Reformulasi Undang-Undang Tentang Peradilan Tata Usaha Negara
Reformulasi Undang-Undang Tentang Peradilan Tata Usaha Negara
Reformulasi Undang-Undang Tentang Peradilan Tata Usaha Negara
Aju Putrijanti
Fakultas Hukum Universitas Diponegoro
e-mail:[email protected]
Abstract
It is necessary to reformulate the Administrative court law because there are important article changes that
affect the realization access to justice. Absolute competence become wider than previous, on the other side the
procedural law has not been changed. The aims of this research is to reformulate the administrative court law
so as to achieve legal synchronization and wider access to justice.Legal issues are how the administrative court
to adjust with circumstances and how can access to justice for citizen be obtained through administrative court.
Method used s is normative juridical approach, used secondary data and analyzed qualitatively. Reformulation
of administrative court law needs to be studied from structure, susbtance and culture law. Structurally,
administratve court under Supreme Court as the highest court beside Constitutional Court. Substance of law is
important to be reformulated, to adjust the dynamic change of society, law and politic.The formulation substance
in existing regulation is not appropriate with the existing condition. To minimize the legal gap, Supreme Court
has issued Supreme Court Regulation as guidance for Administrative Court and people who might be needed.
Culture of law can be seen the number of lawsuit has been arise also showed the people awareness to get the
justice. Research result show that reformulation needs to be carried out in order to obtain legal synchronization
and wider access to justice. This will provide more access to justice, in accordance with the changes.
Abstrak
Latar belakang perlu dilakukan reformulasi undang-undang peratun karena terdapat perubahan pasal
yang penting yang berpengaruh dalam mewujudkan akses keadilan. Kompetensi absolut menjadi lebih
luas, sementara peraturan mengenai hukum acara tidak berubah. Penelitian bertujuan agar dilakukan
reformulasi undang-undang peratun sehingga dicapai sinkronisasi hukum dan akses keadilan lebih luas.
Permasalahan hukum yang diteliti adalah pertama, peradilan tata usaha negara menyesuaikan dengan
perkembangan serta kedua, akses keadilan yang diperluas melalui peradilan tata usaha negara. Metode
penelitian yang digunakan adalah normatif, menggunakan data primer dan sekunder serta dianalisa secara
kualitatif. Reformulasi hukum acara peradilan tata usaha negara dikaji secara struktur, substansi dan
budaya hukum. Secara struktur, peradilan tata usaha negara berada di bawah Mahkamah Agung. Substansi
hukum merupakan hal penting yang perlu dilakukan reformulasi, karena harus dapat menyesuaikan
dengan dinamika hukum, masyarakat, politik. Formulasi substansi pasal saat ini sudah tidak sesuai dengan
perkembangan yang ada. Perluasan kompetensi absolut tidak diikuti dengan perubahan subtansi hukum
acara dalam undang-undang. Untuk mempersempit kekosongan hukum serta memberi akses keadilan,
Mahkamah Agung menerbitkan peraturan yang digunakan sebagai pedoman dalam praktek. Budaya hukum
masyarakat dapat dilihat dari jumlah gugatan yang masuk, hal ini menunjukkan meningkatnya kesadaran
untuk memperoleh hak sebagai warga negara. Hasil penelitian bahwa reformulasi perlu dilaksanakan agar
diperoleh sinkronisasi hukum dan akses keadilan yang lebih luas. Akses keadilan dapat diperluas melalui
reformulasi undang-undang peradilan tata usaha negara.
26
Reformulasi Undang-Undang tentang Peradilan Tata Usaha Negara... (Aju Putrijanti)
A. Pendahuluan
Ide mengenai negara hukum dimulai sejak Plato, selanjutnya dikembangkan oleh Aristoteles yang
mengalami perkembangan menyesuaikan dengan keadaan negara, di mana pada masa itu kekuasaan negara
yang luas sehingga perlu diberi batasan oleh aturan atau hukum. Pembatasan melalui hukum bertujuan
agar pemerintah atau penguasa tidak bersikap sewenang-wenang tanpa dasar hukum yang jelas, serta agar
hak dan kewajiban warga negara tetap dijaga dan dilindungi.
Negara hukum Indonesia dibangun berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, sehingga memiliki ciri
yang berbeda dengan negara hukum yang lain1. Sesuai dengan gagasan Hans Kelsen dan Hans Nawiasky
tentang Stufenbautheorie mengenai norma dasar yang berada di puncak piramida, demikian pula dengan
Pancasila karena merupakan norma fundamental negara, artinya menjadi sumber tertib hukum dari
semua perundang-undangan2 . Pluralitas masyarakat Indonesia menjadi suatu hal yang menarik dalam
membangun negara, namun demikian tetap harus mengutamakan unsur negara hukum secara umum dan
meletakkan Pancasila sebagai fundamental norm dalam semua aspek bernegara.
Kehadiran kekuasaan kehakiman dalam negara hukum, adalah mutlak, karena sebagai lembaga
negara yang bebas dari campur tangan apapun dalam melaksanakan kekuasaan kehakiman yang merdeka
( independent of judiciary) untuk menjaga keadilan bagi semua tanpa membedakan. Kekuasaan kehakiman
yang merdeka dapat terselenggara apabila negara berdasarkan hukum dan demokrasi. Ada hubungan
yang kuat antara negara hukum, demokrasi dan kekuasaan kehakiman yang merdeka sebagai dasar
terlaksananya negara hukum 3.
Peradilan Tata Usaha Negara ( selanjutnya disebut Peratun) sebagai salah satu badan peradilan di bawah
Mahkamah Agung memiliki kompetensi absolut berdasar Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang
Peradilan Tata Usaha Negara diubah oleh Undang-undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara dan mengalami perubahan kedua
melalui Undang-undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-undang Nomor 5
Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara ( selanjutnya disebut UU Peratun). Fungsi Peratun dalam
negara hukum Indonesia adalah untuk menjamin terselenggaranya pemerintahan yang berdasar hukum,
melindungi hak asasi warga negara serta menjaga keserasian hubungan antara pemerintah dengan warga.
Hal menarik pada permasalahan ini adalah UU Peratun sudah mengalami 2 ( dua) kali perubahan.
Perubahan tersebut dilakukan untuk mengikuti dan menyesuaikan perubahan UUD 1945, UU Kekuasaan
Kehakiman. Perubahan UUD 1945 Pasal 24 mengenai Kekuasaan Kehakiman diikuti dengan perubahan
UU Nomor 14 Tahun 1970 jo UU Nomor 35 Tahun 1999 tentang Perubahan Atas UU Nomor 14 Tahun
1970 tentang Pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman yang diubah menjadi UU Nomor 4 Tahun 2004 tentang
Kekuasaan Kehakiman, dengan adanya Mahkamah Konstitusi sebagai salah satu pelaksana kekuasaan
kehakiman selain Mahkamah Agung. Setelah ada putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 005/PUU/2006
yang salah satu amarnya membatalkan isi Pasal 34 UU Nomor 4 Tahun 2004, maka UU Nomor 4 Tahun 2004
tentang Kekuasaan Kehakiman diubah dan diganti dengan UU Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman.
UU Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan ( selanjutnya disebut UU AP) memberi
paradigma baru di bidang hukum administrasi negara dan hukum acara peradilan tata usaha negara. UU
AP bertujuan untuk menjamin hak dasar dan memberi perlindungan kepada warga negara serta menjamin
penyelenggaraan tugas negara. Di bidang hukum acara Peratun memberi perluasan kompetensi absolut
sehingga memperluas akses keadilan bagi masyarakat.
1
Otong Syuhada, “Karakteristik Negara Hukum Pancasila Yang Membahagiakan Rakyatnya,” Presumption of Law 3,
no. April (2021): 1–18.
2
Fais Yonas Bo’a, “Pancasila Sebagai Sumber Hukum Dalam Sistem Hukum Nasional Pancasila as the Source of Law
in the National Legal System,” Jurnal Konstitusi 15, no. 1 (2018): 28–49, http://consrev.mkri.id/index.php/jk/article/
view/1512.
3
Muhammad Akbar, “Kemandirian Dan Kemerdekaan Kekuasaan Kehakiman,” Jurnal Al-Adl 10, no. 1 (2017): 144–59.
27
Jurnal LEGISLASI INDONESIA Vol 20 No. 3 - September 2023: 26-36
Penelitian terdahulu terkait perluasan kompetensi Peratun oleh UU AP, menurut Yodi Martono
Wahyunadi seharusnya dilakukan dengan undang-undang (bij de wet) bukan dengan jalan menyisipkan
dalam undang-undang ( in de wet) 4. Akibat hukum perluasan kompetensi adalah perlu dilakukan sinkronisasi
serta harmonisasi peraturan di bidang Peratun, serta mendorong Pemerintah untuk melakukan tata kelola
pemerintahan dengan benar termasuk meningkatkan pengawasan yang dapat dilakukan oleh masyarakat
maupun badan atau pejabat tata usaha negara terhadap pengelolaan pemerintahan, namun di satu sisi
peraturan yang sudah ada sebelumnya menjadi tidak dapat menyesuaikan dengan perkembangan5. Hasil
penelitian oleh Fransisca Romana Harjiyatni dan Suswoto menyimpulkan bahwa fungsi peradilan dan fungsi
pengawasan Peratun selama ini agar sejalan dengan UU AP, perlu diperkuat dengan cara merubah UU
Peratun supaya dapat mengikuti dan menyesuaikan terhadap UU AP, membentuk lembaga eksekusi guna
melakukan pengawasan pelaksanaan putusan dan meningkatkan independensi Hakim dalam memeriksa,
memutus dan menyelesaikan sengketa 6. Akibat perluasan kompetensi absolut oleh Peratun terdapat
pertentangan antara teori hukum administrasi yang menimbulkan permasalahan antara masyarakat, penegak
hukum 7 . Polemik yang timbul antara lain mengenai makna tentang tindakan pemerintah, persinggungan
hukum pidana dan hukum administrasi negara tentang pemeriksaan penyalahgunaan wewenang, rumitnya
penyelesaian melalui upaya administratif.
Perlu dilakukan penyusunan ulang atau reformulasi pasal terhadap UU Peratun. Ide dasar
perlunya dilakukan reformulasi UU Peratun karena pertama perluasan kompetensi absolut Peratun, kedua
perkembangan hukum dan masyarakat sehingga UU Peratun kurang bisa mengikuti perkembangan, ketiga
untuk mempermudah akses keadilan. Adanya hubungan antara semakin luasnya kompetensi absolut
Peratun yang dapat memberi kemudahan akses keadilan bagi masyarakat.
Hukum yang dibuat oleh Pemerintah untuk memberi ketertiban dalam mengatur tata kehidupan
bernegara, agar dapat mencapai tujuan nasional. Pengaturan yang jelas diharapkan dapat memberi kemudahan
akses keadilan bagi masyarakat. Untuk membahas permasalahan pertama, digunakan Teori Sistem yang
dikemukakan oleh Lawrence W. Friedman bahwa efektif tidaknya penegakan hukum tergantung kepada
struktur, susbtansi dan budaya hukum 8 . Dalam menyusun reformulasi UU Peratun perlu dikaji mulai dari
struktur kelembagaan, substansi perundangan serta budaya hukum masyarakat dalam mengenal Peratun.
Masyarakat memiliki hak untuk memperoleh perlakuan yang sama oleh Pemerintah. Teori Keadilan
Aristoteles membagi keadilan menjadi 2 yaitu keadilan distributif dan keadilan komutatif atau korektif.
Keadilan distributif menyebutkan pembagian proporsional atau sama kepada setiap orang, termasuk
pembagian hak dan kewajiban.9 Keadilan komutatif menghendaki ada ganti kerugian atau pengembalian
keadaan seperti semula sebagai sarana untuk menyeimbangkan ketidakseimbangan karena ketidakadilan
. Keadilan distributif dapat digunakan untuk menganalisa permasalahan kedua, karena terkait dengan
hak masyarakat untuk memperoleh akese keadilan karena ada pelanggaran hak sipil warga negara oleh
pemerintah.
Legal gap yang akan diteliti pertama adalah bagaimana perundangan Peratun saat ini dapat mengikuti
perkembangan / dinamika sengketa tata usaha negara, terutama setelah kompetensi absolut diperluas oleh
UU AP. Kedua, bagaimana akses keadilan bagi masyarakat dapat diperoleh melalui perundangan Peratun?
4
Yodi Martono Wahyunadi, “Kompetensi Absolut Pengadilan Tata Usaha Negara Dalam Konteks Undang-Undang No. 30
Tahun 2014 Tentang Administrasi Pemerintahan,” Hukum Dan Peradilan 5, no. 1 (2016): 135–54.
5
Yogo Pamungkas, “Pergeseran Kompetensi Peradilan Tata Usaha Negara,” Acta Diurnal 3 (2020): 339–59.
6
Fransisca Romana Harjiyatni dan Sustowo, “Implikasi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 Tentang Administrasi
Pemerintahan Terhadap Fungsi Peradilan Tata Usaha Negara,” Jurnal Hukum Ius Quia Iustum 24, no. 4 (2017): 601–24,
https://doi.org/10.20885/iustum.vol24.iss4.art5.
7
Despan Ridwan, Heryansyah and Kus Pratiwi, “Perluasan Kompetensi Absolut Pengadilan Tata Usaha Negara Dalam
Undang-Undang Administrasi Pemerintahan,” Jurnal Hukum Ius Quia Iustum 25, no. 2 (2018): 339–58, https://doi.
org/10.20885/iustum.vol25.iss2.art7.
8
Sudjana, “PENERAPAN SISTEM HUKUM MENURUT LAWRENCE W FRIEDMAN TERHADAP EFEKTIVITAS
PERLINDUNGAN DESAIN TATA LETAK SIRKUIT TERPADU BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 32 TAHUN
2000,” Al Amwal 2, no. 1 (2019): 78–94.
26
Reformulasi Undang-Undang tentang Peradilan Tata Usaha Negara... (Aju Putrijanti)
Metode penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif dengan metode pendekatan undang-
undang, metode pendekatan asas-asas hukum. Pendekatan undang-undang dilakukan dengan meneliti
perundangan terkait permasalahan serta mempelajari ratio legis dan dasar ontologis undang-undang, untuk
mengetahui makna atau isi undang-undang secara filosofi, sosiologi10
Penelitian secara yuridis normatif menggunakan pendekatan undang-undang, pendekatan konsep
dan pendekatan perbandingan. Data yang digunakan adalah data sekunder yang terdiri dari bahan
hukum primer dan bahan hukum sekunder. Bahan hukum primer terdiri dari data primer yaitu peraturan
perundangan yang relevan dan masih berlaku, kemudian akan dianalisa secara deskriptif analitis. Data
yang diperoleh akan dianalisa secara kualitatif.
B. Pembahasan
Kekuasaan kehakiman setelah amandemen UUD 1945 mengalami perubahan yang penting terutama
dengan adanya Mahkamah Konstitusi. Menurut Moh Koesnoe, kekuasaan kehakiman sebagai pilar utama
dalam negara hukum, memiliki fungsi penegakan hukum dan penemuan hukum11. Fungsi penegakan
hukum bahwa hukum yang berlaku di masyarakat dapat digunakan untuk menyelesaikan sengketa ,
sehingga hukum positif dapat melindungi warga negara. Fungsi penemuan hukum sebagai upaya untuk
merumuskan hukum dari nilai-nilai yang ada di masyarakat sehingga masyarakat memperoleh keadilan
serta penemuan hukum oleh Hakim dapat menjadi sumber hukum. Kedua fungsi tersebut juga berlaku
bagi Peratun sebagai badan peradilan yang melaksanakan kekuasaan kehakiman.
Reformulasi UU Peratun adalah penting, mengingat dinamika hukum, masyarakat yang cepat.
Pembaharuan materi UU Peratun yang bersifat dimensional, artinya melihat pada 3 ( tiga) dimensi penting,
yaitu dimensi pemelihaan, pembaruan dan penciptaan yang memiliki peran dalam turut serta membentuk
masyarakat sesuai dengan tujuan nasional 12
.Reformulasi UU Peratun dimulai dari sudut pandang bahwa
Peratun adalah bagian dari sistem hukum penegakan hukum administrasi negara.
Sebagai sistem hukum maka pembahasan terdiri dari struktur, substansi serta budaya hukum.
Pada saat Pemerintah akan membentuk Peratun, dilakukan studi banding ke Perancis, Belanda guna
memperoleh gambaran mengenai kedudukan, sistem bekerja Peratun. Perancis memperkenalkan sistem
duality of jurisdiction yaitu pemisahan secara tegas antara peradilan administrasi dan peradilan umum.
Peradilan umum atau ordinary courts berpuncak di Mahkamah Agung, peradilan administrasi berpuncak
di Counseil d’Etat ( Dewan Negara) yang berada di bawah kekuasaan eksekutif. Di Belanda dikenal 2 (dua)
bentuk penyelesaian sengketa yaitu administrative review dan judicial review yang merupakan peradilan
administrasi. Peradilan administrasi di Perancis dan Belanda tidak berpuncak di Mahkamah Agung, tetapi
kepada Dewan Negara atau lembaga yang secara khusus dibentuk, sehingga prinsip rechtsstaat yang
berkarakter administratif sangat kuat. Menurut Umar Dani, struktur Peratun adalah kombinasi antara
unity of jurisdiction dan duality of jurisdiction, yang berarti dari sisi fungsi dan struktur menjalankan
fungsi yudisial murni secara struktur organisasi dengan berpuncak ke Mahkamah Agung, dan aspek
penyelesaian sengketa lebih cenderung pada duality of jurisdiction karena melakukan pemisahan secara
tegas antara peradilan umum serta menempatkan pemerintah di depan pengadilan13. Sesuai Pasal 24 UUD
Negara Republik Indonesia Tahun1945 bahwa kekuasaan kehakiman dilakukan oleh Mahkamah Agung
berserta badan peradilan yang berada dibawahnya dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.
Istilah negara hukum sudah sejak lama ada dan berkembang mengikuti perkembangan jaman.
10
Suteki, “Pentahapan Proses Penelitian,” in Metode Penelitian Hukum (Filsafat, Teori Dan Praktik) (Depok: Raja
Grafindo Persada, 2018), 172–73.
11
Zainal Arifin Hoesein, Kekuasaan Kehakiman Di Indonesia (Malang: Intrans Selaras, 2016).
12
Ikbar Andi, “Dinamika Pergeseran Sistem Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara,” in PTUN Untuk Keadaban
Publik (Yogyakarta, 2022), 11–56.
13
Umar Dani, “Konsep Dasar Pengadilan Tata Usaha Negara Di Indonesia,” in Konsep Dasar Dan Prinsip-Prinsip
Peradilan Tata Usaha Negara (Depok: Raja Grafindo Persada, 2022), 19–23.
27
Jurnal LEGISLASI INDONESIA Vol 20 No. 3 - September 2023: 26-36
Rechtsstaat adalah konsep negara hukum yang dikemukakan oleh F.J.Stahl dan muncul di Eropa, terdiri
dari unsur-unsur melindungi dan mengakui hak asasi manusia, pembagian kekuasaan, penyelenggaraan
pemerintahan berdasar hukum, adanya peradilan administrasi. Di Amerika, A.V. Dicey mengembangkan Rule
of Law yang mengandung unsur supremasi hukum, persamaan kedudukan di depan hukum bagi setiap
orang, konstitusi bersumber dari hak asasi manusia. Kedua konsep negara hukum ini memberi pengaruh
terhadap pembentukan sistem hukum di Indonesia yang berdasarkan Pancasila. Notonagoro menetapkan
Pancasila sebagai staatsfundamentalnorm artinya sebagai citahukum untuk membangun hukum positif,
dan dipertegas oleh Hamid S. Attamini sehingga mulai dari penyusunan, penerapan hukum tidak lepas
dari Pancasila14. Perkembangan sistem hukum Indonesia tidak lepas dari konsep negara hukum rechtsstaat
dan rule of law dengan tetap berdasarkan Pancasila.
Konsep negara hukum Indonesia yang terdapat dalam UUD Negara Republik Indonesia Tahun
1945 adalah gabungan unsur-unsur negara hukum konsep rechtsstaat dan rule of law yang menjadi satu,
sebagaimana dikemukakan oleh Moh.Mahfud MD, yang menyebutkan konsep Prismatik15. Hal ini juga
ditunjukkan dalam hal struktur Peratun, yang menggabungkan unity of jurisdiction dari konsep rule of law
dan duality of jurisdiction dari konsep rechtsstaat. Penggabungan antara dua konsep ini menunjukkan bahwa
kekuasaan kehakiman sebagai pilar penting dalam negara hukum, juga menggunakan konsep Prismatik
dengan tujuan agar lebih dapat mengikuti dinamika hukum dan masyarakat. Sejalan dengan dinamika
yang terjadi, pemisahan antara rechtsstaat dan rule of law secara tegas, mungkin perlu dipertimbangkan.
Antara masing-masing konsep negara hukum memiliki kelebihan dan kekurangan yang dapat digunakan
untuk lebih memaksimalkan tercapainya tujuan negara hukum masing-masing negara. Sesuai dengan
Pancasila sebagai landasan ideologi, maka penggabungan kedua konsep tersebut tetap harus berdasarkan
Pancasila.
Pancasila sebagai ideologi bangsa bersumber dari nilai-nilai luhur bangsa yang di wujudkan
dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, termasuk juga sistem hukum. Pancasila menjadi dasar dalam
membangun negara hukum yang sesuai dengan tujuan negara sehingga lebih dapat diterima dan dilaksanakan
oleh masyarakat16 . Pembangunan hukum Nasional termasuk reformulasi UU Peratun tetap berdasar pada
Pancasila sebagai norma fundamental dalam pembentukan peraturan perundangan.
Selain konsep negara hukum, Indonesia juga menggunakan konsep negara kesejahteraan yang
menghendaki peran negara dalam memberi kesejahteraan melalui pengaturan atau kebijakan oleh
Pemerintah, serta Negara dituntut berperan aktif dalam kehidupan masyarakat. Sejalan dengan konsep
negara kesejahteraan, negara memiliki peran penting untuk menyelenggarakan kesejahteraan dan pelayanan
kepada masyarakat. Untuk dapat melaksanakan fungsi tersebut, perlu dijaga keseimbangan hubungan,
kepentingan antara negara, warga negara sehingga tercapai tujuan negara. Tujuan dibentuknya Peratun
adalah untuk menjaga keserasian, keharmonisan hubungan negara dengan warga negara agar dapat
mencapai tujuan negara dengan menyelesaikan sengketa tata usaha negara yang mungkin timbul.
Secara struktural, kedudukan Peratun sudah sesuai dengan tata urutan lembaga peradilan.
Mahkamah Agung sebagai kekuasaan kehakiman tertinggi dengan lembaga peradilan yang berada di
bawahnya. Secara hirarki organisatoris, lembaga peradilan berpuncak di Mahkamah Agung sebagai lembaga
peradilan tertinggi.
Secara subtansi, beberapa pengaturan UU Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha
Negara mengadopsi dari Belanda antara lain tentang obyek sengketa TUN, pengaturan tenggang waktu,
alasan gugatan, ganti rugi dan lain-lain. Adopsi tersebut dapat dimaklumi sebagai upaya untuk membentuk
14
Subhan Amin, “Keadilan Dalam Perspektif Filsafat Hukum Terhadap Masyarakat,” El-Afkar 8, no. 1 (2019): 1–10.
15
Arie Purnomosidi Teguh Prasetyo, “Negara Hukum Dalam Perspektif Pancasila,” in Membangun Hukum Berdasarkan
Pancasila (Bandung: Nusa Media, 2014), 40–48.
16
Syuhada, “Karakteristik Negara Hukum Pancasila Yang Membahagiakan Rakyatnya.”
28
Reformulasi Undang-Undang tentang Peradilan Tata Usaha Negara... (Aju Putrijanti)
perundangan baru di bidang penegakan hukum administrasi negara, karena keterbatasan sarana dan
prasarana saat pertama kali pembentukan17 . Pada saat UU Peratun berlaku, pengaturan substansi sudah
sesuai dengan keadaan masyarakat, hukum saat itu. Politik hukum Peratun sebagaimana tersurat dalam
UU Peratun adalah tidak semata-mata memberi perlindungan hak perseorangan, tetapi juga melindungi
hak masyarakat.
UU Nomor 9 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas UU Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata
Usaha Negara, ada perubahan penting terkait dengan proses persidangan. Perubahan terhadap isi Pasal
2 mengenai jenis keputusan yang tidak termasuk pengertian Keputusan TUN menurut undang-undang,
perubahan syarat materiil pengajuan gugatan yaitu Pasal 53 ayat 2 bahwa keputusan TUN yang digugat
bertentangan dengan peraturan perundangan yang berlaku dan bertentangan dengan AUPB, perubahan
Pasal 116 mengenai pelaksanaan putusan Pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.
Perubahan pasal yang lain lebih banyak tentang pengawasan umum, pembinaan, syarat sebagai calon
Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara serta pengangkatan dan pemberhentian, syarat menjadi Panitera
dan Wakil Panitera, dan penambahan Pasal mengenai Juru Sita.
Pasal 53 ayat 2 merubah alasan-alasan yang dapat digunakan dalam gugatan sebagai berikut bahwa
Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat bertentangan dengan peraturan perundangan yang berlaku
dan bertentangan dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik ( AUPB). Dibandingkan dengan isi
Pasal 53 ayat 2 UU Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peratun yang menyebutkan bahwa alasan -alasan yang
dapat digunakan sebagai dasar gugatan adalah bertentangan dengan peraturan perundangan yang berlaku,
menggunakan wewenangnya untuk tujuan lain dari maksud diberikannya wewenang tersebut, Badan atau
Pejabat Tata Usaha Negara pada waktu mengeluarkan atau tidak mengeluarkan keputusan yang merupakan
obyek gugatan setelah mempertimbangkan semua kepentingan yang tersangkut dengan keputusan itu
seharusnya tidak sampai pada pengambilan atau pengambilan keputusan tersebut. Perubahan isi pasal
diharapkan agar alasan gugatan lebih jelas dan pemerintah melaksanakan AUPB dengan baik.
Perubahan Pasal 116 mengenai pelaksanaan keputusan Pengadilan yang telah memiliki kekuatan
hukum tetap, tidak lagi menggunakan sistem hirarki sebagaimana diatur dalam Pasal 116 UU Nomor 5
Tahun 1986 tentang Peratun, apabila Tergugat tidak bersedia melaksanakan putusan Peratun yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap, maka kepada Tergugat dapat dikenakan uang paksa, sanksi administratif
dan pengumuman di media cetak.
UU Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986
tentang Peradilan Tata Usaha Negara mengatur bahwa di lingkungan peradilan tata usaha negara dapat
dibentuk peradilan khusus yang diatur dengan undang-undang dan dapat diangkat Hakim Ad hoc untuk
memeriksa, mengadil dan memutus perkara yang membutuhkan keahlian dalam bidang tertentu dan untuk
jangka waktu tertentu.
Perubahan isi Pasal 116 berusaha untuk memberi kepastian bahwa tidak memerlukan waktu lama
bagi Penggugat untuk menerima pelaksanaan putusan Pengadilan, yaitu dengan menghapuskan sistem hirarki,
dan mengenakan upaya paksa berupa pembayaran sejumlah uang paksa dan/atau sanksi administratif,
dapat diumumkan di media massa cetak setempat sejak Tergugat tidak bersedia melaksanakan putusan
pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Ketua Pengadilan harus mengajukan kepada
Presiden sebagai pemegang kekuasaan pemerintah tertinggi untuk memerintahkan pejabat melaksanakan
putusan pengadilan dan kepada lembaga perwakilan rakyat untuk menjalankan fungsi pengawasan.
Pengajuan langsung kepada Presiden adalah tepat karena Presiden sebagai pemegang kekuasaan tertinggi
serta tidak perlu pengajuan berjenjang yang jelas memerlukan waktu lama. Adapun pengajuan kepada
lembaga perwakilan rakyat sebagai lembaga pengawasan juga dapat dipahami. Perubahan Pasal 116
17
Priyatmanto Abdoellah, Revitalisasi Kewenangan PTUN Gagasan Perluasan Kompetensi Peradilan Tata Usaha Negara
(Yogyakarta: Cahaya Atma Pustaka, 2016).
29
Jurnal LEGISLASI INDONESIA Vol 20 No. 3 - September 2023: 26-36
18
Enrico Parulian Simanjuntak, “Beberapa Anotasi Terhadap Pergeseran Kompetensi Absolut Peradilan Umum Kepada
Peradilan Administrasi Pascapengesahan UU No 30 Tahun 2014,” in Perdebatan Hukum Administrasi Sebuah Kompilasi
Artikel Hukum Administrasi (Bekasi: Gramata Publishing, 2018), 562–91.
30
Reformulasi Undang-Undang tentang Peradilan Tata Usaha Negara... (Aju Putrijanti)
Sejalan dengan perluasan kompetensi absolut, Peratun juga menerima permohonan yaitu permohonan
fiktif positif dan permohonan pemeriksaan unsur penyalahgunaan wewenang. Pasal 175 UU Nomor 11 Tahun
2020 menghapus Pasal 53 UU AP, kemudian dipertegas oleh Surat Edaran Mahkamah Agung Republik
Indonesia Nomor 5 Tahun 2021 tanggal 28 Desember 2021 yang menyebutkan bahwa permohonan fiktif
positif tidak lagi menjadi kewenangan Peratun.
Kompetensi absolut Peratun untuk memeriksa permohonan penyalahgunaan wewenang memiliki
titik singgung dengan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi. Dikemukakan oleh Enrico Simanjuntak, bahwa
kewenangan Peratun berdasar Pasal 21 UU AP, untuk menguji ada tidaknya penyalahgunaan wewenang
menyangkut keuangan negara, aspek pengujian ini sangat terbatas apabila dibandingkan dengan luasnya
ruang lingkup penyalahgunaan wewenang dalam hukum administrasi negara, hal senada diungkapkan oleh
Sudarsono bahwa pengujian wewenang harus didahulukan melalui Peratun, baru setelah itu dilakukan
pemeriksaan oleh Pengadilan Tipikor 20. Masih ada perdebatan, tantangan mengenai kompetensi pengadilan
terkait dengan penyalahgunaan wewenang yang merugikan keuangan negara, antara Peratun dan Pengadilan
Tipikor, untuk mengurangi hal tersebut perlu dilakukan langkah-langkah harmonisasi pengertian kerugian
keuangan negara, harmonisasi ketentuan pengembalian keuangan negara, harmonisasi kebijakan legislasi
19
I Gede Aris Eka Pramana, I Made Arjaya, and Ida Ayu Putu Widiati, “Kompetensi Absolut Peradilan Tata Usaha Negara
Terkait Titik Singgung Antara Peradilan Tata Usaha Negara Dan Peradilan Umum Dalam Sengketa Pertanahan,” Jurnal
Analogi Hukum 2, no. 1 (2020): 27–31, https://doi.org/10.22225/ah.2.1.1604.27-31.
20
Enrico Parulian Simanjuntak, “Pengujian Ada Tidaknya Penyalahgunaan Wewenang Menurut Undang-Undang
Administrasi Pemerintahan / Examination To Determine the Presence or Absence of Abuse of Authority According
To Government Administration Law,” Jurnal Hukum Dan Peradilan 7, no. 2 (2018): 237, https://doi.org/10.25216/
jhp.7.2.2018.237-262.
31
Jurnal LEGISLASI INDONESIA Vol 20 No. 3 - September 2023: 26-36
vertikal dan horisontal . Terkait dengan penegakan hukum, masalah disharmonisasi perundang-undangan
seringkali muncul dalam pelbagai bidang sektoral, hal tersebut dapat memperlambat penegakan hukum
dan juga dapat menjadi faktor yang menghambat akses keadilan.
Sebelum UU AP disahkan, semua gugatan terkait perbuatan melawan hukum oleh Pemerintah akan
diperiksa, diputus oleh Peradilan Umum. UU AP membawa pergeseran paradigma mengenai kewenangan
mengadili perbuatan melawan hukum oleh Pemerintah, dengan mencantumkan di Pasal 87 mengenai
perluasan makna keputusan tata usaha negara yang dapat digugat bahwa penetapan tertulis mencakup
tindakan faktual. Muhammad Adiguna Bimasakti menerapkan pendekatan ekstensif yaitu memperluas
cakupan isi Pasal 87 huruf a bahwa tindakan faktual oleh pemerintah yang melawan hukum dan menimbulkan
kerugian bagi masyarakat, masuk ke dalam kompetensi absolut Peratun, sebagai perluasan makna dari
penetapan tertulis 22. Dalam ide reformulasi UU Peratun, pengaturan mengenai pedoman berperkara, hukum
acara yang akan digunakan, diharapkan diatur dalam satu perundang-undangan.
Selain UU AP, perluasan kompetensi Peratun juga ada di beberapa perundangan yaitu Undang-
undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik, Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017
tentang Pemilihan Umum, Undang-undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-
undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1
Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Walikota dan Bupati Menjadi Undang-undang, Undang-undang
Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum. Namun
demikian, hukum acara yang mengatur proses di Peratun belum ada, sehingga diatur dalam Peraturan
Mahkamah Agung ( Perma) Republik Indonesia. Untuk perluasan kompetensi absolut Peratun yang timbul
dari perundangan sektoral, pedoman beracara di Peratun tetap dapat diatur dalam Perma karena memiliki
karakteristik tertentu. Pengaturan hukum acara oleh Perma ditujukan untuk memperlancar proses penegakan
hukum administrasi negara, memberi akses keadilan masyarakat.
Budaya hukum masyarakat untuk melindungi hak warga negara mengalami peningkatan, hal
tersebut dapat dilihat dari jumlah perkara yang masuk di Peratun.
Sesuai Laporan Tahunan Mahkamah Agung Republik Indonesia yang dimulai tahun 2006, untuk
kepentingan penulisan artikel ilmiah ini, digunakan interval 4 tahun, mulai tahun 2006, 2010 dan 2014.
Setelah tahun 2014, data ditampilkan setiap tahun, sampai dengan tahun 2021. Adapun alasan data
ditampilkan setiap tahun mulai tahun 2014, karena ada beberapa perkembangan hukum yang berpengaruh
terhadap jumlah perkara yang masuk ke Peratun.
Jumlah perkara di interval pertama yaitu tahun 2006 -2010 adalah 1203, kemudian meningkat di
interval kedua yaitu tahun 2010 -2014. Penambahan jumlah perkara dapat disebabkan karena meningkatnya
kesadaran hukum masyarakat untuk memperoleh perlindungan terhadap hak sipil warga negara. Pada
tahun 2014 hingga tahun 2021, penambahan jumlah perkara dapat disebabkan karena pengesahan UU AP
yang memberi kompetensi yang luas kepada Peratun serta memperluas akses keadilan masyarakat. Jumlah
perkara yang masuk mengalami penurunan di tahun 2017 dibandingkan dengan tahun 2016. Tahun 2017
-2018, 2018 -2019 terjadi penambahan jumlah perkara, kemudian tahun 2019 – 2020 ada penurunan
jumlah perkara. Tahun 2020 – 2021 terjadi lagi penambahan jumlah perkara. Penghapusan permohonan
fiktif positif dalam Undang-undang Nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja Pasal 175, tidak menunjukkan
pengaruh yang cukup besar dalam jumlah perkara yang masuk di Peratun. Dilihat dalam jangka waktu
mulai tahun 2006 – 2016 jumlah perkara yang masuk ke Peratun dapat dikatakan meningkat, dan terus
meningkat hingga tahun 2021.
Dinamika jumlah perkara yang masuk ke Peratun dipengaruhi oleh faktor budaya hukum masyarakat
dan munculnya peraturan baru. Meningkatnya kesadaran hukum masyarakat ditunjukkan dengan
meningkatnya jumlah perkara yang masuk setiap tahun ke Peratun. Masyarakat semakin menyadari bahwa
memiliki hak untuk menggugat Pemerintah sebagai akibat timbulnya keputusan tata usaha negara yang
bersifat konkret, individu, final dan bersifat tertulis. Adanya UU AP yang memperluas kompetensi Peratun,
memperluas arti keputusan tertulis menunjukkan bahwa kesempatan bagi masyarakat untuk memperoleh
perlindungan hak sipil warga negara serta akses keadilan, meningkat dibandingkan pada saat sebelum UU
AP disahkan.
Pasal 144 C, 144D UU Peratun mengatur mengenai hak setiap orang yang berperkara untuk
memperoleh bantuan hukum. Pengaturan tersebut merupakan pengaturan baru karena dalam UU Peratun
yang terdahulu, hal tersebut belum diatur.
Hak setiap orang untuk memperoleh bantuan hukum merupakan bentuk perwujudan akses keadilan
sebagai hak asasi manusia. Warga negara berhak untuk memperoleh akses keadilan yang seluas-luasnya
dengan tetap memperhatikan pembatasan seperlunya oleh perundangan. Namun demikian, pembatasan
karakteristik keputusan TUN yang dapat diajukan sebagai obyek gugatan dapat mempersempit akses
keadilan.
Aristoteles membagi keadilan menjadi dua yaitu keadilan distributif dan keadilan korektif. Keadilan
distributif adalah keadilan yang ditentukan oleh pembuat undang-undang karena terkait dengan hak,
kewajiban bagi warga negara secara proporsional. Keadilan korektif berhubungan dengan persamaan hak
yang diterima oleh setiap orang, dan diawasi oleh Hakim yang melalui putusannya untuk mengembalikan
milik korban atau melalui pemberian ganti rugi23. Keadilan distributif lebih ditujukan hubungan antara warga
negara dengan negara karena terkait dengan hak warga negara. Gugatan di Peratun untuk mendapatkan
keadilan distributif, karena merupakan sengketa yang timbul antara warga negara dengan Pemerintah.
Sejalan dengan perkembangan hukum dan masyarakat , perkembangan jenis gugatan juga meluas
mulai digunakan model gugatan citizen lawsuit ( CLS). Model gugatan CLS banyak digunakan di negara
dengan sistem hukum Common Law. Ide dasar untuk menggunakan model gugatan CLS karena pertama,
23
Subhan Amin, “Keadilan Dalam Perspektif Filsafat Hukum Terhadap Masyarakat.”
33
Jurnal LEGISLASI INDONESIA Vol 20 No. 3 - September 2023: 26-36
untuk memperluas akses keadilan bagi masyarakat. Artinya tidak terbatas dengan model gugatan yang
sudah ada selama ini. Kedua, memperkenalkan model gugatan CLS selain model gugatan yang ada selama
ini, juga model class action. Model gugatan CLS pernah digunakan dalam perkara perdata, namun untuk
sengketa tata usaha negara, model gugatan CLS perlu dikembangkan.
CLS adalah model gugatan yang memungkinkan bagi setiap warga negara untuk mengajukan
gugatan terkait kepentingan umum, termasuk lingkungan hidup, kepada Pemerintah untuk mengembalikan
kerugian yang timbul dan merugikan masyarakat, serta penegakan hukum yang diterapkan. Di Indonesia
pernah ada model gugatan CLS di bidang hukum perdata nomor 28/ Pdt.G/2003/ PN. Jkt. Pst mengenai
gugatan pekerja migran kepada Pemerintah. Inti gugatan adalah Pemerintah dianggap lalai oleh Penggugat
dalam memberi perlindungan hukum kepada tenaga kerja migran yang di deportasi dari Malaysia.
Menurut Susanti Adi Nugroho, untuk mengajukan gugatan CLS setidaknya harus berdasar pada 2
hal penting yaitu pertama, Tergugat adalah Pemerintah, kedua mengenai perbuatan yang didalilkan oleh
Penggugat adalah kelalaian oleh Pemerintah dalam hal memenuhi hak warga negara. Selain kedua hal
tersebut, Hermawanto menambahkan, perlu ada notifikasi dari Penggugat yang dikirim kepada Tergugat
mengenai tujuan dan maksud diajukan CLS 24
. Model gugatan CLS perlu dikaji dan dikembangkan dalam
sistem Peratun, dengan mempertimbangkan hak sipil warga negara guna memperoleh keadilan. Tujuan
Peratun yang juga memberi perlindungan hak-hak masyarakat adalah dasar yang tepat untuk mengembangkan
model gugatan CLS.
Saat ini dunia tidak lepas dari perkembangan teknologi informasi yang sudah menguasai hidup
manusia, setiap aspek kehidupan mulai dari kesehatan, politik, sosial tidak lepas dari pemanfaatan teknologi
informasi. Dunia peradilan juga mengikuti perkembangan tersebut, yang saat ini dikenal adalah e-court.
Keberadaan e-court di Indonesia bertujuan untuk mempermudah akses keadilan bagi masyarakat, terutama
masyarakat yang mengalami kesulitan akses ke pengadilan, karena lokasi yang jauh.
Pengaturan pelaksanaan e-court di atur dalam Perma Nomor 1 Tahun 2019 tentang Administrasi
Perkara dan Persidangan Di Pengadilan Secara Elektronik. E-court terdiri dari e-filling, e-payment,e-
summon, e-litigation yang merupakan proses dari awal hingga pembacaan putusan akhir. Adanya e-court
diharapkan dapat mewujudkan pengadilan yang modern, transparan dan unggul menuju sistem peradilan
modern .Untuk mendukung budaya hukum e-court diperlukan usaha dari seluruh pemangku kepentingan
agar dapat tercapai tujuan yaitu mempermudah akses keadilan bagi warga negara.
C. Penutup
Perundangan mengenai Peratun yang ada saat ini, dapat mengikuti perkembangan yang terjadi di
masyarakat. Perluasan kompetensi absolut Peratun setelah ada UU Administrasi Pemerintahan, diikuti
dengan Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia yang bertujuan memberi pedoman berperkara
bagi pihak pencari keadilan dan Hakim, serta memberi kepastian hukum dalam hal penegakan hukum
administrasi negara.
Perluasan kompetensi absolut Peratun telah memberi akses keadilan yang lebih banyak. Akses keadilan
yang ada dapat lebih diperluas dengan memberi pengaturan tentang mekanisme gugatan citizen lawsuit,
sehingga masyarakat dapat memilih melakukan upaya penegakan dan perlindungan hak sebagai warga
negara.
Ada keterkaitan antara perlunya reformulasi UU Peratun dengan akses keadilan, bahwa reformulasi
diharapkan dapat memberi lebih banyak ruang,pilihan bagi masyarakat untuk memperoleh keadilan
dan pemenuhan hak warga negara. Reformulasi UU Peratun perlu dilakukan untuk sinkronisasi dengan
perundangan lain yang memberi perluasan kompetensi absolut.
24
Bagus Oktafian Abrianto et al., “Citizen Lawsuit as a Legal Effort on Government Eco-Unfriendly Action,” Review of
International Geographical Education Online 11, no. 4 (2021): 208–15, https://doi.org/10.33403/rigeo.800639.
25
Kukuh Santiadi, “Expanding Access To Justice Through E-Court In Indonesia,” Prophetic Law 1, no. December (2019):
75–89, https://doi.org/10.20885/PLR.vol1.iss1.art5.
34
Reformulasi Undang-Undang tentang Peradilan Tata Usaha Negara... (Aju Putrijanti)
Daftar Pustaka
Abdoellah, Priyatmanto. Revitalisasi Kewenangan PTUN Gagasan Perluasan Kompetensi Peradilan Tata
Usaha Negara. Yogyakarta: Cahaya Atma Pustaka, 2016.
Abrianto, Bagus Oktafian, Xavier Nugraha, Sri Winarsi, and Patricia Inge Felany. “Citizen Lawsuit as a Legal
Effort on Government Eco-Unfriendly Action.” Review of International Geographical Education Online
11, no. 4 (2021): 208–15. https://doi.org/10.33403/rigeo.800639.
Akbar, Muhammad. “Kemandirian Dan Kemerdekaan Kekuasaan Kehakiman.” Jurnal Al-Adl 10, no. 1
(2017): 144–59.
Andi, Ikbar. “Dinamika Pergeseran Sistem Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara.” In PTUN Untuk
Keadaban Publik, 11–56. Yogyakarta, 2022.
Hoesein, Zainal Arifin. Kekuasaan Kehakiman Di Indonesia. Malang: Intrans Selaras, 2016.
Pamungkas, Yogo. “Pergeseran Kompetensi Peradilan Tata Usaha Negara.” Acta Diurnal 3 (2020): 339–59.
Pramana, I Gede Aris Eka, I Made Arjaya, and Ida Ayu Putu Widiati. “Kompetensi Absolut Peradilan Tata
Usaha Negara Terkait Titik Singgung Antara Peradilan Tata Usaha Negara Dan Peradilan Umum Dalam
Sengketa Pertanahan.” Jurnal Analogi Hukum 2, no. 1 (2020): 27–31. https://doi.org/10.22225/
ah.2.1.1604.27-31.
Ridwan, Heryansyah, Despan, and Kus Pratiwi. “Perluasan Kompetensi Absolut Pengadilan Tata Usaha
Negara Dalam Undang-Undang Administrasi Pemerintahan.” Jurnal Hukum Ius Quia Iustum 25, no.
2 (2018): 339–58. https://doi.org/10.20885/iustum.vol25.iss2.art7.
Santiadi, Kukuh. “Expanding Access To Justice Through E-Court In Indonesia.” Prophetic Law 1, no. December
(2019): 75–89. https://doi.org/10.20885/PLR.vol1.iss1.art5.
Simanjuntak, Enrico Parulian. “Beberapa Anotasi Terhadap Pergeseran Kompetensi Absolut Peradilan
Umum Kepada Peradilan Administrasi Pascapengesahan UU No 30 Tahun 2014.” In Perdebatan Hukum
Administrasi Sebuah Kompilasi Artikel Hukum Administrasi, 562–91. Bekasi: Gramata Publishing, 2018.
Subhan Amin. “Keadilan Dalam Perspektif Filsafat Hukum Terhadap Masyarakat.” El-Afkar 8, no. 1 (2019):
1–10.
35
Jurnal LEGISLASI INDONESIA Vol 20 No. 3 - September 2023: 26-36
Sustowo, Fransisca Romana Harjiyatni dan. “Implikasi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 Tentang
Administrasi Pemerintahan Terhadap Fungsi Peradilan Tata Usaha Negara.” Jurnal Hukum Ius Quia
Iustum 24, no. 4 (2017): 601–24. https://doi.org/10.20885/iustum.vol24.iss4.art5.
Suteki. “Pentahapan Proses Penelitian.” In Metode Penelitian Hukum (Filsafat, Teori Dan Praktik), 172–73.
Depok: Raja Grafindo Persada, 2018.
Syuhada, Otong. “Karakteristik Negara Hukum Pancasila Yang Membahagiakan Rakyatnya.” Presumption
of Law 3, no. April (2021): 1–18.
Teguh Prasetyo, Arie Purnomosidi. “Negara Hukum Dalam Perspektif Pancasila.” In Membangun Hukum
Berdasarkan Pancasila, 40–48. Bandung: Nusa Media, 2014.
Umar Dani. “Konsep Dasar Pengadilan Tata Usaha Negara Di Indonesia.” In Konsep Dasar Dan Prinsip-
Prinsip Peradilan Tata Usaha Negara, 19–23. Depok: Raja Grafindo Persada, 2022.
Yodi Martono Wahyunadi. “Kompetensi Absolut Pengadilan Tata Usaha Negara Dalam Konteks Undang-
Undang No. 30 Tahun 2014 Tentang Administrasi Pemerintahan.” Hukum Dan Peradilan 5, no. 1
(2016): 135–54.
Yonas Bo’a, Fais. “Pancasila Sebagai Sumber Hukum Dalam Sistem Hukum Nasional Pancasila as the Source
of Law in the National Legal System.” Jurnal Konstitusi 15, no. 1 (2018): 28–49. http://consrev.mkri.
id/index.php/jk/article/view/1512.
36