Pengaruh Hukum Waris Islam Terhadap Pelaksanaan Waris Adat Aceh (Studi Di Aceh Utara) Riska

Download as pdf or txt
Download as pdf or txt
You are on page 1of 20

RISKA |1

PENGARUH HUKUM WARIS ISLAM TERHADAP PELAKSANAAN WARIS


ADAT ACEH (STUDI DI ACEH UTARA)

RISKA

ABSTRACT
The mechanism of the inheritance division of the customary communities of
Aceh Utara is implemented in accordance with the results of the meetings and
discussions among the heirs. When there is a dispute in distributing the inheritance, it
is resolved through several steps, firstly through family meetings, secondly through
Gampong (village) level, thirdly, through Mukim level (Village Union). If it cannot be
resolved through meetings and discussions (customary), it will be solved by Sharia
Court. Acehnese tend to divide the inheritance according to customary law than to
resolve it in the Sharia Court because if a problem is resolved in the Sharia Court, it
will cause a disharmony among the heirs, and it takes quite long time and high cost.
The issuess raised in this study were how would the mechanism of the
implementation of inheritance division be, how Islamic inheritance law influences the
implementation of the customary inheritance of the communities in Northern Aceh,
and why the communities in Northern Aceh tend to divide inheritance according to
customary law than to resolve it in Sharia Court. It uses judicial empirical approach
with descriptive analysis. The data are systematically analyzed using qualitative
method, namely the analysis of which a conclusion can be drawn inductively and
deductively so that solutions to the problems can be gained.

Keywords: Influence of Islamic Inheritance Law, Implementation of Customary


Inheritance Law Aceh Utara.

I. Latar Belakang
Sistem hukum waris yang berlaku di Indonesia ada 3 (tiga) yaitu, sistem
Hukum waris Islam, sistem hukum waris Adat dan sistem hukum waris Perdata.
Ketiga sistem hukum tersebut mempunyai perbedaan yang prinsipil misalnya antara
hukum waris Islam dan hukum waris adat, berbeda dalam hal sistem kekeluargaan,
pengertian kewarisan, harta peninggalan ahli waris, bagian ahli waris, lembaga
penggantian ahli waris dan sistem hibah. Khusus bagi hukum waris Islam diatur di
dalam Al Quran, hadist dan ijtihad, sedangkan hukum waris adat menurut Betrand
RISKA |2

Ter Haar hukum waris adat adalah proses penerusan dan peralihan kekayaan materiil
dan immateriil dari turunan ke turunan.1
Hukum waris suatu golongan masyarakat sangat dipengaruhi oleh bentuk
kekerabatan dari masyarakat itu sendiri, setiap kekerabatan atau kekeluargaan
memiliki sistem hukum waris sendiri-sendiri. Menurut wirjono Prodjodikoro, bahwa
diantara orang-orang Indonesia asli ditemukan 3 (tiga) macam golongan kekeluargaan
atau kekerabatan, yaitu Golongan kekeluargaan yang bersifat kebapakan
(Patriachaat, Vaderrechtlijk) atau disebut juga patrilineal, golongan kekeluargaan
yang bersifat keibuan (Matriaachaat, Moderrechtelijk) atau disebut juga matrilineal
dan golongan kekeluargaan yang kebapak-ibuan (Parental Ouderrechtlijk).
Masyarakat Aceh yang menganut sistem kekerabatan parental atau bilateral
artinya sistem waris dalam masyarakat kekerabatan parental atau bilateral
memberikan kedudukan anak laki-laki dan anak perempuan yaitu sama-sama
mempunyai peluang untuk menjadi ahli waris.
Penyelesaian hak dan kewajiban sebagai akibat meninggalnya seseorang, di
DWXU ROHK KXNXP ZDULV 'DODP SHQJHUWLDQ KXNXP ³ZDULV´ VDPSDL VDDW LQL EDLN SDUD
ahli hukum Indonesia maupun dalam hukum kepustakaan ilmu hukum Indonesia,
belum terdapat keseragaman pengertian, sehingga istilah untuk hukum waris beraneka
UDJDP 0LVDOQ\D VDMD :LUMRQR 3URGMRGRNRUR PHQJXQDNDQ LVWLODK ³KXNXP ZDULVDQ´
+D]DLULQ PHQJJXQDNDQ LVWLODK ³KXNXP NHZDULVDQ´ Soeppomo menyebutnya dengan
LVWLODK ³KXNXP ZDULV´.2
+XNXP ZDULV GDODP DMDUDQ ,VODP GLVHEXW GHQJDQ LVWLODK ³Faraid´ .DWD faraid
adalah bentuk jamak dari faridah yang berasal dari kata fardu yang berarti ketetapan,
pemberian (Sedekah).3 Dalam ajaran Islam semua harta peninggalan orang yang mati
baik yang bHUVLIDW NHEHQGDDDQ DWDX KDN GLVHEXW GHQJDQ LVWLODK ³tarikah/ tirkah.

1
Betrand Ter Haar, Asas-Asas dan Susunan Hukum Adat, Terjemahan K. Ng. Soebakti
Poesponoto, (Surabaya: Fadjar, 1953), hal. 197
2
Eman Suparman, ³+XNXP :DULV ,QGRQHVLD GDODP 3HUVSHNWLI ,VODP $GDW GDQ %:´,
(Bandung: PT Rafika Aditama, 2011), hal. 1.
3
Louis Makluf, Al Munjid fi al-Lugah, (Beirut: Daral-Masyriiq, 1986), hal. 577
RISKA |3

Tarikah ini tidaklah otomatis menjadi harta warisan yang akan diwariskan kepada ahli
waris.4
Sejumlah ketentuan tentang faraid telah diatur secara jelas didalam Al-
4XU¶DQ \DLWX GLGDODP surat An-1LVD¶ D\DW GDQ VXUDW-surat lainnya
sejumlah ketentuan lainnya didalam Al-Hadist dan sejumlah ketentuan lainnya
GLGDODP LMPD¶ GDQ LMWLKDG SDUD VDKDEDW LPDP PDG]KDE GDQ SDUD PXMWDKLG ODLQQ\D 5
Pasal 171 ayat e KHI disebutkan bahwa yang dimaksud dengan harta warisan
adalah harta bawaan ditambah bagian dari harta bersama setelah digunakan untuk
keperluan pewaris (orang yang meninggal) selama sakit sampai meninggalnya, biaya
pengurusan jenazah (tajhiz), pembayaran utang, dan pemberian untuk kerabat.
Hukum adat sebagai hukum yang hidup (living law) dikonsepsikan sebagai
suatu sistem hukum yang terbentuk dan berasal dari pengalaman empiris masyarakat
pada masa lalu, yang dianggap adil dan patut dan telah mendapatkan legitimasi dari
penguasa adat sehingga mengikat atau wajib dipatuhi (bersifat normatif).6
Namun secara teoritis, masyarakat Indonesia sekalipun ia beragama Islam,
masih banyak dalam melaksanakan hukum waris dipengaruhi oleh hukum adat
masing-masing yang masih hidup dan berkembang dalam kehidupan sehari-hari,
sehingga terjadi pencampuran antara hukum Islam dan hukum adat dalam
menyelesaikan persoalan warisan.
Menurut hukum adat tradisional di Aceh adalah segala harta warisan dibagi-
bagikan menurut hukum Islam yang dibarengi oleh Adat, tidak menurut hukum
semata-mata atau menurut adat semata-mata.7 Pada dasarnya semua anak, baik anak
laki-laki maupun anak perempuan mempunyai hak yang sama atas harta peninggalan

4
Amin Husein Nasution, Hukum kewarisan, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2012), hal.
57
5
Otje Salman, Mustofa Haffas, Hukum Waris Islam, (Bandung: PT Refika Aditama, 2006),
hal. 3
6
Otje Salman Soemadiningrat, Rekonseptualisasi Hukum Adat Kontemporer, (Bandung:
Alumni, 2002), hal. 27
7
Moehammad Hoesin, Adat aceh, (Banda Aceh: Dinas Pendidikan Kebudayaan Propinsi
Daeerah Istimewa Aceh, 1970), hal. 163
RISKA |4

ibu dan bapaknya artinya bahwa hak sama yang mengandung hak untuk diperlakukan
sama dengan tidak memandang ia laki-laki maupun perempuan atas harta peninggalan
ibu dan bapaknya yaitu dengan membagikan atau mempersamakan hak waris anak
laki-laki dan anak perempuan yang didasarkkan atas kesepakatan ahli waris, saling
rela atau saling terima bagian (tameu jeut-jeut).8
Masyarakat Aceh khususnya masyarakat Kabupaten Aceh Utara memiliki
satu kebiasaan dalam kehidupan bermasyarakat yaitu selalu menyelesaikan berbagai
persoalan dan sengketa melalui musyawarah desa (gampong), baik berupa persoalan
kecil seperti perkelahian anak hingga persoalan pembagian warisan.
Pada umumnya dalam kondisi damai pihak keluarga yang ingin
menyelesaikan persoalan warisan menyerahkan sepenuhnya upaya penyelesaian pada
tim musyawarah desa (gampong), terutama pada tokoh adat dan alim ulama.
Persoalan warisan ini tentunya diselesaikan sesuai aturan agama Islam.
Pembagian warisan boleh saja didasarkan pada keinginan sang ahli waris,
namun untuk tahap pertama pembagian warisan tetap didasarkan dengan aturan
hukum Islam. Walaupun demikian, jika sesudahnya ada pihak-pihak yang ingin
membagi lagi haknya kepada ahli waris lainnya, hal itu akan diserahkan sepenuhnya
kepada pihak keluarga.9
Hukum Adat di Aceh secara umum dipengaruhi oleh hukum Islam maka
setiap penanganan dan penyelesaian masalah termasuk pembagian harta warisan
berpedoman pada hukum Islam. Namun, dalam prakteknya penanganan warisan lebih
banyak tergantung kepada ahli warisnya.
Berdasarkan penelusuran awal nyatanya pembagian warisan tersebut tidak
semuanya diselesaikan secara hukum Islam dan hanya diselesaikan secara
musyawarah dan kesepakatan para ahli waris saja atau secara adat. 10 Tidak tertutup

8
Wawancara dengan Hamdani, Ketua Bagian Hukum Adat Majelis Adat Aceh Kabupaten
Aceh Utara, Tanggal 29 Juli 2015
9
Ibid
10
Wawancara dengan Abdurrahman, Sekretaris Gampong/Perangkat Gampong Rawa Itek,
Geudong, Kabupaten Aceh utara, Tanggal 30 Maret 2015
RISKA |5

kemungkinan bahwa dalam pelaksanaan warisan upaya tersebut tidak membawa hasil
dan menimbulkan NRQIOLN VHKLQJJD KDUXV GLVHOHVDLNDQ PHODOXL 0DKNDPDK 6\DU¶L\DK
Hal ini kemudian menarik untuk ditelaah lebih lanjut mengenai pengaruh hukum
waris Islam terhadap pelaksanaan waris adat aceh di Aceh Utara dalam tesis ini yang
EHUMXGXO ³3HQJDUXK +XNXP :DULV Islam Terhadap Pelaksanaan Waris Adat Aceh
6WXGL 'L $FHK 8WDUD ´
Dari uraian latar belakang tersebut diatas dapat dirumuskan beberapa permasalahan
sebagai berikut:
1. Bagaimana mekanisme pelaksanaan pembagian waris di masyarakat Aceh
Utara?
2. Bagaimana pengaruh hukum waris Islam terhadap pelaksanaan hukum waris
adat di masyarakat Aceh Utara?
3. Mengapa masyarakat Aceh Utara cenderung melaksanakan pembagian
ZDULVDQ VHFDUD DGDW GDULSDGD PHQ\HOHVDLNDQ GL 0DKNDPDK 6\DU¶L\DK"
Berdasarkan permasalahan yang tersebut diatas, maka tujuan yang hendak dicapai
dalam penelitian ini adalah:
1. Untuk mengetahui mekanisme pelaksanaan pembagian waris di masyarakat
Aceh Utara.
2. Untuk mengetahui pengaruh hukum waris Islam terhadap pelaksanaan hukum
waris adat di masyarakat Aceh Utara.
3. Untuk mengetahui masyarakat Aceh Utara cenderung melaksanakan
pembagian warisan secara adat daripada menyelesaikan di Mahkamah
6\DU¶L\DK"
II. Metode Penelitian
Dalam penelitian ini adalah pendekatan yuridis empiris. Metode yuridis
empiris digunakan untuk mendapatkan jawaban dari permasalahan dengan melihat
berbagai aspek yang terdapat dalam masyarakat yang berhubungan dengan Pengaruh
Hukum Waris Islam Terhadap Pelaksanaan Waris Adat Aceh (Studi Di Aceh Utara).
RISKA |6

Penelitian ini bersifat deskriptif analitis, karena dari penelitian ini diharapkan akan
menggambarkan gejala-gejala, fakta, aspek-aspek serta upaya hukum yang berkaitan
dengan Pengaruh Hukum Waris Islam Terhadap Pelaksanaan Waris Adat Aceh Di
Aceh, khususnya pada masyarakat Aceh Utara. Alat pengumpulan data sangat penting
menentukan hasil penelitian sehingga apa yang menjadi tujuan penelitian ini dapat
tercapai. Untuk mendapatkan hasil penelitian yang optimal dan dapat dibuktikan
kebenarannya serta dapat dipertanggung jawabkan hasilnya. Alat pengumpulan data
yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah, sebagai berikut:
a. Penelitian Kepustakaan (library research)
Pengumpulan data dilakukan dengan cara menghimpun data yang berasal dari
kepustakaan, beupa buku-buku atau literatur, jurnal ilmiah, majalah-majalah,
peraturan PerUndang-undangan yang ada hubungannya dengan masalah yang
diteliti serta tulisan-tulisan yang berkaitan dengan pengaruh hukum waris
Islam terhadap pelaksanaan waris adat aceh.
b. Penelitian lapangan (Field research)
yaitu dengan cara wawancara yang dilakukan kepada para responden dan
informan lainnya yang dilakukan dengan wawancara.
Untuk memperoleh data dalam penelitian ini diperoleh dengan mengumpulkan data
primer dan data sekunder, yaitu:
1. Data Primer
Data primer yaitu data yang diperoleh langsung dari sumber asli dilapangan
yang terdiri dari wawancara (interview) dan kuisioner.
2. Data Sekunder
Data sekunder yaitu data yang diperoleh atau dikumpulkan dari berbagai
sumber yang telah ada seperti dikepustakaan, data sekunder terdiri dari:
a. Bahan Hukum Primer
Bahan hukum primer yaitu bahan-bahan hukum yang terdiri dari Al-
4XU¶DQ +DGLVW EXNX-buku fikih Islam, aturan hukum yang berbeda
RISKA |7

terdapat pada berbagai perangkat hukum atau peraturan perundang-


undangan, Qanun yang berkaitan dengan warisan.
b. Bahan hukum sekunder
Bahan hukum sekunder berupa bahan-bahan yang erat kaitannya dengan
bahan hukum primer seperti doktrin (pendapat para ahli), buku-buku,
jurnal hukum, makalah, buku-buku fikih yang berhubungan dengan
penelitian ini.
c. Bahan hukum tertier
Bahan hukum tertier yaitu bahan-bahan yang memberi petunjuk maupun
penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder11
dengan melakukan pengkajian dan analisis terhadap data yang telah
diperoleh dari hasil penelitian data primer dan data sekunder. Dalam hal
ini diperoleh dari kamus umum, majalah, internet, ensiklopedi serta
bahan-bahan ddiluar bidang hukum yang berkaitan guna melengkapi
data.
Dalam proses pengolahan, analisis dan pemanfaatan data dalam penelitian ini
menggunakan metode kualitatif \DLWX ³SURVHGXU SHQHOLWLDQ \DQJ PHQJKDVLONDQ GDWD
yang deskriptif, yang bersumber dari tulisan atau ungkapan dan tingkah laku yang
dapat diobservasi dari PDQXVLD´ 12
III. Hasil Penelitian dan Pembahasan.
A. Mekanisme Pelaksanaan Pembagian Harta Warisan Dalam Masyarakat Aceh
Utara
Pada tahun 1999 Kabupaten Aceh Utara yang terdiri dari 26 Kecamatan saat
ini Kabupaten Aceh Utara dengan luas wilayah sebesar 3.296,86 Km2 dan
berpenduduk sebanyak 529.571 jiwa membawahi 27 kecamatan.13

11
Ibid.
12
Burhan Ashshofa, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Rineka Cipta, 2007), hal. 16.
13
Ibid.
RISKA |8

Dalam hukum kewarisan istilah harta warisan biasa disebut dengan tarikah
atau tirkah dalam pengertian bahasa, searti dengan miras atau harta yang ditinggalkan
oleh seorang pemilik harta, untuk ahli warisnya dinamakan tarikah si mati (tarikatul
mayiti).14
Masyarakat adat Aceh merupakan masyarakat Bilateral/ Parental yaitu
masyarakat yang menarik garis keturunan dari ayah dan ibu. Dalam pembagian harta
warisan di Kabupaten Aceh Utara, antara ahli waris lelaki dan perempuan tidak
dibeda-bedakan didalam pembagian harta peninggalan kekayaan orang tuanya. Hukum
adat tidak menetapkan sistem atau cara tertentu dalam hal pembagian harta warisan,
yang mana dari itu bisa dilaksanakan baik secara tulisan atau secara lisan15
Pelaksanaan hukum waris adat yang berlaku di Kabupaten Aceh Utara
dilaksanakan menurut hasil dari musyawarah dan kesepakatan para ahli waris setelah
pewaris meninggal dunia dan meninggalkan harta kekayaan baik yang bergerak
ataupun yang tidak bergerak.
Hukum kewarisan adat dimasyarakat Aceh biasanya dilakukan pembagian
harta-harta yang ditinggalkan oleh seorang yang telah meninggal dunia ialah pada
hari-hari sesudah hari ke-44 atau ke-100 dari tanggal kematiannya sipewaris. Dengan
demikian kenduri-kenduri (selamatan) yang diadakan untuk arwah dari seseorang
yang meninggal dunia itu (keu arwah ureueng mate) sudah selesai diselenggarakan.16
Biaya-biaya kenduri (selamatan) tersebut merupakan dari harta si pewaris sebelum
harta tersebut dibagikan kepada ahli waris.
Telah menjadi kebiasaan di Aceh, pembagian harta warisan itu mula pertama
mereka coba melakukannya dengan cara damai sesama ahli waris yang berhak
menerimanya dan jika dirasa perlu seorang famili dekat atau jauh yang tertua serta

14
Tengku Muhammad Hasbiash-Shiddieqy, Fiqh Mewaris, (Semarang: PT. Pustaka Rizki
Putra, 1997, Hal. 9
15
Oemarsalim, Dasar-Dasar Hukum Waris di Indonesia, PT Asdi Mahasatya, Jakarta, 2000,
hal 181
16
Moehammad Hoesin, Adat aceh, (Banda Aceh: Dinas Pendidikan Kebudayaan Propinsi
Daeerah Istimewa Aceh, 1970), hal. 163
RISKA |9

bijaksana dipergunakan sebagai pembantu.17 Jika dengan cara sesama ahli waris
pembagian pusaka itu tidak berhasil dilaksanakan, maka dilaksanaan Pembagian
Warisan ditingkat Gampong/ Desa. Gampong adalah suatu wilayah yang ditempati
oleh sejumlah penduduk sebagai kesatuan masyarakat yang terendah dan berhak
menyelenggarakan rumah tangganya sendiri.18 Ahli waris mengundang tokoh-tokoh
adat tersebut yaitu Keuchik (kepala desa), Imeum Meunasah (pemimpin keagamaan di
gampong/ desa), ulama lokal dan Tuha Peut (tertua gampong/ desa) untuk dilakukan
lagi secara damai serta dilaksanakan secara musyawarah dan mufakat. Apabila tidak
tercapainya kesepakatan dan menimbulkan perselisihan ditingkat Gampong maka
barulah diselesaikan melalui tingkat Mukim/ Persekutuan Desa.
Apabila menimbulkan sengketa atau perselisihan ditingkat gampong (desa)
dan tidak dapat diterima atau tidak disepakati oleh salah satu pihak/ para pihak, maka
dilakukan lagi dengan cara damai ditingkat Mukim. Mukim adalah kesatuan
mayarakat hukum adat dalam propinsi daerah istimewa Aceh yang terdiri dari
beberapa Gampong yang mempunyai batas-batas wilayah tertentu dan harta kekayaan
sendiri.19 Pelaksanaan warisan ditingkat Mukim dilakukan oleh Imeum Mukim
((Kepala Pemerintahan Mukim)/ Persekutuan Desa), Imeum Chiek (Pemimpin
Keagamaan Di Mukim/ Persekutuan Desa, Tuha Peut Mukim (Tertua di Mukim /
Persekutuan Desa) dan Ulama Lokal yang mencoba juga mendamaikan urusan
pembagian harta warisan tersebut dengan cara musyawarah.
Perlu diingat bahwa kehadiran orang- orang tersebut merupakan undangan
dari ahli waris.20 Hal ini senada dengan yang diperintahkan oleh Pasal 11 Peraturan
Daerah (Qanun) No. 7 Tahun 2000 Tentang penyelenggaraan kehidupan adat.

17
Wawancara dengan Bukhari, Keuchik (Kepala Desa) Gampong Krueng Mate, Tanggal 11
Desember 2015
18
Pasal 1 Angka 9 Peraturan Daerah Nomor 7 Tahun 2000 Tentang Penyelenggara
Kehidupan Adat
19
Pasal 1 Angka 6 Peraturan Daerah Nomor 7 Tahun 2000 Tentang Penyelenggara
Kehidupan Adat
20
Wawancara dengan Bukhari, Keuchik (Kepala Desa) Gampong Krueng Mate, Tanggal 11
Desember 2015
R I S K A | 10

Apabila Proses pelaksanaan pembagian warisan ditingkat Gampong (Desa) dan


ditingkat Mukim (Persekutuan Desa) tidak dapat terselesaikan maka para pihak dapat
mengajukan JXJDWDQ NH 0DKNDPDK 6\DU¶L\DK Dalam penyelesaian sengketa
dilakukan secara berjenjang yaitu ditingkat Gampong (Desa), Tingkat Mukim
3HUVHNXWXDQ 'HVD GDQ WHUDNKLU PHODOXL /HPEDJD 0DKNDPDK 6\DU¶L\DK
penyelesaian ditingkat Mukim merupakan upaya terakhir untuk mendapatkan
keadilan dalam jurisdiksi adat.21
Peranan tokoh-tokoh adat dalam hal pembagian warisan hampir sama yaitu
memberikan nasehat, saran dan mendorong penyelesaian pembagian warisan
dilakukan secara kekeluargaan dan musyawarah yang berdasarkan kesepakatan dan
damai agar tidak terjadi perpecahan diantara ahli waris serta agar tetap terjaganya
hubungan keluarga yang harmonis. Membantu para pihak untuk menyadari bahwa
sengketa bukan sebuah pertarungan untuk dimenangkan, tetapi untuk diselesaikan.
Pertemuan itu biasa dilakukan di rumah orang tuanya atau dirumah ahli waris yang
tertua.
Sudah menjadi kebiasaan masyarakat Aceh Utara bahwa untuk menyelesaikan
atau melaksanakan pembagian waris melalui musyawarah dan mufakat dengan cara
memanggil tokoh-tokoh adat dan alim ulama karena ahli waris memerlukan pendapat
dan saran tersebut serta menganggap bahwa mereka lebih mengerti dan berkompeten
untuk menyelesaikannya.
Oleh karena itu, tokoh adat dan alim ulama menyarankan agar penyelesaian
diupayakan melalui musyawarah dengan melibatkan lembaga adat desa (gampong).
Pembagian waris dengan cara kekeluargaan itu, dapat saja didorong oleh rasa
pertimbangan bahwa mengutamakan keluarga, hubungan keharmonisan keluarga,
kebersamaan, kegotong-royongan, musyawarah dan mufakat dalam membagi
warisan.

21
Majelis Adat Aceh, Pedoman Peradilan Adat Di Aceh (Untuk Peradilan Adat Yang Adil
Dan Akuntabel), (Banda Aceh, 2008), Hal. 12
R I S K A | 11

Alasan lain dapat juga karena pertimbangan para ahli waris bahwa seorang
atau lebih di antara mereka lebih banyak terlibat dalam pengurusan pewaris.22 Dengan
demikian, menjadi logis apabila mereka mendapat bagian yang sama atau lebih
selama para pihak tersebut menyepakati prinsip tersebut dan telah mengetahui hak
mereka masing-masing.
B. Pengaruh Hukum Islam Terhadap Pelaksanaan Pembagian Waris Pada
Masyarakat Aceh Utara
Pada umumnya sistem kewarisan yang berlaku disuatu daerah dipengaruhi
oleh prinsip garis keturunan yang berlaku pada masyarakat yang bersangkutan. Hal
ini disebabkan karena hukum kewarisan tidak dapat dipisahkan dari sistem keluarga.
Masyarakat adat Aceh merupakan masyarakat bilateral yaitu masyarakat yang
menarik garis keturunan dari ayah dan ibu. Dalam pembagian harta warisan di
Kabupaten Aceh Utara, antara ahli waris lelaki dan perempuan tidak dibeda-bedakan
didalam pembagian harta peninggalan kekayaan orang tuanya. Sistem kewarisan ini
hampir sama dengan Dasar yang berlaku dalam Al-Quran Surat An-1LVD¶D\DW
Eksistensi hukum adat pada masyarakat Islam sendiri tidak
mempertentangkan antara hukum adat dan hukum Islam, karena hukum adat dan
hukum Islam saling berdampingan dan melengkapi satu sama lain dan telah
ditentukan pula tempat kedudukannya masing-masing sehingga hukum adat tidak
bertentangan dengan hukum Islam. Hal ini dapat dilihat dalam pertautan keduanya
(antara adat dengan Islam) bisa dilihat dari hadih maja (ungkapan adat) yang
berbunyi; ³+XNXP ,VODP QJRQ DGDW ODJHH ]DW QJRQ VLIHXW´ (Hukum dengan adat
seperti zat dengan sifat).23
Keadaaan masyarakat adat yang ada di wilayah Kabupaten Aceh Utara adalah
bersifat agamis, dalam kehidupan sehari-hari berpedoman dan berpegang kepada
ajaran agama Islam. Masyarakat adat yang ada di wilayah Kabupaten Aceh Utara

22
Wawancara dengan Fadli, Ustadz/Tokoh Masyarakat di Kecamatan Lhoksukon, Aceh
Utara, Tanggal 20 November 2015
23
Syamsul Bahri, Op. Cit, , hal. 61
R I S K A | 12

masih menganut kebersamaan dalam memecahkan masalah-masalah yang dihadapi.


Dimana kepatuhan masyarakat untuk mematuhi hukum sangat besar baik itu hukum
nasional/ hukum adat yang berlaku. Hal ini dapat dibuktikan dengan melihat
permasalahan waris yang berakhir tanpa ada pertumpahan darah.
Pembagian harta warisan dari pewaris yang berdasarkan hukum adat, kadang-
kadang dalam prakteknya tidak secara murni hukum adat artinya tidak menurut
V\DUL¶DW VHPDWD-mata atau menurut adat semata-mata. Misalnya dalam hal penentuan
ahli waris berdasarkan ketentuan hukum Islam. Akan tetapi besarnya bagian ahli waris
berdasarkan atas putusan pewaris atau atas dasar musyawarah dan mufakat yang
berdasarkan konsep hukum adat.24
Jadi, sistem pewarisan ini dapat diketahui bahwa sebagian besar responden
memilih melakukan pembagian warisan yaitu sama rata antara laki-laki dan
perempuan, walaupun diantaranya ada yang melakukan pembagian warisan yaitu
Laki-Laki 2 kali Bagian Anak Perempuan.
Alasan masyarakat menggunakan cara dengan porsi pembagian sama hak
antara laki-laki dan perempuan yang berdasarkan kesepakatan karena dianggap lebih
adil. Alasan lain adalah karena pertimbangan ahli waris bahwa seseorang atau lebih
diantara ahli waris lebih banyak terlibat dalam mengurusi si pewaris pada masa
hidupnya, dan dengan dasar pertimbangan tersebut menjadi logis jika pembagian
warisan dilakukan sama rata antara anak laki-laki dan perempuan. Sebaliknya, bila
para ahli waris atau diantara ahli waris tidak setuju atau tidak rela harta warisan
tersebut dibagikan sama rata antara laki-laki dan perempuan, maka sistem
pembagiannya dilakukan sesuai dengan hukum waris Islam yang telah dijelaskan
dalam Al-4XU¶DQ GDQ 6XQQDK 25
Mengenai waktu pembagian harta warisan ada 2 (dua) tipe yaitu dilaksanakan
setelah pewaris meninggal dunia dan ada juga pembagian harta warisan yang

24
Ibid
25
Wawancara dengan Mulyadi, Ustadz/Tokoh Masyarakat di Kabupaten Aceh Utara, Tanggal
20 November 2013
R I S K A | 13

dilakukan sebelum pewaris meninggal dunia.26 Proses pewarisan ditentukan pula oleh
sikap dan tindakan orang tua (pewaris) dalam menentukan peralihan dan pengoperan
harta warisannya. Sikap dan tindakan orang tua ini timbul karena kekhawatiran
sesuatu hal yang tidak diinginkan antara hasil waris dengan adanya harta warisan.
Faktor menghindari perselisihan antara ahli waris yang menimbulkan
perpecahan dan harmonisasi antara ahli waris setelah pewaris meninggal dunia,
merupakan salah satu unsur yang dominan yang mendorong orang tua sebelum
meninggal dunia melakukan pembagian harta warisan.
Dalam pembagian harta waris khususnya waris adat salah satu kebiasaan
sebelum warisan dibagikan kepada ahli waris harus diselesaikannya dulu hak pewaris,
belanja penguburan mayat, selamatan (keunduri), wasiat, hutang-hutang dan
sebagainya yang dibenarkan oleh Hukum Islam dipotong dari harta-harta yang akan
dibagi-bagi (faraidh) itu.27
Pengaruh para ulama dalam proses pembagian waris adalah pada saat
pembagian harta warisan terhadap pihak-pihak yang ingin membagikan harta warisan
dan dalam memberikan kesimpulan. Jadi para ulama mempertahankan model
pembagian warisan berdasarkan hukum Islam/ faraidh. Dalam penetapan ahli waris
dan harta warisan yang ditinggalkan benar-benar berdasarkan fiqih atau syari¶at.
Tetapi para ulama memberikan kesempatan kepada ahli waris untuk
memberikan pendapat-pendapat lain terhadap pembagian warisan. Sebaliknya, tidak
menjadi persoalan jika diantara ahli waris tidak menerima pembagian warisan secara
Islam maka dapat dilaksanakan secara adat yaitu dengan mempersamakan bagian
antara laki-laki dan perempuan yaitu dengan bagian 1:1 setelah tercapainya
musyawarah dan mufakat. Artinya bahwa Ulama tidak memaksa pembagian warisan
harus dilaksanakan menurut hukum Islam.28 Peranan para ulama, tokoh adat, ahli

26
Bukhari, Op.Cit, Tanggal 11 Desember 2015
27
Moehammad Hoesin, Op. Cit, , hal. 164
28
Wawancara dengan Mulyadi, Ustadz/ Tokoh Masyarakat di Kabupaten Aceh Utara,
Tanggal 20 November 2015
R I S K A | 14

waris adalah bagian terpenting dalam pelaksanaan pembagian harta warisan yaitu
dengan cara musyawarah dan mufakat.
Sebagian besar masyarakat atau tokoh agama dan tokoh adat di Kabupaten
Aceh Utara masih berpegang pada kitab fiqh lama yang dalam pembagian waris
secara adat tidak bertentangan dengan fiqih Islam serta umumnya ulama-ulama
tersebut merupakan tamatan atau alumni dari pasantren-pasantren di Aceh.
Dengan demikian hubungan antara hukum adat dan hukum Islam begitu
tampak dalam pelaksanaan waris adat pada masyarakat Aceh Utara sejauh hukum
adat tersebut tidak bertentangan dengan hukum Islam. Misalnya dalam penentuan ahli
waris berdasarkan hukum Islam dan hak pewaris yang harus diselesaikan terlebih
dahulu sebelum harta warisan dibagikan kepada ahli waris yang dibenarkan oleh
hukum Islam.
Dengan kata lain bahwa eksistensi hukum adat dan hukum Islam pada
masyarakat Kabupaten Aceh Utara adalah saling mengisi dan berdampingan, artinya
penerapan hukum adat dan hukum Islam disesuaikan dengan keadaan dan kebutuhan
masyarakat. Aturan hukum adat diberlakukan dengan sendirinya yang tidak
bertentangan dengan hukum Islam. Bila harta dalam keadaan bersih ini barulah
dibagi-bagikan kepada ahli warisnya.29
C. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Pelaksanaan Hukum Waris Secara Adat
Di Masyarakat Aceh Utara
Beberapa faktor yang yang mempengaruhi pelaksanaan hukum waris secara adat di
masyarakat aceh utara ini adalah :
1. Faktor Adat

29
Wawancara dengan Fadli, Ustadz/ Tokoh Masyarakat di Kabupaten Aceh Utara, Tanggal
18 November 2015
R I S K A | 15

Adat Aceh tidak membenarkan sekali-kali untuk memberikan sebagian harta


pusaka kepada yang membunuh mati orang yang meninggalkan harta itu,
meskipun pembunuh ini yang sebenarnya ahli warisnya.30
Nilai-nilai hukum Islam tidak lepas dari prinsip penerapan yang dianutnya,
serta tujuan hukum Islam itu sendiri. Salah satu prinsip dimaksud adalah
penggunaan norma adat sebagai salah satu pertimbangan dalan menetapkan
hukum. Dalam penerapan hukum Islam selalu memperhatikan adat istiadat
setempat untuk dijadikan standar norma yang harus diikuti dan ditaati oleh
masyarakat selama tidak bertentangan dengan Al-4XU¶DQ GDQ +DGLWV 31
2. Faktor Kesepakatan Dari Ahli Waris
Pembagian waris di Kabupaten Aceh Utara sering dilakukan dengan cara
musyawarah dengan tercapainya kesepakatan antara keluarga dan para ahli
waris, sekiranya dari musyawarah tersebut mengahasilkan kesepakatan bahwa
pembagian warisan dilakukan dengan cara sama rata antara laki-laki dan
perempuan, maka tidak menjadi pokok masalah selama ahli waris yang lain
setuju dan sepakat.
3. Faktor Ikhlas Sama Ikhlas Dari Para Ahli Waris
Para ahli waris sudah mengetahui terlebih dahulu bagian mereka masing-
masing sesuai hukum waris islam, kemudian mereka menyetujui pembagian
warisan sesuai dengan hasil musyawarah didasarkan atas rasa saling rela atau
saling terima bagian diantara ahli waris. Misalnya, mempersamakan bagian
antara ahli waris laki-laki dan perempuan. Biasanya dalam masyarakat
Kabupaten Aceh Utara disebut dengan istilah ta meu jeut jeut artinya adalah
ikhlas sama ikhlas.
4. Faktor Hubungan Kekeluargaan dan Ekonomi

30
Moehammad Hoesin, Op. Cit, hal 164
31
Rusjdi Ali Muhammad, Dedi Sumardi, .HDULIDQ 7UDGLVLRQDO /RNDO 3HQ\HUDSDQ 6\DUL¶DW
Islam Dalam Hukum Adat Aceh, (Banda Aceh: Dinas Syariat Islam Aceh), 2001, hal. 39
R I S K A | 16

Yang dimaksud dengan faktor hubungan kekeluargaan di sini ialah perasaan


dari anggota keluarga untuk hidup dalam persatuan yang kompak. Dalam
hubungannya dengan harta warisan, hal ini berarti bahwa warisan itu jangan
sampai mengurangi atau menghilangkan kekompakan mereka. Pembagian
warisan bisa berpengaruh dengan tingkat ekonomi, karena kalau ada salah
satu ahli waris yang membutuhkan biaya hidup dalam arti kurang mampu
maka tidak sungkan-sungkan untuk membantu keuangan ahli waris tersebut
dengan bagian warisan yang sudah dibagikan.
5. Faktor yang merawat orang tua
Yang dimaksud faktor yang merawat orang tua disi adalah ada ahli waris yang
banyak menghabiskan waktu dan merawat pewaris sampai akhir hayatnya.
Menurut Keuchik Bukhari ada kasus bahwa dalam pembagian warisan masih
ada sisa harta yaitu harta sepetak tanah, maka berdasarkan kesepakatan ahli
waris sisa harta tersebut mereka berikan kepada salah satu ahli waris yang
merawat sipewaris karena dianggap dia yang lebih berhak menerimanya.32
Masyarakat Aceh Utara sangat menjunjung persaudaraan dan hubungan
harmonis dalam keluarga. Ada beberapa keuntungan yang sering muncul dalam
sebuah upaya penyelesaian sengketa secara adat, yaitu sifat kesukarelaan, hemat
waktu, hemat biaya dan terpeliharanya hubungan diantara keluarga.
D. Penyelesaian Pembagian Warisan Melalui Mahkamah SyaU¶L\DK
Kasus-NDVXV \DQJ PDVXN NH 0DKNDPDK 6\DU¶L\DK ELDVDQ\D NDVXV \DQJ VXGDK
tidak bisa lagi diselesaikan oleh tokoh adat dan ulama secara musyawarah dan
mufakat serta sudah tidak menemukan jalan keluarnya atau buntu, sehingga alternatif
terakhir ahli waris membawa/ menyelesaikan sengketa tersebut ke Mahkamah
6\DU¶L\DK
Pemahaman masyarakat Aceh Utara, kalau suatu masalah diselesaikan melalui
SHUDGLODQ XPXP 0DKNDPDK 6\DU¶L\DK SDGD GDVDUQ\D DNDQ PHUXJLNDQ SDUD SLKDN

32
Bukhari, Keuchik Desa Krueng Mate, Kecamatan Samudera, Wawancara tanggal 11
Desember 2015
R I S K A | 17

yang bersengketa dan dapat merusak hubungan kekeluargaan, biaya yang tinggi dan
membutuhkan waktu yang lama.
Kasus-NDVXV \DQJ GLVHOHVDLNDQ GL 0DKNDPDK 6\DU¶L\DK \DLWX GHQJDQ
menerapkan hukum Islam yang berlaku secara nasional yaitu bersumber dan
dirumuskan dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI). Tujuannya agar tidak ada
perbedaan penerapan hukum di Indonesia. Apabila ada hukum adat artinya
mempertimbangkan hukum yang hidup didalam masyarakat, apabila bertentangan
dengan Kompilasi Hukum Islam maka tidak diterapkan. Apabila mereka ingin
melakukan pembagian secara adat yaitu dengan pembagian laki-laki dan perempuan
dengan perbandingan sama rata maka dapat dijalankan tetapi mereka harus sepakat
dan terlebih dahulu ahli waris tersebut harus mengetahui porsinya masing-masing
33
sesuai dengan yang ditetapkan dalam KHI.
Sebelum memutuskan sengketa waris yang disidangkan, Hakim menawarkan
para pihak yang bersengketa untuk berdamai, apabila perdamaian itu tercapai maka
para pihak akan menandatangani akta damai (dading). Tetapi jika ditolak maka
Majelis Hakim akan memeriksa perkara pembagian harta warisan tersebut. setelah
perkara sengketa pembagian harta warisan diperiksa, maka Majelis Hakim
mengeluarkan putusan yang mempunyai kekuatan hukum tetap dan harus
dilaksanakan oleh para pihak yang bersengketa. Jika ada salah satu pihak yang tidak
melaksanakan isi putusan tersebut, maka pihak lawan yang berperkara memohon
kepada Majelis Hakim untuk memerintahkan juru sita untuk mengeksekusi atau
menyita harta yang menjadi objek sengketa tersebut.34
'DVDU SHUWLPEDQJDQ 0DKNDPDK 6\DU¶L\DK /KRNVXNRQ .DEXSDWHQ $FHK 8WDUD
adalah Pasal 176 Kompilasi Hukum Islam. Kenyataan pula bagi para hakim, jika ada
kasus yang dihadapinya belum ada hukumnya, maka ia wajib berijtihad.35 Hakim

33
Wawancara dengan Al-$]KDUL +DNLP GDQ .HWXD 0DKNDPDK 6\DU¶L\DK $FHK 8WDUD
Tanggal 1 Desember 2015
34
Ibid
35
Ibrahim Husen, Fiqh Perbandingan, Masalah Pernikahan, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2003),
hal. 15-16
R I S K A | 18

WLGDN EROHK PHQRODN VXDWX SHUNDUD ZDODXSXQ EHOXP DGD DWXUDQ 0DKNDPDK 6\DU¶L\DK
adalah alternatif terakhir dalam penyelesaian pembagian warisan yang menimbulkan
sengketa. Hal ini dikarenakan anggapan masyarakat bahwa dalam menyelesaikan
sengketa di MahkamaK 6\DU¶L\DK DNDQ PHPHUOXNDQ ZDNWX \DQJ FXNXS ODPD GDQ
biaya yang besar.
A. Kesimpulan
Dari pembahasan yang telah dipaparkan dalam hasil penelitian ini, maka dapat
ditarik kesimpulan sebagai berikut:
1. Mekanisme pembagian warisan pada masyarakat adat Aceh Utara yang
menganut sistem kekerabatan bilateral atau parental dilakukan atas dasar hasil
musyawarah dan mufakat diantara para ahli waris. Jika terjadi sengketa dalam
pembagian harta warisan pada masyarakat Aceh Utara, dapat diselesaikan
melalui tahap-tahap yaitu pertama diselesaikan melalui musyawarah keluarga,
kedua diselesaikan ditingkat Desa (Gampong) dengan bantuan tokoh adat dan
alim ulama, ketiga diselesaikan ditingkat Mukim (Persekutuan Desa) dengan
bantuan tokoh adat dan alim ulama serta Imeum Mukim (Kepala Pemerintahan
Mukim)/ Persekutuan Desa), kehadiran tokoh adat dan alim ulama tersebut
merupakan undangan dari para ahli waris. Jika tidak dapat diselesaikan
dengan musyawarah dan mufakat (adat) maka diselesaikan melalui
0DKNDPDK 6\DU¶L\DK
2. Pengaruh hukum waris Islam terhadap pelaksanaan hukum waris adat di
masyarakat Aceh Utara begitu jelas. Hal ini dapat dilihat pada cara penentuan
ahli waris dan besarnya bagian masing-masing ahli waris yang berdasarkan
musyawarah dan mufakat yang tidak bertentangan dengan hukum Islam.
Pelaksanaan pembagian waris hanya dilakukan setelah si pewaris meninggal
dunia. Namun, masih didasarkan pada kebiasaan-kebiasaan adat yaitu setelah
selamatan (kenduri) wafatnya si pewaris (seperti 40 hari atau 100 hari). Jadi,
dapat dilihat bahwa hubungan hukum adat dan hukum Islam saling
R I S K A | 19

berdampingan dan melengkapi satu sama lain sehingga terjadi persesuaian


diantara keduanya, sejauh hukum adat tidak bertentangan dengan hukum
Islam.
3. Masyarakat Aceh Utara lebih cenderung melaksanakan pembagian warisan
VHFDUD DGDW GDUL SDGD PHQ\HOHVDLNDQ GL 0DKNDPDK 6\DUL¶DK NDUHQD jika, suatu
PDVDODK GLVHOHVDLNDQ PHODOXL 0DKNDPDK 6\DU¶L\DK akan menimbulkan
hubungan yang tidak harmonis diantara ahli waris, serta memerlukan waktu
yang cukup lama dan biaya yang besar. Biasanya penyelesaian tentang
pembagian harta warisan dilakukan secara musyawarah dan mufakat antara
para ahli waris dan apabila dianggap perlu juga dihadirkan tokoh adat dan
para ulama agar jika terjadi perselisihan diantara ahli waris dapat diselesaikan
atas campur tangan tokoh adat dan alim ulama. Penyelesaian sengketa secara
adat mempunyai daya tarik tersendiri karena keserasiannya dengan sistem
sosial dan budaya masyarakat Aceh dan diterima secara sukarela.
B. Saran
1. Dalam pelaksanaan pembagian waris di Masyarakat Aceh Utara hendaknya
terus dibina prinsip rukun dan kebersamaan yang telah tumbuh dan
berkembang selama ini untuk mencapai hasil yang mufakat di masyarakat
Kabupaten Aceh Utara, sehingga pelaksanaan pembagian waris saling
melengkapi dan tidak bertentangan dengan hukum Islam.
2. Hendaknya musyawarah antara ahli waris benar-benar menghasilkan
keputusan yang adil tanpa mengabaikan hak ahli waris, agar dapat diterima
secara ikhlas dan benar-benar rela.
3. Apabila ada sengketa warisan yang ada dikabupaten Aceh Utara maka
sebaiknya para ahli waris mempunyai itikad baik untuk tetap mengutamakan
rasa kekeluargaan dan persaudaraan yang harmonis, sehingga dapat mencegah
terjadinya sengketa warisan agar tidak sampDL NH 0DKNDPDK 6\DU¶L\DK
R I S K A | 20

DAFTAR PUSTAKA
A. BUKU
Alkostar, Artijo, Amin, M Sholeh , Pembangunan Hukum dalam perspektif politik
Hukum Nasional, Jakarta: Rajawali Pers, 1986.
Ashshofa, Burhan, Metode Penelitian Hukum, Jakarta: Rineka Cipta, 2007.
Abdurrahman, Beberapa Pemikiran Tentang Hukum Waris Dan Pewarisan Tanah
Dalam Simposium Hukum Waris Nasional, Departemen Kehakiman: Badan
Pembinaan Hukum Nasional, 1989.
Ali, Muhammad Daud, Hukum Islam Dan Peradilan Agama, Raja Grafindo ma,
Jakarta, 2002.
Ash-Shabuni, Muhammad Ali, Pembagian Waris Menurut Islam, Jakarta : Gema
Insani Press, 1995.
B. PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh
Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1991 Tentang Kompilasi
Hukum Islam.
Keputusan Presiden 1RPRU 7DKXQ 7HQWDQJ 0DKNDPDK 6\DU¶L\DK GDQ
0DKNDPDK 6\DU¶L\DK 3URYLQVL GL 3URYLQVL 1DQJJURH $FHK 'DUXVVDODP
Peraturan Daerah atau Qanun Provinsi Aceh Nomor 10 Tahun 2002 Tentang
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Peradilan Agama
Peraturan Daerah Atau Qanun Provinsi Aceh Nomor 7 Tahun 2000 Tentang
Penyelenggaraan Kehidupan Adat
C. INTERNET
http://www.my.opera.com Diakses Tanggal 24 November 2015
http://edon79.wordpress.com/2009/07/10/fiqh-mawaris/, Diakses Tanggal 12 Oktober
2015.
http://misteraim.blogspot. com/html, Diakses Tanggal 20 Desember 2015
http://www.idlo.int/English/External/IPacehnews.asp Diakses Tanggal 24 November
2014

You might also like