,78
BbA7 1,69 1,39 2,00
MB3 7,60 5,69 12,02
MB5 5,64 4,61 7,48
MB7 2,99 2,48 3,69
BbC3 14,57 10,40 25,34
BbC5 8,24 6,72 11,07
BbC7 5,91 4,64 8,46
MD3 7,05 5,56 10,02
MD5 6,09 5,18 7,58
MD7 3,19 2,76 3,75
BbE3 11,07 8,50 16,64
BbE5 11,83 9,12 18,75
BbE7 4,56 3,94 5,48
MF3 9,05 6,61 15,07
MF5 8,63 6,63 12,92
MF7 36,38 16,13 243,79
Mortalitas tertinggi terjadi pada perlakuan BbA7 yaitu B. bassiana asal substrat
jagung giling (66,67%). Diduga hal itu dipengaruhi oleh asal isolat dan asal substrat.
Isolat yang digunakan pada penelitian ini ialah isolat yang diisolasi dari Chrysodeixes
chalchites (Lepidoptera: Noctuidae). Berdasarkan hasil penelitian Mahdalena (2007),
bahwa isolat tersebut dapat mematikan nimfa L. acuta sampai 78%.
Jagung giling memiliki kandungan nutrisi yang cocok bagi pertumbuhan dan
perkembangan jamur B. bassiana. Syahrir (2007) melaporkan bahwa jagung banyak
mengandung protein dan karbohidrat. Protein dan karbohidrat sangat dibutuhkan jamur
untuk pertumbuhan vegetatif dan pembentukan spora, spora yang terbentuk berkecambah
lebih cepat dan memiliki virulensi tinggi serta menyebabkan nimfa S. furcifera cepat mati.
Hal ini sejalan dengan penelitian Hasyim et al. (2005), bahwa daya kecambah isolat B.
bassiana yang dibiakkan pada media jagung giling lebih tinggi yakni sebesar 86,47%.
9
Seminar Nasional dan Kongres PATPI 2008, Palembang 14-16 Oktober 2008
Selain itu, diduga penambahan nutrisi berupa khitin yang berasal dari EKKU dapat
meningkatkan virulensi jamur B. bassiana. Hal ini sejalan dengan penelitian Herlinda et
al. (2006b), bahwa pengayaan media dengan penambahan tepung jangkrik yang
mengandung khitin dapat meningkatkan kerapatan spora B. bassiana, dan menyebabkan
kematian larva Plutella xylostella sampai 78,33%.
Mortalitas terendah terjadi pada bioinsektisida formulasi cair bahan aktif jamur B.
bassiana asal substrat SDB sampai 23,33%. Hasil penelitian ini relatif sama dengan hasil
penelitian Dewi (2007), bahwa B. bassiana tersebut mematikan larva Plutella xylostella
sekitar 14,44%. Diduga hal itu ada kaitannya dengan kandungan nutrisi di dalam media
SDB yang kurang sesuai untuk pertumbuhan dan perkembangan jamur entomopatogen.
Huffaker dan Messenger (1989) melaporkan bahwa jamur entomopatogen
memasuki inang dari bagian luar melalui kontak dengan integument serangga. Selanjutnya
spora infektif akan melekat pada kutikula serangga inang yang peka, berkecambah
membentuk tabung kecambah menembus kutikula serangga inang menuju ke hemocoel.
Di dalam hemocoel jamur akan tumbuh dan berkembang dengan membentuk pertunasan
(budding) tubuh hifa sampai seluruh ruang hemocoel terisi oleh massa hifa dan serangga
inang mati (Purnomo 2005).
Suhu rata-rata 25,91 oC dan kelembaban nisbi udara relatif 84,42% di ruangan
penelitian mendukung kehidupan jamur B. bassiana dan Metarhizium sp. Kedua faktor ini
sangat penting dalam mempengaruhi kemampuan spora berkecambah dan menginfeksi
nimfa S. furcifera. Menurut Sheroze et al. (2003), bahwa kelembaban relatif 80% dan
suhu 30 oC merupakan kondisi yang baik untuk pertumbuhan jamur B. bassiana dan M.
anisopliae.
Waktu yang dibutuhkan untuk menyebabkan kematian serangga uji bervariasi
tergantung pada virulensi patogen, sifat resistensi inang dan kondisi lingkungan mikro di
tubuh inang (Purnomo 2005). Kemampuan membunuh 50% serangga uji pada setiap
formulasi berbeda-beda. Hasil penelitian diketahui bahwa formulasi yang paling cepat
membunuh 50% serangga uji ialah B. bassiana substrat jagung giling dengan konsentrasi
107 spora per ml. Waktu kematian terjadi setelah 1,69 hari pada perlakuan B. bassiana asal
10
Seminar Nasional dan Kongres PATPI 2008, Palembang 14-16 Oktober 2008
substrat jagung giling dan yang paling lama setelah 36,38 hari pada perlakuan
Metarhizium sp. asal substrat SDB.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa aplikasi bioinsektisida formulasi cair berbahan
aktif jamur B. bassiana dan Metarhizium sp. mempengaruhi morfologi nimfa yang mati.
Tubuh S. furcifera yang mati disebabkan oleh jamur B. bassiana dan Metarhizium sp.
berwarna pucat, ukurannya mengecil dan mengeras seperti mumi. Sepuluh hari setelah
serangga uji itu mati pada permukaan tubuhnya terdapat massa spora jamur. Tubuh atau
mumi S. furcifera yang terinfeksi jamur B. bassiana berwarna putih (Gambar 1). Tubuh
atau mumi S. furcifera terinfeksi jamur Metarhizium sp. pada permukaan tubuhnya
terdapat massa spora jamur berwarna hijau.
a b c
Gambar 1. Nimfa Sogatella furcifera sehat (a), yang sakit terinfeksi jamur B. bassiana
(b) dan yang sakit terinfeksi jamur Metarhizium sp. (c)
Dari penelitian dapat disimpulkan bahwa bioinsektisida formulasi cair bahan aktif
B. bassiana asal substrat jagung giling+200 ml EKKU 20%+300 ml aquades dengan
konsentrasi 107 spora/ml dapat mematikan nimfa S. furcifera sebesar 66,67%.
Bioinsektisida formulasi cair mempengaruhi morfologi nimfa S. furcifera. Tubuh nimfa S.
furcifera yang mati disebabkan oleh jamur B. bassiana berwarna pucat, mengecil dan
mengeras seperti mumi. Tubuh atau mumi S. furcifera yang terinfeksi jamur B. bassiana
berwarna putih dan berwarna hijau yang terinfeksi jamur Metarhizium sp. Nilai LT50
tercepat ialah 1,69 hari terjadi pada perlakuan jamur B. bassiana asal substrat jagung
giling+200 ml EKKU 20%+300 ml aquades.
11
Seminar Nasional dan Kongres PATPI 2008, Palembang 14-16 Oktober 2008
12
Seminar Nasional dan Kongres PATPI 2008, Palembang 14-16 Oktober 2008
Herlinda S, Era MS, Yulia P, Suwandi, Elisa N, Anung R. 2005. Variasi Virulensi Strain-
strain Beauveria bassiana (Bals.) Vuill. Terhadap Larva Plutella xylostella (L.)
(Lepidoptera: Plutellidae). Agritrop 24(2):52-57.
Herlinda S, Hamadiyah, Triani A, Rosdah T. 2006a. Toksisitas Isolat-isolat Beauveria
bassiana (Bals.) Vuill. Terhadap Nimfa Erydema pulchrum (Wetw.) (Hemiptera:
Pentatomidae). Agria 2(2):34-37.
Herlinda S, Muhamad DU, Yulia P, Suwandi. 2006b. Kerapatan dan Viabilitas Spora
Beauveria bassiana (Bals.) Vuill. Akibat Subkultur dan Pengayaan Media, serta
Virulensinya Terhadap Larva Plutella xylostella (Linn.). J. HPT 6(2):70-78.
Huffaker CB, Messenger PS. 1976. Theory and Practice of Biological Control.
Diterjemahkan oleh Soeprapto M. 1989. Teori dan Praktek Pengendalian Biologis.
Universitas Indonesia Press.
IRRI. 2005. Ilmu Padi Bagi Dunia yang Lebih Baik. (online). (http://BPH%20Ind.pdf).
Diakses 15 Mei 2007.
Kalshoven LGE. 1981. The Pests of Crops in Indonesia. Laan PA van der, penerjemah.
Jakarta: Ichtiar Baru-Van Hoeve. Terjemahan dari: De Plagen van de
Culuurgewassen in Indonesie.
Krutmuang P, Supamit M. 2005. Pathogenicity of Entomopathogenic Fungi Metarhizium
anisopliae Against Termites. In: Conference on International
Kusmayadi A. 1995. Permasalahn Lapangan tentang Padi di Daerah Tropika. Lembaga
Penelitian Padi Internasional. Jakarta.
Lee PC, Hou R. 1989. Pathogenesis of Metarhizium anisopliae var. anisopliae in the
smaller brown planthopper, laodelphax striatellus. Chinese J. Entomol. (9):13-19.
Ludwig SW, Ronald DO. 2002. Effycacy of Beauveria bassiana Plus Insect Attaractants
for Enhanched Control of Frankliniella occidentalis (Thysanoptera:Thripidae). J.
Florida Entomol. 85(1):270-272.
Mahdalena N. 2007. Seleksi Isolat Beauveria bassiana (Bals.amo) Vuillemin dan
Metarhizium sp. Dalam Menimbulkan Mortalitas Terhadap Nimfa Walang Sangit
(Leptocorixa acuta) (Thunb.) (Hemiptera:alydidae). Fakultas Pertanian Universitas
Sriwijaya. Indralaya. [Skripsi].
Neves PMOJ, Edson H. 2005. Beauveria bassiana Strains Selection for Biological
Control of the Coffee Berry Borer, Hypothenemus hampei (ferrari) (Coleoptera:
Scolytidae). J. Neotrop. Entomol. 34(1):77-82.
Prayogo Y, Tengkano W. 2002a. Pengaruh media tumbuh terhadap daya kecambah,
sporulasi dan virulensi Metarhizium anisopliae (Metchnikoff) Sorokin isolat
Kendalpayak pada larva Spodoptera litura. Sainteks. Jurnal Ilmiah Ilmu-ilmu
Pertanian. (9)4:233-242.
Prayogo Y, Wedanimbi T, Marwoto. 2005. Prospek Cendawan Entomopatogen
Metarhizium anisopliae untuk Mengendalikan Ulat Grayak Spodoptera litura Pada
Kedelai. J. Litbang Pertanian, 24(1):19-26.
Prayogo Y. 2006. Upaya Mempertahankan Keefektifan Cendawan Entomopatogen untuk
Mengendalikan Hama Tanaman Pangan. J. Litbang Pertanian, 25(2):47-54.
13
Seminar Nasional dan Kongres PATPI 2008, Palembang 14-16 Oktober 2008
Prijono H. 1989. Penuntun Praktikum Pengujian Pestisida. Jurusan Hama dan Penyakit
Tumbuhan, Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor.
Purnomo H. 2005. Patogen Serangga. (Online). (http://www.patogen_serangga.pdf).
Diakses 17 Desember 2007.
Sari EM. 2004. Evaluasi Awal Keefektifan Isolat-Isolat Beauveria bassiana (Bals.amo)
Vuillemin Dalam Membunuh Larva Plutella xylostella Linn.
(Lepidoptera:yponomeutidae). FP Unsri. Indralaya. [skripsi].
Sheroze A, Rashid A, Shakir AS, Khan SM. 2003. Effect of Bio-control Agents on Leaf
Rust of Wheat and Iinfluence of Different Temperature and Humidity Levels on
Their Colony Growth. Int. J. of Agri. Biol. 5(1):83-85.
Suprapto, Suroso. 1998. Pengaruh Konsentrasi Cendawan Beauveria bassiana Vuill
Terhadap Aspek Biologi Penggerek Batang Lada (Lophobaris piperis Mars.)
(Curculionidae: Coleoptera). Seminar Nasional PEI. Lampung.
Supriadiputra S, Ade IS. 2003. Mina Padi. Penebar Swadaya. Jakarta.
Supriyadi, Supyani, Hermastini LS. 1999. Pengaruh Beberapa Cara Pengendalian Kutu
Daun (Homoptera:Aphididae) pada Pertanaman Cabai Merah terhadap Populasi
Serangga Pemangsa. Prosiding Simposium Keanekaragaman Hayati Arthropoda.
Solo.
Suwandi. 2004. Efikasi Ekstrak Kompos Kulit Udang untuk Pengendalian Penyakit pada
Daun Tanaman Kacang Panjang, Cabai dan Kubis. J. Pest Trop. 1(2):18-24.
Syahrir S. 2007. Substtitusi Jagung dengan Gabah Dalam Ransum Broiler Fase Finisher.
Buletin Nutrisi dan Makanan Ternak. 6(1):25-30.
Tanada Y dan Kaya HK. 1993. Insect Pathology. Academic Press, Inc., California. 666
pp.
Thompson SR. 2006. Enhancing the Efficacy of Beauveria bassiana for Mole Cricket
(Orthoptera: Gryllotalpidae) Control in Turfgrass. Australia: North Carolina State
University. [Dissertation].
Thungrabeab M, Peter B, Cetin S. 2006. Possibilities for biocontrol of the onion thrips
Thrips tabaci Lindeman (Thys.,Thripidae) using different entomopathogenic fungi
from Thailand. J. Mitt. Dtsch. Ges. Allg. Angew. Ent. 15:299-304.
Tjitrosoepomo G. 2002. Taksonomi Tumbuhan (Spermatophyta). Gadjah Mada
University Press. Yogyakarta.
Tsakadze T, Abashidze E, Samadashvili D, Odikadze K. 2003. Fungi of Genus
Metarhizium as Pathogens Attacking Locust. L. Kanchaveli Georgian Plant
Protection Institute.
Tsay JG, Lee MJ, Ruey SC. 2001. Evaluation of Beauveria bassiana for Controlling
Casuarina Tussock Moth (Lymantria xylina Swinhoe) in Casuarina Plantations. J.
Bioc. Of Casuarina Tussock Moth 16(4):201-207.
Untung K, Tatang S. 1982. Aspek Populasi Wereng Coklat (Nilaparvata lugens Stal)
Wereng Hijau (Nephotettix spp.) dan Wereng Punggung Putih (Sogatella furcifera
Horvath.) di Lapangan. Fakultas Pertanian UGM. Yogyakarta.
14
Seminar Nasional dan Kongres PATPI 2008, Palembang 14-16 Oktober 2008
15