Fusi Protoplas Dan Regenerasi Hasil Fusi Antara Solanum Melongena Dan Solanum Torvum
Fusi Protoplas Dan Regenerasi Hasil Fusi Antara Solanum Melongena Dan Solanum Torvum
Fusi Protoplas Dan Regenerasi Hasil Fusi Antara Solanum Melongena Dan Solanum Torvum
1
Jurnal Bioteknologi Pertanian, Vol. 9, No. 1, 2004, pp. 1-7
ABSTRACT
One of the problems in eggplant (Solanum melongena)
production in Indonesia is bacterial wilt caused by Ralstonia
solanacearum. The most effective and efficient method of
controlling the disease is by using resistant varieties. How-
ever, a source of resistant character is generally found in the
wild species such as S. torvum. Genetic traits from a different
species are difficult to be transferred conventionally. One of
the methods of transferring a genetic character from diffe-
rent species is protoplas fusion. This experiment was carried
out to study protoplast fusion and regeneration of somatic
hybrid of S. melongena and S. torvum. The results showed
that protoplast of S. melongena and S. torvum could be
isolated with protoplast density of 10
6
/ml. Protoplast fusion
induced by PEG showed that the higher the concentration of
PEG, and the longer the incubation period, the higher the
number of protoplast fused. At PEG concentration of 50%
and incubation time of 20 minutes, the binner and multifusion
were 8.7 and 11.3, respectively. For protoplast regeneration
to produce microcallus, the best medium was KM8P enriched
with 0.2 mg/l 2.4-D + 0.5 mg/l zeatin + 1 mg/l NAA. By the
treatment, the microcallus produced was 25. Furthermore,
KM8P enriched with 0.1 mg/l 2.4-D + 2 mg/l BAP could induce
the development of microcalli to calli. On the media, eight
calli were produced. Shoot formation could be induced by
applying vitamin Morrel & Wetmore + 0.1 mg/l IAA + 2 mg/l
zeatin into MS medium.
[Keywords: Solanum melongena, Solanum torvum, protoplast
fusion, in vitro regeneration]
ABSTRAK
Salah satu masalah dalam budi daya terung (Solanum
melongena) di Indonesia adalah serangan penyakit layu yang
disebabkan oleh Ralstonia solanacearum. Cara yang paling
efektif dan efisien untuk menanggulangi penyakit tersebut
adalah dengan menggunakan varietas tahan. Namun, sumber
ketahanan pada umumnya terdapat pada spesies liar seperti S.
torvum, sehingga pemindahan sifat tersebut ke dalam terung
(S. melongena) sulit dilakukan secara konvensional. Salah
satu cara untuk memindahkan sifat genetik dari dua spesies
yang berbeda adalah melalui fusi protoplas. Dalam penelitian
ini dipelajari teknik fusi protoplas antara S. melongena
dengan S. torvum serta regenerasinya sampai menjadi planlet.
Isolasi protoplas dapat menghasilkan densitas protoplas yang
cukup tinggi, yaitu 10
6
/ml. Induksi fusi secara kimia dengan
PEG menunjukkan bahwa makin tinggi konsentrasi dan makin
lama waktu inkubasi fusi, makin banyak sel yang berfusi. Pada
konsentrasi PEG 50% dan waktu inkubasi 20 menit dapat
dihasilkan fusi biner dan multifusi masing-masing 8,7 dan
11,3. Media terbaik untuk meregenerasikan protoplas menjadi
mikrokalus adalah KM8P yang diperkaya dengan 0,2 mg/l 2,4-D
+ 0,5 mg/l zeatin + 1 mg/l NAA. Dengan perlakuan tersebut,
mikrokalus yang dihasilkan mencapai 25. Selanjutnya, KM8P
yang diperkaya dengan 0,1 mg/l 2,4-D + 2 mg/l BAP dapat
merangsang pembentukan mikrokalus menjadi kalus. Dengan
perlakuan tersebut dapat dihasilkan delapan kalus. Tunas
dapat terbentuk pada media dasar MS yang diperkaya dengan
vitamin Morel & Wetmore + 0,1 mg/l IAA + 2 mg/l zeatin.
[Kata kunci: Solanum melongena, Solanum torvum, fusi
protoplas, regenerasi in vitro]
PENDAHULUAN
Terung (Solanum melongena) merupakan tanaman
sayuran penting di Indonesia dan kini menjadi salah
satu komoditas ekspor. Masalah yang dihadapi dalam
budi daya terung antara lain adalah serangan penyakit
layu bakteri yang disebabkan oleh Ralstonia
solanacearum. Di Sumatera, Jawa, Bali, Lombok, dan
Sulawesi, penyakit tersebut dapat mengakibatkan
kehilangan hasil 15-95% (Machmud 1985).
Strategi pengendalian penyakit layu bakteri dapat
dilakukan melalui berbagai cara, yaitu secara biologis,
mekanis, kimiawi, dan penggunaan varietas tahan.
Pengendalian secara biologis dan teknik budi daya
baru dilakukan dalam skala percobaan, sedangkan
pengendalian secara kimiawi relatif mahal. Pengendali-
an dengan menggunakan varietas tahan, dalam jangka
panjang merupakan cara pengendalian yang paling
efektif dan efisien, namun ketersediaan varietas tahan
masih sangat terbatas.
Fusi protoplas dan regenerasi hasil fusi antara Solanum melongena
dan Solanum torvum
Protoplast fusion and regeneration of somatic hybrids of
Solanum melongena and Solanum torvum
Ali Husni
1
, Ika Mariska
1
, dan Hobir
2
1
Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Sumberdaya Genetik Pertanian,
Jalan Tentara Pelajar No. 3A, Bogor 16111, Indonesia
2
Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat, Jalan Tentara Pelajar No. 3, Bogor 16111, Indonesia
2 Ali Husni et al.
Untuk mendapatkan varietas tahan diperlukan
keragaman genetik yang luas. Sumber resistensi dari
S. melongena ditemukan pada varietas lokal, seperti
varietas Kopek (Winstead dan Kelman 1952). Namun,
sifat resisten tersebut sering hilang bila varietas
tersebut dibudidayakan di daerah lain. Resistensi
terhadap penyakit layu banyak ditemukan pada
spesies liar, antara lain pada S. glandiforum, S.
sanitwongsei, S. mammosum, dan S. torvum (Supriadi
1986; Sihachakr et al. 1994).
Memasukkan sifat tahan dari spesies liar ke dalam
spesies budi daya melalui hibridisasi konvensional
sering mengalami kegagalan akibat inkompatibilitas
atau dihasilkan hibrida yang steril. Untuk mengatasi
masalah tersebut, penggabungan sifat dari dua
spesies yang berbeda sering dilakukan melalui kultur
protoplas. Dari penelitian yang telah dilakukan, kultur
protoplas dapat menghasilkan keragaman yang tinggi,
baik dalam sifat-sifat morfologi maupun resistensi
terhadap Phytophthora infestans dan Alternaria
solanii (Takebe et al. 1971). Penelitian lain melaporkan
bahwa dari kultur protoplas telah diperoleh klon-klon
yang tahan terhadap herbisida (Evans dan Sharp 1986)
dan R. solanacearum (Husni et al. 2003).
Selain meningkatkan keragaman genetik, kultur
protoplas juga dapat digunakan untuk fusi protoplas.
Dengan fusi protoplas, sifat-sifat genetik dari spesies
atau genus yang berbeda dapat digabungkan (Milam
et al. 1995; Wara dan Glimileus 1995). Untuk meng-
induksi terjadinya fusi dapat dilakukan secara kimia
atau listrik (Purwito 1999). Fusi protoplas melalui cara
kimia pada umumnya menggunakan polyethylene
glicol (PEG) karena PEG dapat berperan sebagai
penginduksi fusi antara dua protoplas. Molekul HO-
CH
2
(CH-O-CH
2
) mempunyai polaritas yang cenderung
bersifat negatif kemudian mampu membentuk ikatan
nitrogen dengan kelompok polaritas positif dari
substansi membran. Dengan demikian, PEG dapat
bertindak sebagai molekul pengikat antara dua per-
mukaan protoplas sehingga terjadi fusi (Kao dan
Michayluk 1975).
Fusi protoplas dapat dilakukan dengan meng-
gabungkan total genom dari suatu varietas dengan
varietas lain yang berbeda spesies atau genusnya
(Wattimena 1999). Beberapa peneliti menyatakan
bahwa keberhasilan memperoleh tanaman hasil fusi
sangat sulit karena tahapan pekerjaan yang dilalui
cukup panjang dan membutuhkan ketelitian dan ke-
bersihan yang sangat tinggi untuk setiap tahap. Dari
berbagai penelitian fusi protoplas telah diperoleh
beberapa hibrida somatik, antara lain S. tuberosum
dengan L. pimpinellifolium (Tan 1987), S. khasianum
dengan S. aculestissima (Statmann et al. 1994), S.
khasianum dengan S. laciniatum (Sihachakr et al.
1995), S. melongena dengan S. aethopicum (Sihachakr
1998), S. khasianum dengan S. mammosum (Priyanto
1996), serta S. tuberosum BF15 dengan S. stenotomum
(Purwito 1999). Walaupun penelitian fusi protoplas
telah banyak dilakukan, Purwito (1999) menyatakan
bahwa metode fusi protoplas yang dapat berlaku
umum pada genus Solanum belum ada, terutama
antara S. melongena dengan S. torvum yang sering
mengalami kegagalan dalam regenerasi membentuk
hibrida baru. Penelitian ini bertujuan untuk mendapat-
kan hibrida somatik hasil fusi protoplas antara S.
melongena cv. Dourga dengan S. torvum.
BAHAN DAN METODE
Persiapan eksplan
Penelitian dilaksanakan di laboratorium kultur in vitro,
Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Biotekno-
logi dan Sumberdaya Genetik Pertanian (BB Biogen),
Bogor. Eksplan yang digunakan adalah S. melongena
cv. Dourga yang berasal dari laboratorium Morphoge-
nese Vegetale Experimentale, Paris Sud University,
Perancis serta S. torvum yang tahan berasal dari
koleksi BB Biogen, Bogor. S. melongena termasuk
terung yang rentan terhadap penyakit layu.
Benih dari kedua spesies tersebut disterilkan dalam
alkohol 70%, kemudian dalam 0,05% HgCl
2
dan 30%
clorox masing-masing selama 3 menit. Setelah itu
benih dicuci dengan akuades. Benih yang telah di-
sterilisasi dikecambahkan dalam media MS + 20 g/l
sukrosa dan 7 g/l agar. Media tersebut disterilkan
dalam autoklaf dengan suhu 121
o
C selama 20 menit.
Setelah berkecambah, benih disubkultur pada media
baru dan diinkubasi pada suhu 25-27
o
C, dengan
penyinaran 1.000 lux selama 12 jam tiap hari. Satu bulan
setelah pengkulturan, daunnya digunakan sebagai
sumber protoplas.
Persiapan larutan enzim
Enzim yang digunakan adalah enzim Sellulase Onozuka
RS 0,5% (ml/l); 0,5% (M/v) macerozyme R-10 (Yakult
Honssa Co.); 0,05% (M/v) MES; dan 9,1% (M/v)
manitol. Senyawa tersebut dilarutkan dalam CPW
(Sihachakr 1998) dan pH diatur 5,5-5,6 serta di-
sterilisasi dengan filter ukuran 0,22 m. Larutan
tersebut kemudian dimasukkan ke dalam cawan petri
berdiameter 5 cm, masing-masing 5-6 ml setiap cawan.
Fusi protoplas dan regenerasi hasil fusi ... 3
Isolasi protoplas
Permukaan bagian bawah daun S. melongena dan S.
torvum digores dengan pisau secara merata dengan
jarak antaririsan 2-3 cm. Daun yang telah diiris di-
tempatkan dalam cawan petri yang berisi larutan
enzim, kemudian diinkubasi dalam kamar gelap pada
suhu 27
o
C selama 16 jam. Untuk membantu melepas-
kan protoplas, cawan petri digoyang selama 30 detik
sehingga diperoleh larutan protoplas.
Larutan protoplas S. melongena dan S. torvum
disaring dengan metalic sieve berukuran 100 m,
kemudian disentrifugasi dengan kecepatan 1.800 rpm
selama 5 menit sampai dihasilkan pelet. Selanjutnya
larutan enzim dipisahkan dan protoplas dilarutkan
dalam 21% sukrosa dan disentrifugasi kembali selama
10 menit. Protoplas murni kemudian diambil meng-
gunakan pipet dan disentrifugasi kembali. Selanjut-
nya, protoplas dilarutkan dalam 0,5 M manitol + 0,5 mM
CaCl
2
dan disentrifugasi selama 5 menit sampai ter-
bentuk pelet protoplas. Akhirnya protoplas dicuci
dan densitasnya diukur.
Fusi protoplas
Protoplas S. melongena dan S. torvum yang telah
dimurnikan seperti tersebut di atas masing-masing
diencerkan dengan larutan pencuci sehingga densitas-
nya menjadi + 5 x 10
4
protoplas/ml. Selanjutnya
suspensi protoplas dicampur dalam tabung reaksi
dengan perbandingan volume yang sama dan di-
resuspensi sampai homogen. Setelah homogen,
suspensi protoplas diambil dengan pipet sebanyak
600-800 l kemudian dimasukkan ke dalam cawan petri
berdiameter 5 cm dan dibiarkan selama 5 menit sehing-
ga protoplas mengendap. Selanjutnya di sekeliling
suspensi protoplas ditambahkan 100 l larutan PEG
dengan konsentrasi 30% atau 50% sebagai perlakuan
selama 10 dan 20 detik untuk menginduksi terjadinya
fusi. Larutan PEG kemudian dibuang dan protoplas
dibersihkan dengan larutan pencuci. Setelah itu di-
lakukan penghitungan secara mikroskopis terhadap
protoplas yang mengalami fusi. Protoplas yang telah
difusikan dikultur dalam media perlakuan untuk
memacu pertumbuhannya.
Kultur protoplas hasil fusi
Media yang digunakan adalah media dasar KM8P dan
VKM, masing-masing diperkaya dengan 0,2 mg/l 2,4-
D + 0,5 mg/l zeatin + 0,1 mg/l NAA dengan pH 5,8.
Media tersebut disterilisasi dengan filter ukuran 0,22
m. Masing-masing medium dipipet dan dimasukkan
ke dalam cawan petri yang berisi protoplas yang telah
difusi, masing-masing 6 ml setiap cawan. Kultur di-
pelihara dalam ruangan tanpa atau dengan penyinaran
1.000 lux pada suhu 27
o
C sampai terbentuk koloni sel
atau mikrokalus. Pengamatan dilakukan terhadap jum-
lah koloni sel dan mikrokalus yang dihasilkan.
Pengenceran suspensi (koloni) sel
Untuk mendorong mikrokalus membentuk kalus,
suspensi sel diencerkan dengan media dasar yang
sama (KM8P dan VKM), tetapi zat pengatur tumbuh-
nya diganti dengan 0,1 mg/l 2,4-D + 2 mg/l BAP. Koloni
atau mikrokalus dari setiap cawan petri dibagi menjadi
tiga kemudian setiap bagian dimasukkan ke dalam
cawan petri baru yang telah berisi media pengenceran
masing-masing 6 ml. Kultur disimpan kembali tanpa
cahaya dalam inkubator bersuhu 27
o
C. Parameter yang
diamati meliputi jumlah kalus yang dihasilkan dari
setiap perlakuan.
Regenerasi tunas
Kalus yang dihasilkan dari setiap perlakuan dipindah-
kan ke dalam media padat MS + vitamin Morell + 0,1
mg/l IAA dan konsentrasi zeatin sebagai perlakuan (2,
4, dan 6 mg/l). Parameter yang diamati pada tahap ini
adalah keberhasilan regenerasi kalus membentuk
tunas. Tunas yang dihasilkan dipindahkan ke dalam
media dasar yang sama, yaitu MS + vitamin Morell
(padat) tanpa menggunakan zat pengatur tumbuh
untuk induksi akar.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Isolasi protoplas
Penggunaan metode Sihachakr (1998) dengan kom-
posisi enzim 0,5% Sellulase Onozuka RS + 0,5%
macerozyme R-10 + 0,05% MES dan 9,1% manitol
dalam larutan dapat mengisolasi protoplas dengan
densitas yang tinggi, baik pada S. melongena maupun
S. torvum. Purifikasi dilakukan dengan larutan sukrosa
21% dan sentrifugasi 1.800 rpm selama 10 menit untuk
mendapatkan protoplas yang murni dan viabel. Kom-
binasi enzim dan cara purifikasi seperti ini dapat
digunakan untuk isolasi protoplas pada beberapa
tanaman, seperti Artemisia sphaerocephala (Qinxu
dan Fenjia 1996), Piper nigrum (Husni et al. 1997), S.
melongena (Sihachakr 1998; Husni et al. 2003), dan S.
torvum (Sihachakr 1998).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa S. torvum
dapat menghasilkan protoplas yang lebih banyak
4 Ali Husni et al.
dibandingkan S. melongena. Hal ini berkaitan dengan
keadaan fisiologis eksplan selama kultur, di mana
biakan S. torvum mengalami etiolasi sehingga daun-
nya lebih lunak dibandingkan S. melongena. Proto-
plas yang dihasilkan dari kedua jenis Solanum sangat
baik dan mempunyai viabilitas yang tinggi, ditunjuk-
kan oleh penampakan protoplas yang berbentuk bulat
sempurna setelah pemurnian (Gambar 1). Jumlah
protoplas S. torvum adalah 8,8 x 10
6
dan S. melongena
3,2 x 10
6
protoplas/ml.
Fusi protoplas
Sebelum dilakukan fusi antara S. melongena dan S.
torvum, densitas protoplas diencerkan menjadi 10
4
/ml,
baik protoplas S. melongena maupun S. torvum.
Pengenceran dilakukan dengan cara menambahkan
media pencuci pada protoplas yang telah dimurnikan.
Induksi fusi dilakukan dengan larutan fusogen PEG
pada campuran protoplas S. melongena dan S. torvum
dengan perbandingan volume yang sama. Keber-
hasilan fusi dan regenerasi sangat ditentukan oleh
konsentrasi PEG dan lama inkubasi dalam larutan PEG.
Hasil fusi antara S. melongena dan S. torvum meng-
gunakan 100 l PEG dengan konsentrasi 30% dan 50%
selama 10 jam 20 menit dapat dilihat pada Gambar 2.
Jenis fusi yang dihasilkan berupa fusi antara dua
protoplas atau fusi biner (binner fusion) dan lebih dari
dua protoplas atau multifusi (multifusion) (Gambar 2).
Konsentrasi PEG tinggi (50%) lebih banyak meng-
Gambar 1. Isolasi dan fusi protoplas Solanum melongena (sm), S. torvum (st), fusi biner (bf), dan multifusi (mf).
Fig. 1. Isolation and protoplast fusion of Solanum melongena (sm), S. torvum (st), binner fusion (bf), and multifusion (mf).
hasilkan protoplas yang melakukan fusi, baik fusi
biner maupun multifusi. Makin lama waktu inkubasi
dalam larutan PEG, makin banyak pula protoplas yang
Gambar 2. Pengaruh konsentrasi PEG dan waktu inkubasi
terhadap keberhasilan fusi antara Solanum melongena dan S.
torvum.
Fig. 2. Effect of PEG concentration and time of incubation
on protoplast fusion of Solanum melongena and S. torvum.
2
4
6
8
10
12
0
10 20
Waktu inkubasi (menit)
Time of incubation (min)
3, 2
4, 9
4, 1
5, 6
7, 3
8, 7
7, 6
11, 3
Binner fusion, PEG 30%
Binner fusion, PEG 50%
Multifusion, PEG 30%
Multifusion, PEG 50%
14
16
Jumlah protoplas
yang berfusi
Number of protoplas
fusion
Fusi protoplas dan regenerasi hasil fusi ... 5
mengalami fusi. Pada konsentrasi PEG 50%, protoplas
yang mengalami fusi biner sebanyak 4,9 pada
perlakuan inkubasi 10 menit dan 8,7 untuk inkubasi 20
menit, sedangkan untuk multifusi adalah 5,6 untuk
inkubasi 10 menit dan 11,3 untuk inkubasi 20 menit.
Pada konsentrasi PEG 30%, protoplas yang mengalami
fusi biner sebanyak 3,2 untuk inkubasi 10 menit dan
7,3 untuk inkubasi 20 menit, sedangkan untuk
multifusi sebanyak 4,1 untuk inkubasi 10 menit dan 7,6
untuk inkubasi 20 menit.
Kultur protoplas hasil fusi dan pengenceran
suspensi sel
Protoplas yang telah difusikan dibersihkan dengan
larutan pencuci (0,5 M manitol + 0,5 mM CaC1
2
) untuk
menghilangkan pengaruh PEG agar protoplas tidak
rusak. Karena konsentrasi PEG dan lama inkubasi
sangat berpengaruh terhadap keberhasilan regenerasi
protoplas, waktu inkubasi yang terlalu lama dalam
larutan PEG dapat mengganggu keseimbangan tekan-
an osmotik di luar dan di dalam protoplas sehingga
protoplas menjadi pecah (Suryowinoto 1990).
Penggunaan media KM8P dan VKM dengan pe-
nambahan 0,2 mg/l 2,4-D + 0,5 mg/l zeatin + 1 mg/l
NAA dapat mendorong pertumbuhan dan perkem-
bangan protoplas tanaman terung hasil fusi (Sihachakr
et al. 1989), tanaman kentang (Purwito 1999), dan
terung bukan fusi (Husni et al. 2003). Protoplas hanya
dapat membentuk dinding sel bila berfusi dengan PEG
30%, baik pada media KM8P maupun VKM, sedang-
kan protoplas yang berfusi dengan PEG 50% tidak
dapat membentuk dinding sel (Tabel 1). Hal ini karena
konsentrasi PEG 50% sudah bersifat toksik bagi
protoplas sehingga protoplas menjadi pecah, atau
karena sifat PEG yang dapat mengikat molekul air
sehingga protoplas berada dalam keadaan tercekam
air yang menyebabkan metabolisme sel tidak sempur-
na. Purwito (1999) menyatakan bahwa konsentrasi
PEG yang terlalu tinggi dan waktu inkubasi yang
terlalu lama dapat menghambat pertumbuhan dan
perkembangan protoplas.
Tabel 1 juga memperlihatkan bahwa protoplas hasil
fusi dengan PEG 30% pada media KM8P dapat mem-
bentuk dinding sel paling tinggi, yaitu 32,17% dengan
sel yang membelah 26,3%. Pada media VKM, 17%
protoplas dapat membentuk dinding sel dan 12,5%
dapat melakukan pembelahan sel.
Bila dilihat dari pertumbuhan dan perkembangan
protoplas membentuk koloni sel, media dasar KM8P
memberikan hasil yang lebih baik daripada media VKM
(Tabel 2). Pada media KM8P, diperoleh empat koloni sel
dari setiap cawan petri, sedangkan media dasar VKM
hanya menghasilkan dua koloni. Keberhasilan pem-
bentukan koloni sel yang lebih baik pada media dasar
KM8P diduga karena kandungan komposisi vitamin-
nya yang lebih kaya dibanding VKM.
Pengenceran koloni sel dengan media baru di-
lakukan untuk mendorong pertumbuhan dan per-
kembangan protoplas ke tahap berikutnya yaitu
pembentukan mikrokalus dan kalus. Hal yang sama
dilaporkan oleh Sihachakr et al. (1989), bahwa peng-
gunaan media yang sama dalam pengenceran koloni
sel dapat mendorong pertumbuhan dan perkembang-
an koloni sel membentuk mikrokalus. Pengenceran
dilakukan dengan cara membagi koloni sel dalam
setiap cawan petri menjadi tiga kemudian dipindahkan
ke dalam cawan petri yang baru. Selanjutnya dilaku-
kan penambahan media baru dengan jenis media dasar
yang sama (KM8P dan VKM), tetapi zat pengatur tum-
buh yang digunakan diganti dengan 0,1 mg/l 2,4-D +
2 mg/l BAP. Koloni sel dapat tumbuh dan berkembang
menjadi mikrokalus setelah dilakukan pengenceran.
Tabel 1. Pengaruh konsentrasi PEG terhadap kemampu-
an protoplas hasil fusi antara Solanum melongena dan
S. torvum membentuk dinding dan pembelahan sel pada
satu mi nggu setel ah kul tur.
Table 1. Effect of PEG concentration on protoplast of Solanum
melongena and S. torvum to cell wall regeneration and cell
division.
Induksi fusi PEG
Media Protoplas dengan Sel
Fusion induction
dasar dinding sel membelah
(%)
Basal Cell wall Cell division
medi um (%) (%)
30 KM8P 32, 17 26, 3
VKM 17 12, 5
50 KM8P 0 0
VKM 0 0
Tabel 2. Pengaruh medi a dasar terhadap kemampuan
protoplas hasil fusi antara Solanum melongena dan S.
t orvum membentuk kol oni sel pada 4 mi nggu setel ah
kul t ur.
Table 2. Effect of basal medium on the growth and develop-
ment of protoplast of Solanum melongena and S. torvum to
produce cell colonies, 4 week after PEG application.
Induksi fusi PEG
Media Rata-rata jumlah
Fusion induction
dasar koloni sel/6 ml media
(%)
Basal Number of
medium cell colony/6 ml medium
30 KM8P 4
VKM 2
50 KM8P 0
VKM 0
6 Ali Husni et al.
Mikrokalus dapat terlihat dengan kasat mata pada 2
minggu setelah pengenceran dan semakin jelas mem-
bentuk kalus pada 4 minggu setelah pengenceran
dengan warna putih kekuningan (Gambar 3).
Jumlah mikrokalus dan kalus yang dihasilkan setelah
pengenceran lebih banyak pada media KM8P daripada
media VKM, yaitu 25 mikrokalus/5 cawan petri pada
media KM8P dibanding 7 mikrokalus/5 cawan petri
pada media VKM. Demikian juga halnya untuk pem-
bentukan kalus, media KM8P dapat mendorong per-
tumbuhan dan perkembangan koloni sel membentuk
kalus.
Regenerasi tunas
Kalus yang dihasilkan setelah pengenceran dipindah-
kan ke media regenerasi (padat) untuk mendorong
pembentukan tunas. Media dasar yang digunakan
adalah MS + vitamin Morell + IAA 0,1 mg/l dengan
penambahan zeatin 2, 4, dan 6 mg/l sebagai perlakuan.
Dari delapan kalus yang dihasilkan, hanya kalus yang
dipindahkan pada media regenerasi dengan penam-
bahan zeatin 2 mg/l yang dapat membentuk tunas
setelah 29 hari dalam media regenerasi. Rata-rata
jumlah tunas yang dihasilkan sebanyak 3 tunas.
Hasil yang sama dilaporkan oleh Husni et al. (2003)
pada regenerasi tunas protoplas terung, di mana pada
konsentrasi zeatin yang rendah (1 dan 2 mg/l), kalus
dapat beregenerasi menjadi tunas. Setelah diaklima-
tisasi di rumah kaca, lebar dan bentuk daun dari tunas
yang dihasilkan berbeda dengan kedua tetuanya
(Gambar 4). Priyanto (1996) dan Purwito (1999) juga
melaporkan adanya perbedaan penampilan fenotipik
hibrida hasil fusi protoplas. Tunas-tunas tersebut
kemudian dipindahkan pada media MS tanpa pem-
Gambar 4. Regenerasi tunas dan aklimatisasi hibrida somatik antara Solanum melongena dan S. torvum; a = kalus embriogenik,
b = inisiasi tunas, c = penampakan daun hibrida dengan kedua tetuanya setelah aklimatisasi, d = planlet yang diaklimatisasi.
Fig. 4. Regeneration and acclimatization of somatic hybrid of Solanum melongena and S. torvum; a = embryogenic callus,
b = shoot formation, c = shape of leaf, d = acclimatization.
Gambar 3. Tahapan pertumbuhan dan perkembangan proto-
plas hasil fusi antara Solanum melongena dan S. torvum
menjadi kalus; a = pembelahan sel, b = koloni sel, c =
mikrokalus, d = kalus.
Fig. 3. Growth and development of protoplast of Solanum
melongena and S. torvum to callus; a = cell division, b = cell
colony, c = microcallus, d = callus.
Fusi protoplas dan regenerasi hasil fusi ... 7
berian zat pengatur tumbuh untuk induksi akar mem-
bentuk planlet. Planlet yang dihasilkan kemudian
diaklimatisasi di rumah kaca untuk pengamatan se-
lanjutnya.
KESIMPULAN
Protoplas Solanum melongena dan S. torvum dapat
diisolasi dengan densitas yang tinggi (10
6
/ml) dengan
larutan kombinasi enzim 0,5% Sellulase Onozuka RS +
0,5% macerozyme R-10 + 0,05% MES dan 9,1% manitol
selama 16 jam dalam keadaan gelap. Untuk meng-
induksi terjadinya fusi yang tidak menghambat
viabilitas protoplas dapat dilakukan dengan larutan
PEG 30%. Jenis fusi yang dihasilkan berupa fusi dua
protoplas atau lebih.
Media dasar KM8P dapat mendorong pertumbuhan
dan perkembangan protoplas membentuk koloni sel
dengan penambahan 0,2 mg/l 2,4-D + 0,5 mg/l zeatin +
1 mg/l NAA. Penambahan 0,1 mg/l 2,4-D + 2 mg/l BAP
dalam media pengenceran dapat mendorong per-
tumbuhan koloni sel membentuk mikrokalus dan kalus.
Kalus dapat beregenerasi membentuk tunas pada
media MS + vitamin Morel + 0,1 mg/l IAA + 2 mg/l
zeatin. Terdapat perbedaan fenotipik daun hibrida
yang dihasilkan dibandingkan dengan kedua tetuanya
(S. melongena dan S. torvum).
DAFTAR PUSTAKA
Evans, D.A. and W.R. Sharp. 1986. Somaclonal and gameto-
clonal. p. 97-132. In D.A. Dian, W.R. Sharp, V.P. Ammirato,
and Y. Yamada (Eds). Hand Book of Plant Cell Culture 1.
Mc Millan Publ. Co. New York.
Husni, A., 1. Mariska, dan M. Kosmiatin. 1997. Kultur proto-
plas hasil fusi antara lada budi daya dengan lada liar. Jurnal
Penelitian Tanaman Industri 11(5): 199-207.
Husni, A., I. Mariska, G.A. Wattimena, dan A. Purwito. 2003.
Keragaman genetik tanaman terung hasil kultur protoplas.
Jurnal Bioteknologi Pertanian 8(2): 52-59.
Kao, K.N. and M.R. Michayluk. 1975. Nutritional require-
ments for growth of Vicia hajastana cells and protoplasts
at very low population density in liquid media. Planta 126:
105- 110.
Machmud, M. 1985. Bacterial wilt in Indonesia. Bacterial wilt
workshop. PCARD, Los Banos, Laguna, Philippines. 16 pp.
Milam, S., L.A. Payne, and G.R. Mackay. 1995. The integra-
tion of protoplast fusion-derived material into a potato
breeding programme: a review of progress and problems.
Euphytica 85: 451-455.
Priyanto, B. 1996. Studi fusi protoplast S. khasianum Clarke
dengan S. mammosum L. Disertasi Pascasarjana, Institut
Pertanian Bogor.
Purwito, A. 1999. Fusi protoplas intra dan interspesies pada
tanaman kentang. Disertasi Pascasarjana, Institut Pertani-
an Bogor.
Qinxu, Z. and J. Fenjia. 1996. Callus formation from protoplasts
of Artemisia sphaerocephale Krasch and some factors
influencing protoplast division. Plant Cell, Tissue and
Organ Culture 44: 129-134.
Sihachakr, D., R. Haicour, M.H. Chaput, E. Barrientos, G.
Dcreux, L. Rossignol, and V. Souvannavong. 1989. Somatic
hybrid plants produced by electrofusion between Solanum
melongena L. and S. torvum S.W. Theor. Appl. Genet. 77: l-6.
Sihachakr, D., M.C. Daunay, 1. Serraf, M.H. Chaput, 1. Mussio,
R. Haicour, L. Rossignol, and G. Ducreux. 1994. Somatic
hybridization of eggplant (Solanum melongena L.) with its
close and wild relatives. p. 255-278. In Y.P.S. Bajaj (Ed.).
Somatic Hybridization in Crop Improvement 1. Biotechno-
logy in Agriculture and Forestry Vol. 27. Springer-Verlag
Berlin Heidelberg.
Sihachakr, D., I. Serraf, M.H. Chaput, I. Mussio, L. Rossignol,
and G. Ducreux. 1995. Regeneration of plants from proto-
plasts of S. khasianum C.B. Dark and S. laciniatum Ait.
Biotechnology in Agriculture de Protoplastes. Morpho-
genese Vegetale Experimentale, Bat. 360, Universite Paris
Sud. 16 pp.
Sihachakr, D. 1998. Protocole disolement et de culture de
protoplastes. Morphogenese Vegetale Experimentale, Bat.
360, Universite Paris Sud. 16 pp.
Supriadi. 1986. Penanggulangan penyakit layu bakteri Solanum
khasianum dengan batang bawah yang tahan. Prosiding
Seminar Pembudidayaan Tanaman Obat. Universitas Jenderal
Soedirman, Purwokerto, Jawa Tengah. hlm. 125-127.
Suryowinoto, M. 1990. Pemuliaan Tanaman secara In Vitro.
Petunjuk laboratorium. PAU Biotek. Universitas Gadjah
Mada, Yogyakarta. 321 hlm.
Statmann, M., E. Gericck, and G. Wenzel. 1994. Interspecific
somatic hybrids between S. khasianum and S. aculeatissimum
produced by electrofusion. Plant Cell Rep. 13: 193-196.
Takebe, I., G. Labib, and G. Malchers. 1971. Regeneration of
whole plants from isolated mesophyll protoplas of tobacco.
Naturwissenschaften 58: 318-320.
Tan, M.M.C. 1987. Somatic Hybridization and Cybridization
in Some Solanaceae. Academisch Proefschrift. Vrije Uni-
versiteit te Amsterdam.
Wara, S. and K. Glimileus. 1995. The potential of somatic
hybridization in crop breeding. Euphytica 85: 217-233.
Wattimena, G.A. 1999. Application of biotechnology in hor-
ticultural crops production. In Proceeding of Seminar on
Biotechnology: Application of Biotechnology in Horti-
cultural Production. Bogor Agricultural University-DFID
British Council, Bogor, 14 April 1999.
Winstead and A. Kelman. 1952. Inoculation techniques for
evaluating resistance to Pseudomonas solanacearum. Phyto-
pathology 42: 628-634.