Kerapatan Spora 5

Download as pdf or txt
Download as pdf or txt
You are on page 1of 13

E-Jurnal Agroekoteknologi Tropika ISSN: 2301-6515 Vol. 7, No.

1, Januari 2018

Uji Efektifitas Jamur Beauveria bassiana Bals. terhadap


Ulat Grayak (Spodoptera litura F.) pada Tanaman
Tembakau

ANANDA RIZKI NURANI


I PUTU SUDIARTA*)
NI NENGAH DARMIATI

Program Studi Agroekoteknologi Fakultas Pertanian Universitas Udayana


Jl. PB. Sudirman Denpasar 80231 Bali
*)
Email: [email protected]

ABSTRACT

The Effectiveness Test of Fungus Beauveria bassiana Bals. against Armyworm


(Spodoptera litura F.) on Tobacco Crops

Tobacco crops is one of the national commodity and plays an important role
for Indonesian economy. Various attempts of cultivation technique have been
implemented. However, obstruction are found on tobacco cultivation, one of them is
armyworm (Spodoptera litura F.) pest. The effort of controlling the pests is still
using chemical technique while in fact it leds to negative impact to living beings and
environment. Therefore, eco-friendly control using fungus Beauveria bassiana Bals.
in the form of formulation are necessary. This study was conducted to determine the
quality and effectiveness of B. bassiana formulation obtained from Estate Crops
Service of Bali Province against armyworm (S litura). Research method of this study
was using a randomized block design with 5 treatments and 5 replicates. This
treatment was using concentration of 60 grams, 45 grams, 30 grams, 15 grams
formulation dissolved in one liter of water and the control of using water only. The
observed variable was the mortality and intensity of armyworm attacks (S. litura).
The result of this study showed that the formulation of fungus B. bassiana has
characteristics in which the colonies are white, round-shapes spores, grape-shaped
structure and the density of a spore is 1 x 10 7 spores/ml, therefore it considered it has
a good quality. B bassiana formulation is able to infect armyworm (S. litura) on the
fourth day. Efficacy test in the green house of 60 grams concentration dissolved in
one liter of water showed a good result, with the highest mortality and the lowest
damage intensity of tobacco crops.

Keywords: Tobacco crops, Spodoptera litura F., Fungus Beauveria bassiana Bals.

1. Pendahuluan
1.1 Latar Belakang
Tanaman tembakau merupakan salah satu komoditas andalan nasional dan
komoditas paling banyak dibudidayakan di Indonesia. Tanaman tembakau ini

https://ojs.unud.ac.id/index.php/JAT 11
E-Jurnal Agroekoteknologi Tropika ISSN: 2301-6515 Vol. 7, No. 1, Januari 2018

berperan penting bagi perekonomian Indonesia, terutama dalam penyediaan lapangan


pekerjaan, sumber pendapatan bagi petani dan sumber devisa bagi Negara,
disamping mendorong berkembangnya agribisnis tembakau dan agroindustri
(Abdullah & Soedarmanto, 1982). Berbagai usaha teknik budidaya telah
dilaksanakan untuk pengembangan tembakau guna mendapatkan hasil yang
maksimal, namun disisi lain terdapat salah satu kendala dalam budidaya tanaman
tembakau, yaitu adanya serangan ulat grayak (Spodoptera litura F.). Ulat grayak
merupakan hama perusak daun yang bersifat polifag. Kerusakan yang ditimbulkan
dari serangan hama ini 40-50% pada tanaman tembakau atau tanaman tembakau
tidak dapat dipanen daunnya (BPTD, 2004). Upaya pengendalian hama tersebut
selama ini masih menggunakan teknik kimiawi sebagai pengendalian utama, yang
kenyataanya bahwa penggunaan senyawa kimia akan menyebabkan dampak negatif
terhadap makhluk hidup dan lingkungan, sehingga perlu dilakukan pengendalian
yang ramah lingkungan. Pengendalian tersebut memanfaatkan agen hayati salah
satunya adalah patogen serangga. Patogen serangga yang berpotensi untuk
mengendalikan hama ulat grayak salah satunya adalah dari golongan jamur yaitu
Beauveria bassiana. Todorava et al. (2003) membuktikan bahwa isolat-isolat B.
bassiana sangat efektif membunuh hama penggulung daun Choristoneura rosaceana
Harris (Lepidoptera: Tortricidae), namun belum banyak dilakukan untuk
mengendalikan ulat grayak pada tanaman tembakau, oleh karena itu perlu dilakukan
pengujian efektifitas Beauveria bassiana terhadap ulat grayak.

1.2 Rumusan Masalah


1. Apakah formulasi jamur Beauveria bassiana dari Dinas Perkebunan Provinsi
Bali mengandung jamur Beauveria bassiana?
2. Bagaimana mutu formulasi jamur Beauveria bassiana dari Dinas Perkebunan
Provinsi Bali?
3. Bagaimana efektifitas formulasi jamur Beauveria bassiana dari Dinas
Perkebunan Provinsi Bali untuk mengendalikan ulat grayak (Spodoptera litura
F.) pada tanaman tembakau di rumah kaca?

1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui formulasi jamur Beauveria bassiana dari Dinas Perkebunan
Provinsi Bali mengandung jamur Beauveria bassiana.
2. Untuk mengetahui mutu formulasi jamur Beauveria bassiana dari Dinas
Perkebunan Provinsi Bali.
3. Untuk mengetahui efektifitas formulasi jamur Beauveria bassiana dari Dinas
Perkebunan Provinsi Bali dalam mengendalikan ulat grayak (Spodoptera litura
F.) pada tanaman tembakau di rumah kaca.

12 https://ojs.unud.ac.id/index.php/JAT
E-Jurnal Agroekoteknologi Tropika ISSN: 2301-6515 Vol. 7, No. 1, Januari 2018

1.4 Hipotesis
1. Formulasi jamur Beauveria bassiana dari Dinas Perkebunan Provinsi Bali
mengandung jamur Beauveria bassiana.
2. Formulasi jamur Beauveria bassiana dari Dinas Perkebunan Provinsi Bali
berkualitas baik.
3. Formulasi jamur Beauveria bassiana dari Dinas Perkebunan Provinsi Bali
efektif dalam mengendalikan ulat grayak (Spodoptera litura F.) pada tanaman
tembakau.

2. Metode Penelitian
2.1 Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian dilaksanakan selama tiga bulan sejak bulan Oktober 2016 sampai
Desember 2016. Pengujian mutu formulasi Beauveria bassiana dilakukan di
Laboratorium Penyakit Tumbuhan, Konsentrasi Perlindungan Tanaman, Program
Studi Agroekoteknologi, Fakultas Pertanian, Universitas Udayana. Pengujian efikasi
formulasi Beauveria bassiana dilakukan di rumah kaca Laboratorium UPT
Perlindungan Tanaman Dinas Perkebunan Provinsi Bali Desa Bedulu, Kecamatan
Blahbatuh, Kabupaten Gianyar.

2.2 Alat dan Bahan


Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah deck glass, cover glass, cawan
Petri (petridish), pipet mikro, jarum ose, kaca pembesar, mikroskop binokuler,
haemocytometer, hand case, pembakar bunsen, pinset, tissue, kuas lukis, kantong
plastik, kertas label, gunting, alat tulis, tali, sprayer, ember dan toples plastik buah.
Bahan yang digunakan adalah media Potato Dextrose Agar/ PDA (Kentang 250 gr;
dextrose 20 gr, agar 20 gr dalam 1000 ml air steril), alkohol 90 %, alkohol 70 %,
tween 80, akuades, tanaman tembakau dalam polibag, formulasi B. bassiana dan ulat
grayak (Spodoptera litura F.) pada instar ketiga hasil biakan dari Dinas Perkebunan
Provinsi Bali.

2.3 Pelaksanaan Penelitian


2.3.1 Isolasi B. bassiana dari Formulasi
Formulasi jamur B. bassiana diperoleh dari Dinas Perkebunan Provinsi Bali,
namun untuk memastikan bahwa dalam formulasi tersebut adalah B.bassiana maka
perlu dilakukan isolasi terlebih dahulu. B.bassiana yang sudah diisolasi kemudian
diinokulasi ke dalam cawan Petri yang berisi media PDA, dan dibiakkan selama 4
hari. B. bassiana yang telah dibiakkan kemudian dimurnikan. Hasil dari biakkan
murni tersebut kemudian diidentifikasi dengan melakukan pengamatan pada
mikrospkop untuk melihat warna koloni dan bentuk hifa, kemudian dicocokkan
dengan referensi untuk memastikan koloni tersebut adalah B.bassiana.

https://ojs.unud.ac.id/index.php/JAT 13
E-Jurnal Agroekoteknologi Tropika ISSN: 2301-6515 Vol. 7, No. 1, Januari 2018

2.3.2 Uji Kerapatan Spora


Kerapatan spora dihitung menggunakan haemocytometer. Kerapatan spora
yang baik untuk jamur B. bassiana adalah 1 x 106 spora/g (Direktorat Perlindungan
Perkebunan Kementrian Pertanian, 2014). Formulasi jamur B.bassiana dari Dinas
Perkebunan Provinsi Bali sebanyak 1 gram dilarutkan dalam akuades + 0.05 %
Tween 80 kemudian dikocok dengan menggunakan vortek hingga tercampur merata.
Pengenceran dilakukan sebanyak tiga kali dengan mengambil 1 ml suspensi dari
larutan induk kemudian dimasukkan ke dalam tabung reaksi yang telah diisi akuades
steril 9 ml. Suspensi spora kemudian diteteskan pada haemocytometer dan dihitung
kerapatan sporanya dengan mikroskop binokuler perbesaran 400 kali. Perhitungan
kerapatan spora menggunakan rumus Gabriel & Riyatno (1989) sebagai berikut :

.......……………………………….(1)

Keterangan :
C : kerapatan spora per ml larutan
t : jumlah total spora dalam kotak sampel yang diamati
n : jumlah kotak sampel (5 kotak besar x 16 kotak kecil)
0,25 : faktor koreksi penggunaan kotak sampel skala kecil pada haemocytometer.
106 :
Standar kerapatan spora yang baik (Direktorat Perlindungan Perkebunan
Kementrian Pertanian, 2014)

2.3.3 Uji patogenisitas terhadap ulat grayak (S. litura)


Uji patogenisitas dilakukan untuk mengetahui kemampuan B.bassiana dalam
menginfeksi ulat grayak. Sebelum melakukan uji patogenisitas, langkah pertama
adalah membuat suspensi dengan menyiapkan formulasi sebanyak 100 gram
kemudian dilarutkan dalam 1 liter akuades. Suspensi tersebut kemudian
disemprotkan pada ulat grayak instar ketiga didalam stoples plastik. Ulat grayak
yang digunakan adalah ulat grayak hasil biakan dari Dinas Perkebunan Provinsi Bali.
kemudian diamati selama 4 hari. Apabila ulat grayak menampakkan gejala infeksi,
maka dilakukan isolasi kembali pada jamur yang tumbuh pada tubuh ulat grayak
untuk diamati.

2.3.4 Penelitian di Rumah Kaca


Pengujian efikasi B.bassiana terhadap ulat grayak di rumah kaca menggunakan
beberapa macam konsentrasi dengan denah pengujian sebagai berikut:

14 https://ojs.unud.ac.id/index.php/JAT
E-Jurnal Agroekoteknologi Tropika ISSN: 2301-6515 Vol. 7, No. 1, Januari 2018

A1 C1 E1 B1 D1

C2 E2 D2 A2 B2

B3 A3 C3 D3 E3

E4 D4 B4 C4 A4

D5 B5 A5 E5 C5

Gambar 1. Denah Rancangan Penelitian

Keterangan :
A, B, C,D, E : Perlakuan
A : Konsentrasi 60 gram dilarutkan dalam 1 liter air
B : Konsentrasi 45 gram dilarutkan dalam 1 liter air
C : Konsentrasi 30 gram dilarutkan dalam 1 liter air
D : Konsentrasi 15 gram dilarutkan dalam 1 liter air
E : Kontrol
1,2,3,4,5 : Ulangan

Rancangan yang digunakan adalah Rancangan Acak Kelompok (RAK).


Formulasi B. bassiana tersebut digunakan dengan 5 konsentrasi yaitu konsentrasi 60
gram dilarutkan dalam 1 liter air, konsentrasi 45 gram dilarutkan dalam 1 liter air,
konsentrasi 30 gram dilarutkan dalam 1 liter air, konsentrasi 15 gram dilarutkan
dalam 1 liter air dan kontrol dan 5 ulangan sehingga tanaman tembakau yang
diperlukan sebanyak 25 polibag. Jumlah ulat grayak pada setiap polibag adalah 20
ekor hasil dari biakan Dinas Perkebunan Provinsi Bali. Larutan spora atau suspensi
yang sudah disiapkan tersebut kemudian disemprotkan pada daun tanaman tembakau
yang berumur 4 minggu setelah tanam. Penyemprotan dilakukan setiap minggu
selama 1-2 bulan. Pengamatan dilakukan setiap minggu setelah hari pertama
perlakuan atau penyemprotan. Pengambilan data dilakukan dengan cara menghitung
mortalitas dan intensitas serangan ulat grayak.
Pengamatan mortalitas ulat grayak dilakukan dengan cara menghitung ulat
grayak yang mati pada setiap perlakuan. Untuk menghitung persentase kematian
digunakan rumus Kundra (1981) :

………………………………………………(2)
M= (A/B) x 100%

Keterangan :
M : Persentase mortalitas

https://ojs.unud.ac.id/index.php/JAT 15
E-Jurnal Agroekoteknologi Tropika ISSN: 2301-6515 Vol. 7, No. 1, Januari 2018

A : Jumlah hama uji yang mati (ekor)


B : Jumlah total hama uji yang diamati (ekor)

Pengamatan intensitas serangan ulat grayak dilakukan dengan cara menaksir


besarnya kerusakan daun yang disebabkan oleh serangan ulat grayak yang ditandai
dengan adanya lapisan epidermis daun yang transparan atau daun berlubang. Untuk
menghitung intensitas serangan digunakan rumus dari Hunter et al. (1998):

…………………………………………(3)

Keterangan :
I : Intensitas kerusakan akibat serangan ulat grayak
n : Jumlah tanaman yang diamati
v : Nilai skor untuk kategori tiap kerusakan
N : Jumlah total sampel tanaman yang diamati
Z : Nilai skor kategori kerusakan yang tertinggi
Cara pemberian skor dapat dilakukan sebagai berikut :
Skor 0 : Tidak ada kerusakan pada daun tanaman yang diamati
Skor 1 : Ada kerusakan 1%-25% pada daun tanaman yang diamati
Skor 2 : Ada kerusakan 26%-50% pada daun tanaman yang diamati
Skor 3 : Ada kerusakan 51%-75% pada daun tanaman yang diamati
Skor 4 : Ada kerusakan 76%-100% pada daun tanaman yang diamati

2.4 Analisis Data


Data yang sudah terkumpul kemudian dilakukan analisis varian (analisis sidik
ragam) sesuai dengan rancangan yang digunakan. Apabila interaksi memberikan
pengaruh yang nyata terhadap variabel yang diamati, maka selanjutnya dilakukan uji
beda rata-rata dengan uji Duncan’s 1%.

3. Hasil dan Pembahasan


3.1 Isolasi Beauveria bassiana dari Formulasi
Isolasi formulasi B. bassiana yang diperoleh dari Dinas Perkebunan Provinsi
Bali dilakukan untuk memastikan bahwa formulasi tersebut mengandung jamur B.
bassiana. Formulasi B. bassiana diisolasi kemudian diinokulasi ke dalam cawan
Petri yang berisi media PDA dan dibiakkan selama 4 hari. Hasil dari biakkan B.
bassiana tersebut kemudian dimurnikan dan diidentifikasi untuk melihat warna,
bentuk dan struktur jamur B. bassiana. Isolasi formulasi jamur B. bassiana (B) pada
mikroskop perbesaran 400X menunjukkan bahwa koloni jamur yang tumbuh
berwarna putih sesuai dengan hasil penelitian Ligozzi (2013) yaitu jamur B.bassiana
(A) memiliki koloni berwarna putih. (Gambar 2).

16 https://ojs.unud.ac.id/index.php/JAT
E-Jurnal Agroekoteknologi Tropika ISSN: 2301-6515 Vol. 7, No. 1, Januari 2018

A B

Gambar 2. Warna Koloni Jamur B.bassiana. Perbandingan warna koloni jamur


B.bassiana berwarna putih (A) menurut Ligozzi (2013) dengan (B)
jamur B. bassiana pada mikroskop perbesaran 400 X yang diisolasi dari
formulasi jamur B .bassiana Dinas Perkebunan Provinsi Bali

Isolasi jamur B. bassiana dari formulasi Dinas Perkebunan Provinsi Bali (B)
juga menunjukkan bahwa konidia jamur memiliki spora yang berbentuk oval agak
bulat sampai dengan bulat telur yang sesuai dengan penelitian Barnet (1960) (A).
(Gambar 3).

A B

Gambar 3. Bentuk Spora Jamur B.bassiana. Spora jamur B.bassiana berbentuk oval
sampai bulat telur (A) menurut Barnett (1960) dan (B) bentuk spora
jamur B. bassiana pada mikroskop perbesaran 400 X yang diisolasi dari
formulasi jamur B. bassiana Dinas Perkebunan Provinsi Bali

Jamur B. bassiana (A) menurut Ligozzi (2013) dengan jamur B. bassiana hasil
isolasi dari formulasi Dinas Provinsi Bali (B) memiliki struktur yang sama yaitu
struktur tubuh seperti buah anggur dengan miselium bersekat dan berwarna putih,
tersusun melingkar dan konidia menempel pada ujung cabang-cabang konidiofor.
(Gambar 4).

https://ojs.unud.ac.id/index.php/JAT 17
E-Jurnal Agroekoteknologi Tropika ISSN: 2301-6515 Vol. 7, No. 1, Januari 2018

A B

Gambar 4. Struktur Jamur B. bassiana. Jamur B. bassiana (A) menurut Ligozzi


(2013) memiliki struktur yang sama dengan (B) jamur B. bassiana pada
mikroskop perbesaran 400 X yang diisolasi dari formulasi jamur B
bassiana Dinas Perkebunan Provinsi Bali yaitu memiliki struktur seperti
buah anggur dan miselium bersekat.

Berdasarkan warna koloni, bentuk spora dan struktur jamur hasil isolasi dari
formulasi Dinas Perkebunan Provinsi Bali yang sesuai dengan ciri-ciri jamur
B. bassiana menurut beberapa ahli bahwa jamur hasil isolasi dari formulasi Dinas
Perkebunan Provinsi Bali adalah jamur B. bassiana.

3.2 Uji Kerapatan Spora


Hasil uji kerapatan spora dari formulasi B. bassiana yang diperoleh dari Dinas
Perkebunan Provinsi Bali yang diamati dengan bidang hitung haemocytometer di
bawah mikroskop menunjukkan kerapatan spora sebesar 1 x 10 7 spora/ml pada
konsentrasi 60 gram yang dilarutkan dalam satu liter air dan dikategorikan memiliki
mutu yang baik sesuai dengan standar dari Direktorat Perlindungan Perkebunan
Kementrian Pertanian tahun 2014 bahwa mutu formulasi dikategorikan baik dengan
kerapatan spora 1 x 106 spora/ml. Tingkat keberhasilan suatu formulasi sebagai
agensi pengendali hayati dapat dilihat dari kerapatan sporanya.

3.3 Uji patogenisitas terhadap Ulat Grayak (S. litura) di Laboratorium


Hasil uji patogenisitas menunjukkan bahwa formulasi B. bassiana mampu
menginfeksi ulat grayak. pada hari keempat yaitu ulat grayak yang diuji mati dengan
tubuh mengeras namun belum menunjukkan gejala yang jelas akibat infeksi B.
bassiana (Gambar 5). Pengamatan hari kesembilan ulat grayak mulai menunjukkan
gejala dengan tumbuhnya koloni jamur berwarna putih. Hal ini dikuatkan dengan
pernyataan Mardiningsih (2006 dalam Gargita, 2016) bahwa spora jamur B. bassiana
mampu menimbulkan kematian pada hari keempat terhadap serangga uji dan pada
hari ketujuh mulai menunjukkan gejala.

18 https://ojs.unud.ac.id/index.php/JAT
E-Jurnal Agroekoteknologi Tropika ISSN: 2301-6515 Vol. 7, No. 1, Januari 2018

A B

C D

Gambar 5. Perbedaan ulat grayak uji yang sehat (A) dengan (B) ulat grayak yang
terinfeksi jamur B. bassiana dari formulasi jamur B. bassiana Dinas
Perkebunan Provisi Bali pada hari keempat namun belum menunjukkan
gejala yang jelas akibat infeksi jamur B. bassiana. Perbedaan ulat grayak
uji yang terinfeksi pada hari ketujuh (C) dan (D) pada ulat grayak yang
terinfeksi jamur B. bassiana pada hari kesembilan.

Hasil uji patogenisitas ini yang akan digunakan sebagai acuan dalam pengujian
efektifitas di rumah kaca. Ulat grayak uji yang terserang B. bassiana kemudian
diisolasi dan diidentifikasi kembali untuk memastikan bahwa yang menimbulkan
kematian adalah jamur B. bassiana.

3.4 Uji Efektifitas Formulasi Jamur B. bassiana di Rumah Kaca


Ulat grayak merupakan ulat yang mempunyai pergerakan cepat, sehingga
dalam penelitian ini dibutuhkan sungkupan pada tiap tanaman yang berisi ulat grayak
uji untuk menangani pergerakan dari ulat grayak. Hasil uji efikasi efektifitas
formulasi B. bassiana terhadap ulat grayak dengan perlakuan beberapa konsentrasi
menunjukkan mortalitas tertinggi terjadi pada formulasi konsentrasi 60 gram yang
dilarutkan dalam satu liter air (Gambar 6).
Infeksi jamur B. bassiana terjadi pada hari keempat yang menyebabkan
kematian pada ulat garayak sebesar 10-20% kecuali kontrol. Konsentrasi 60 gram
yang dilarutkan dalam satu liter air membutuhkan waktu untuk membunuh ulat
grayak ≥50% pada hari keenam, sedangkan konsentrasi 15 gram, 30 gram, dan 45
gram yang dilarutkan dalam satu liter air membutuhkan waktu 7 hari menyebabkan
kematian ≥50% terhadap ulat grayak. Hal ini terjadi karena konsentrasi 60 gram yang
dilarutkan dalam satu liter air memiliki kerapatan spora 1 x 10 7 yaitu kerapatan yang
baik untuk membunuh serangga. Pada hari keenam kontrol terlihat sudah

https://ojs.unud.ac.id/index.php/JAT 19
E-Jurnal Agroekoteknologi Tropika ISSN: 2301-6515 Vol. 7, No. 1, Januari 2018

menunjukkan terjadinya kematian terhadap ulat grayak namun bukan karena aktivitas
jamur B. bassiana melainkan kemungkinan karena faktor lingkungan dan kerentanan
ulat grayak.

Gambar 6. Grafik Mortalitas Ulat Grayak (S. litura) pada Beberapa Konsentrasi
Formulasi jamur B. bassiana dari Dinas Perkebunan Provinsi Bali

Berdasarkan analisis varian (sidik ragam) mortalitas hasil uji efektifitas


formulasi jamur B. bassiana terhadap ulat grayak menunjukkan hasil yang tertera
pada Tabel 1.

Tabel 1. Rerata Mortalitas Ulat Grayak (S. litura) pada Perlakuan Beberapa
Konsentrasi Formulasi jamur B. bassiana dari Dinas Perkebunan Provinsi
Bali pada Hari ke- 9
Perlakuan (konsentrasi Mortalitas (%)
formulasi yang dilarutkan (Ulangan) Rerata notasi
ke dalam liter air) 1 2 3 4 5
Kontrol 25 15 25 10 10 17 a
15 gram 80 75 65 80 75 75 b
30 gram 75 85 75 65 75 75 c
45 gram 75 85 85 100 80 85 c
60 gram 100 100 100 100 100 100 d
Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama berbeda
tidak nyata pada uji Duncan taraf 1%.

Rerata mortalitas ulat grayak beberapa konsentrasi formulasi B.bassiana pada


hari ke- 9 menunjukkan bahwa konsentrasi formulasi 15 gram berbeda nyata dengan
kontrol, dan konsentrasi 30 gram dengan 45 gram berbeda tidak nyata namun
berbeda nyata dengan 15 gram dan kontrol. Sedangkan konsentrasi 60 gram berbeda
sangat nyata dengan kontrol dengan konsentrasi 45 gram, 30 gram, 15 gram (Tabel
1). Perbedaan mortalitas tiap perlakuan konsentrasi disebabkan karena jumlah jamur
B. bassiana yang terkandung dalam tiap konsentrasi. Semakin tinggi konsentrasi

20 https://ojs.unud.ac.id/index.php/JAT
E-Jurnal Agroekoteknologi Tropika ISSN: 2301-6515 Vol. 7, No. 1, Januari 2018

formulasi B. bassiana, maka semakin pekat pula kandungan jamur B. bassiana dan
semakin tinggi kerapatan spora didalamnya sehingga persentase mortalitas juga
semakin tinggi. Hal ini dikuatkan dengan pernyataan Rustama (2008) bahwa semakin
tinggi kerapatan spora yang diinfeksikan, maka semakin tinggi peluang kontak antara
patogen dengan inang, sehingga proses kematian serangga yang terinfeksi semakin
cepat.

Gambar 7. Grafik Intensitas Kerusakan pada Tanaman Tembakau yang disebabkan


oleh Ulat Grayak (S. litura) dengan Beberapa Perlakuan Konsentrasi
Formulasi jamur B. bassiana dari Dinas Perkebunan Provinsi Bali

Gambar 7 menunjukkan bahwa konsentrasi 60 gram yang dilarutkan dalam


satu liter air mengalami intensitas kerusakan yang paling rendah dibandingkan
dengan konsentrasi 45 gram, 30 gram, 15 gram, dan kontrol yaitu hanya 60%.
Berbeda halnya dengan perlakuan kontrol yang hanya menggunakan air, setiap
harinya intensitas kerusakan mengalami peningkatan hingga hari kesembilan sebesar
95%, mengingat aktivititas makan ulat grayak yang tinggi.

Tabel 2. Rerata Intensitas Kerusakan pada Tanaman Tembakau yang disebabkan oleh
Ulat Grayak (S. litura) dengan Perlakuan Beberapa Konsentrasi Formulasi
jamur B. bassiana dari Dinas Perkebunan Provinsi Bali pada Hari ke- 9
Perlakuan (konsentrasi Intensitas Kerusakan (%)
formulasi yang dilarutkan (Ulangan) Rerata notasi
ke dalam liter air) 1 2 3 4 5
Kontrol 100 90 90 100 95 95 a
15 gram 70 70 75 80 80 75 a b
30 gram 80 70 75 75 75 75 a b c
45 gram 70 75 60 60 60 65 b c
60 gram 60 55 55 55 75 60 c
Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama berbeda
tidak nyata pada uji Duncan taraf 1%.

https://ojs.unud.ac.id/index.php/JAT 21
E-Jurnal Agroekoteknologi Tropika ISSN: 2301-6515 Vol. 7, No. 1, Januari 2018

Pada Tabel 2 rerata intensitas kerusakan tanaman tembakau pada hari ke- 9
yang disebabkan oleh ulat grayak dengan beberapa perlakuan konsentrasi formulasi
B. bassiana terlihat bahwa kontrol berbeda tidak nyata dengan konsentrasi 15 gram
dan 30 gram, namun kontrol berbeda nyata dengan 45 gram dan berbeda sangat nyata
dengan 60 gram. Sedangkan konsentrasi 45 gram berbeda tidak nyata dengan 60
gram. Hal ini disebabkan karena aktivitas ulat grayak yang dipengaruhi oleh infeksi
dari jamur B. bassiana. Ulat grayak yang telah terinfeksi jamur B. bassiana akan
mengalami gangguan metabolisme, sistem pernafasan, dan sistem pencernaan,
sehingga nafsu makan ulat grayak berkurang mengakibatkan ulat menjadi kurang
aktif (Karolina et al., 2008), sehingga aktifitas ulat grayak akan berpengaruh pada
intensitas kerusakan yang tidak mengalami peningkatan.
Faktor lainnya juga disebabkan oleh lingkungan seperti suhu, kelembaban, Ph,
dan sinar UV yang mampu mempengaruhi pertumbuhan jamur B. bassiana (Neves,
2004). Suhu merupakan salah satu faktor yang paling berpengaruh terhadap
perkembangan jamur B. bassiana, Penelitian Kikankle et al. (2010) menunjukkan
pertumbuhan spora jamur B. bassiana yang optimal adalah pada suhu 26ºC.

4. Kesimpulan dan Saran


4.1 Kesimpulan
1. Formulasi yang diperoleh dari Dinas Perkebunan Provinsi Bali mengandung
jamur B. bassiana karena memiliki ciri-ciri jamur yang sesuai yaitu koloni
berwarna putih, spora berbentuk oval sampai bulat, strukturrnya seperti buah
anggur dan miselum bersekat.
2. Kerapatan spora yang dimiliki formulasi dari Dinas Perkebunan Provinsi Bali
sebesar 1 x 107 spora/ml, sehingga dikategorikan memiliki mutu yang baik.
3. Uji efektifitas formulasi Dinas Perkebunan Provinsi Bali di rumah kaca
menunjukkan bahwa konsentrasi 60 gram dilarutkan dalam satu liter air
memiliki hasil yang baik, dengan mortalitas terhadap ulat grayak paling tinggi
dan intensitas kerusakan tanaman tembakau paling rendah. Hal ini disebabkan
jumlah spora jamur B. bassiana yang terkandung dalam formulasi sangat pekat
dan rapat sehingga berpotensi lebih tinggi untuk menginfeksi.

4.2 Saran
Saran yang dapat penulis berikan adalah perlu dilakukan uji tambahan terhadap
formulasi B. bassiana dari Dinas Perkebunan Provinsi Bali berupa uji viabilitas
jamur B. bassiana.

Daftar Pustaka
Abdullah, A dan Soedarmanto. 1982. Budidaya Tembakau. C.V. Yasaguna : Jakarta.
hlm 4-25.
Balai Penelitian Tembakau Deli. 2004. Strategi Pengendalian Hama dan Penyakit
Tanaman Tembakau. BPTD PTP Nusantara II. Medan.

22 https://ojs.unud.ac.id/index.php/JAT
E-Jurnal Agroekoteknologi Tropika ISSN: 2301-6515 Vol. 7, No. 1, Januari 2018

Barnett, I. (1960). Illustrated Genera of Imperfect and Fungi. Department of Plant


Phatology, Bacteriology, Entomology West Virginia University. 2 nd Edition.
Morgantown Wet Virginia: Burgess Publishing Company.
Direktorat Perlindungan Perkebunan Kementerian Pertanian. 2014. Pedoman Uji
Mutu dan Uji Efikasi Lapangan Agens Pengendali Hayati (APH). Jakarta.
Gabriel, B.P. & Riyatno. 1989. Metarhizium anisopliae (Metch) sor: Taksonomi,
Patologi, Produksi dan Aplikasinya. Jakarta: Direktorat Perlindungan Tanaman
Perkebunan, Departemen Pertanian.
Gargita, I. W. D. 2016. Pemanfaatan Patogen Serangga (Beauveria bassiana Bals.)
untuk Mengendalikan Hama Penghisap Buah Kakao (Helopeltis spp.) di Desa
Gadungan, Kecamatan Selemadeg Timur, Kabupaten Tabanan. Skripsi.
Fakultas Pertanian Universitas Udayana.
Hunter WB, E Hiebert, SE Webb, JH Tsai, JE Polston. 1998. Ocation of eminivirus
In the whitefly Bemisia tabaci (Homoptera: Aleyrodidae). Plant Disease.
82:1147-151.
Karolina E; Mahfud MC; Rachmawati D; Sarwono & Fatimah S. 2008. Pengkajian
Efektifitas Cendawan Beauveria bassiana terhadap Perkembangan Hama dan
Penyakit Tanaman Krisan. Prosiding Seminar Pemberdayaan Petani melalui
Informasi dan Teknologi Pertanian. KP. Mojosari 16 Juli 2008. Kerjasama
BPTP Jatim, Faperta Universitas Brawijaya, Dinas Pertanian Provinsi,
Bappeda.
Kikankle.C.K, Basil D Brooke, Bart G.J Knols, Lizette L Koekemoer, Marit
Farenhorst, Richard H Hunt, Matthew B Thomas, Maureen Coetzee. 2010. The
infectivity of the entomopathogenic fungus Beauveria bassiana to insecticide-
resistant and susceptible Anopheles arabiensis mosquitoes at two different
temperatures. Malaria Journal. Doi:10.1186/1475-2875-9-71
Ligozzi, M., L. Maccacaro, M. Passilongo, E. Pedrotti, G. Marchini, R. Koncan, G.
Cornaglia, A. R. Centonzen and G. Lo Cascio. 2013. Utility of molecular
identification in opportunistic mycotic infections: a case of cutaneous
Alternaria infectoria infection in a cardiac transplant recipient. J Clin
Microbiol 2004; 42: 5334-5336.
Kundra. 1981. Pestisida dan Kegunaannya. Fakultas Pertanian Universitas
Padjadjaran, Bandung.
Neves, P.M.O.J., Elves, S. B. 2004. External Events Related to The Infection
Processof Comitermes cumulans (Kollars) (Isoptera; Termitidae) by The
Entomopathogenic Fungi Beauveria bassiana and Metarhizium anisopliae.
Journal of The Neotropical Entomo 33 (1); 051-056.
Rustama, Mia Miranti. 2008. Patogenisitas Jamur Entomopatogen Metarhizium
anisopliae terhadap Crocidolomia favonana Fab. dalam Kegiatan Studi
Pengendalian Hama Terpadu Tanaman Kubis dengan Menggunakan Agensia
Hayati. Lembaga Penelitian Universitas Padjajaran. Bandung.
Todorava, .I., D. Coderre, C. Vincent, and J.C. Cote. 2003. Effects of the
entomopathogenic fungus Beauveria bassiana on the oblique banded leafroller.
Agriculture and Agri-Food Canada. 1p (Abstract).

https://ojs.unud.ac.id/index.php/JAT 23

You might also like