Studi Kualitatif: Pelaksanaan Program Dukungan Psikososial Oleh Relawan Pada Bencana Gempa Bumi Di Lombok, Nusa Tenggara Barat
Studi Kualitatif: Pelaksanaan Program Dukungan Psikososial Oleh Relawan Pada Bencana Gempa Bumi Di Lombok, Nusa Tenggara Barat
Studi Kualitatif: Pelaksanaan Program Dukungan Psikososial Oleh Relawan Pada Bencana Gempa Bumi Di Lombok, Nusa Tenggara Barat
ABSTRACT
ABSTRAK
Implementasi dari program dukungan psikososial pada kejadian bencana adalah penting
untuk mendukung proses rehabilitasi dari korban bencana. Walaupun demikian, terdapat
keterbatasan studi mengenai implementasi dari program dukungan psikososial pada kejadian
bencana di Indonesia. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui implementasi dari
program dukungan psikososial yang diadakan oleh relawan pada bencana gempa bumi di
Lombok, NTB. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kualitatif dengan pendekatan
fenomenologis. Partisipan berjumlah tujuh partisipan dari enam institusi yang berbeda yang
merupakan anggota tim dukungan psikososial pada bencana gempa bumi di Lombok, NTB,
pada tahun 2018, dan dipilih dengan menggunakan metode purposive sampling. Peneliti
melakukan wawancara semi terstruktur dan menggunakan triangulasi teori untuk
meningkatkan kualitas dari analisa data. Thematic analysis digunakan untuk mendapatkan
laporan data yang kaya, detail, dan kompleks. Hasil penelitian mendapatkan tiga tema besar
1) masalah psikologis berupa ketakutan dan peristiwa traumatis serta masalah sosial berupa
kehilangan rumah dan pekerjaan banyak ditemukan oleh relawan pada bencana gempa di
Lombok, 2) dukungan psikososial vs trauma healing, 3) tahap pelaksanaan dukungan
psikososial belum sesuai dengan panduan yang ada. Perbedaan tahap dukungan psikososial
yang dilakukan dikarenakan perbedaan panduan yang digunakan oleh masing-masing
institusi. Pelaksanaan dukungan psikososial masih bervariasi antar institusi dengan institusi
lain. Peraturan dan panduan program dukungan psikososial harus dibuat oleh pemerintah
dan disosialisasikan ke seluruh institusi yang terlibat dalam kegiatan kebencanaan.
Pendahuluan
Indonesia merupakan daerah rawan gempa bumi karena secara geografis
terletak pada pertemuan empat lempeng tektonik (BNPB, 2018; Amri, et al., 2016).
Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) melaporkan pada tanggal 29
Juli 2018 terjadi gempa tektonik dengan magnitude 6,4 skala richter (SR) yang
mengguncang Lombok, Bali, dan Sumbawa pada pukul 05.47 WIB. Gempa susulan
terjadi sejumlah 280 kali gempa terhitung sampai tanggal 30 Juli 2018 pukul 10.00
WIB (BMKG, 2018). Selain itu, BMKG mencatat terdapat ratusan bahkan lebih
gempa susulan dengan magnitude 1,9 sampai 6,5 SR dan 36 gempa di antaranya
dapat dirasakan di berbagai area Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) terhitung
mulai tanggal 5 Agustus sampai 14 September 2018 (BMKG, 2018). Oleh karena itu,
Tanggap Darurat Bencana (TDB) dilakukan Badan Penanggulangan Bencana
Daerah (BPBD). Selain BPBD, berbagai instansi baik pemerintah maupun swasta
turut serta dalam kegiatan tanggap darurat bencana untuk membantu mengatasi
dampak yang terjadi [ CITATION Ind18 \l 14345 ].
Dampak yang dapat ditimbulkan dari bencana beragam. Salah satu dampak
tersebut adalah gangguan psikososial. Penanganan dampak psikososial
dimaksudkan agar korban bencana dapat memulihkan keadaan menjadi normal
kembali seperti semula. Salah satu hal yang dapat dilakukan adalah dengan
memberikan dukungan psikososial atau Mental Health and Psychosocial Support
(MHPSS). Program dukungan psikososial mempunyai pengaruh positif dalam
menurunkan tingkat kecemasan [ CITATION Sya15 \l 14345 ].
Berdasarkan hal tersebut, penulis ingin meneliti pelaksanaan program
dukungan psikososial oleh berbagai institusi yang ikut serta dalam kegiatan
kebencanaan pada bencana gempa bumi di Lombok, NTB. Hal tersebut
dimaksudkan agar terdapat suatu gambaran dari pelaksanaan program secara
terperinci sehingga dapat dijadikan suatu bahan evaluasi pelaksanaan program
dukungan psikososial pada masa yang akan datang.
Metode
Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kualitatif dengan pendekatan
fenomenologis. Partisipan berjumlah tujuh partisipan dari enam institusi yang
berbeda yang merupakan anggota tim dukungan psikososial pada bencana gempa
bumi di Lombok, NTB, pada tahun 2018, dan dipilih dengan menggunakan metode
purposive sampling. Peneliti melakukan wawancara semi terstruktur dan
menggunakan triangulasi teori untuk meningkatkan kualitas dari analisa data.
Thematic analysis digunakan untuk mendapatkan laporan data yang kaya, detail,
dan kompleks.
Hasil Penelitian
Karakteristik Partisipan
Partisipan mayoritas (5 / 71,4%) berjenis kelamin perempuan dengan usia
berada di rentang 18 sampai 59 tahun. Mayoritas partisipan (4 / 57,1%) berasal dari
NGO di antaranya satu partisipan dari tingkat kota, satu partisipan dari tingkat
regional, dan dua partisipan dari tingkat nasional. Sedangkan, sebagian yang lain
berasal dari institusi pendidikan tinggi di Jawa Tengah. Partisipan merupakan bagian
dari tim dukungan psikososial dari institusi asal masing-masing.
Dukungan Psikososial vs Trauma Healing
Mayoritas partisipan mengatakan bahwa dukungan psikososial bertujuan
untuk memberikan dukungan kepada korban berupa dukungan psikologi dan
dukungan sosial karena reaksi-reaksi normal yang timbul yang dapat dilakukan oleh
relawan terlatih. Dua dari tujuh partisipan menyatakan bahwa trauma healing
merupakan bagian dari dukungan psikososial dan berupa terapi klinis untuk
mengatasi trauma-trauma dari individu korban bencana. Lebih lanjut, hampir
separuh partisipan menyatakan bahwa terdapat suatu kesepakatan antar institusi
untuk mengganti istilah trauma healing menjadi dukungan psikososial.
“...dukungan psikososial itu tidak hanya terbatas pada trauma healing.” (P2)(P3)
“...psikososial memberikan bantuaan yang sifatnya psikologis....” (P4)
“Padahal ee kalo awal-awal kondisi yang ee reaksi-reaksi yang muncul itu kan
sebenarnya reaksi normal. ...” (P5)(P4)(P6)(P7)
“...kalo dukungan psikososial itu tidak harus profesional psikolog, tidak harus
psikiater tapi ya relawan-relawan yang dibekali dukungan psikososial.” (P5)(P4)
“...Psiko untuk psikologinyaa, sosial itu untuk kehidupan sosialnya.” (P6)
“Kalo trauma healing kan berarti memang ada kondisi traumaa ada kondisi
kejiwaan yang memang harus ada terapinyaa terapi klinis, nah itu yang trauma
healing.” (P5) (P2)(P1)
“Kalau trauma healing itu memang dii apa namanya di klaster meeting itu kita
sepakat untuk tidak menggunakan kata trauma healing.” (P5)(P6)(P7)
Masalah Psikososial Korban Bencana
Seluruh partisipan menyampaikan mengenai masalah psikologi yang
dialami oleh korban bencana di antaranya ketakutan, trauma, rasa tidak percaya,
sedih, marah-marah, depresi, rasa bersalah, dan kecemasan. Masalah sosial pada
korban ditemui oleh seluruh partisipan. Masalah tersebut di antaranya adalah 1)
munculnya isu-isu yang meresahkan korban, 2) berhentinya kegiatan masyarakat, 3)
hilangnya kepercayaan kepada pemimpin masyarakat setempat, 4) kehilangan
pekerjaan, 5) kehilangan rumah, 6) masalah keluarga, dan 7) pencurian, penjarahan,
dan rebutan bantuan.
“...pengalaman saya itu adalah ketakutan ...” (P1)(P2)(P4)(P5)(P7)
“Jadi sebuah peristiwa yang mungkin susah di lupakan …” (P1)(P2)(P3)(P4)(P5)
“... tidak percaya gitu bahwa itu tidak terjadi ...” (P1)
“… masih meratapi. Kita dateng dulu aja masih nangis-nangis....” (P3)(P5)
“Ada yang marah-marah, ada yang depresi, ada yang susah menerima gitu kan.”
(P1)(P5)
“...ada rasa bersalah...” (P4)
“Jadi krisis banyak depresi dan kecemasan ya.” (P1)(P4)
“...katanya ini azab laah ini banyak yang mengatakan...” “...isu-isu akan adanya
gempa yang lebih besar lagi itu juga mempengaruhi psikologis masyarakat....” (P5)
“Kaloo sosialnya itu juga masih kegiatan-kegiatan masyarakat bener-bener
berhentii … bahkan kalo ituu apa yaa kepercayaan masyarakat pada pemimpin
ee pemimpin masyarakat kek misalnya kepala dusuun gitu hilang” (P5)
“...kehilangan pekerjaa, rumahnya roboh, gitu kan” (P1)(P2)(P3)(P5)
“…kehilangan rumah…” (P1)(P2)(P3)(P4)(P5)(P6)(P7)
“Tapi juga masalah suami istri, masalah anak ...” (P1)
“...pas di awal-awal banget itu pas di ee waktu itu banyak pencuri yaa....” “... ketika
bantuan datang itu dihadang sama eee apa namanya pengungsi-pengungsi
yang ada di pinggir jalan....” (P5)
“...kaya rebutan makanan itu kan wajar ya kaya gitu kaya gitu. (P3)
Tahap Pelaksanaan Dukungan Psikososial
Mayoritas partisipan menyampaikan mengenai tahap yang diawali dengan
proses assessment dan diakhiri dengan proses monitoring dan evaluasi. Satu
partisipan menyampaikan mengenai proses memberikan kesadaran dan membantu
korban membuat target individu untuk memulihkan diri sendiri. Satu partisipan
menyampaikan tentang urutan tahap mengenai prioritas pemberian bantuan yang
diawali dari bantuan fisik kemudian disusul bantuan yang lain.
“Yang pertama kan kita memberikan kesadaran. Memberikan kesadaran … ya
kaya moment awakening. ... Nah kemudian kan orang itu saya mau bahagia. Saya
mau menyelesaikan masalah … di situ ada semacam proses. Oo masalah saya
apaa. ... Notifacing artinya dia sudah mulai mencatat kalau ternyata ada masalah.
… saya punya masalah kemudian saya terima. … kemudian saya harus seperti
apa gitu. Itu masing-masing orang mempunyai program. Targetnya itu kita terapi
kelompok, tetapi tetep target individu harus dapet.” (P1)
“… pertama fisik dulu. Fisik dipastikan kaloo ada makanan, ada tempat berteduh
kaya gitu. Baru setelah itu dukungan-dukungan lain kaya dukungan psikologis,
dukungan informasi dan lain-lainnya itu dipenuhi.” (P3)
“Aaa ya begitu (urutan: Assessment, intervensi, sama monitoring evaluasi)” (P4)
“Jadii di awal di tanggap darurat itu jelas kita melakukan psychological first aid.”
“Sebenarnya ee assessment dilakukan bersamaan dengan PFA “ “Kalo setelah
ituuu adaa ee ... mengaktifkan kembali kegiatan-kegiatan yang sebelumnya
sudah ada...” “Sebetulnya PFA itu bisa dilakukan kapan saja” “Kaloo sudah masaa
rehabilitasii. Rehabilitasi biasanya kita banyak mengaktifkan kembali kegiatan-
kegiatan ... masa ee ya sudah bisa dikatakan ini masa rekonstruksi gitu yaa. Ee
membangun kembali gitu kan. … sudah ke long term program.” “Kemarin saya
terakhir kesana bulan Maret ... saya dapet tugas untuk memantau ... (P5)
“Ya. Jadi setelah PFA.. untuk koordinasii iya to. … Renops (rencana operasi) ...
dijalankan …” “Setelah program nanti dii monev. Monitoring evaluasii. Terus
laporaan.” (P6)
“Ooh yang pertama pasti itu ya mbak ya, assessment ... Ya kemdian assement
setela itu brieffiiing. ... Kemudian kita terjun ke lapangan kaya gitu.” (P7)(P2)
Pembahasan
Dukungan Psikososial vs Trauma Healing
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pemahaman terkait reaksi emosional
yang muncul sudah sesuai, yaitu reaksi yang normal terjadi pada orang yang
mengalami kejadian traumatis [ CITATION Asi18 \l 14345 ]. Lebih lanjut, pemahaman
mengenai dukungan psikososial dapat dilakukan oleh orang awam terlatih sudah
dipahami oleh mayoritas partisipan. Walaupun demikian, partisipan mengartikan
dukungan psikososial yaitu memberikan dukungan berupa dukungan psikologi dan
sosial saja. Padahal, dukungan psikososial juga bertujuan untuk membangun
kembali sistem dukungan yang ada di masyarakat dan membantu masyarakat untuk
dapat beraktifitas seperti semula [ CITATION USG18 \l 14345 ].
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat berbagai istilah selain
dukungan psikososial dan trauma healing yaitu dorongan psikososial,
pendampingan psikososial. Penggantian istilah trauma healing menjadi dukungan
psikososial dilakukan karena larangan menganggap korban sebagai orang yang
mengalami trauma karena hal ini merupakan reaksi yang normal terjadi. Lebih lanjut,
panduan internasional dan peraturan pemerintah menggunakan istilah MHPSS atau
Kesehatan Mental dan Dukungan Psikososial dalam menyebutkan istilah mengenai
intervensi masalah psikososial karena bencana dan konflik [ CITATION Men06 \l 14345
\m Int07]. Oleh sebab itu, perlu persamaan persepsi untuk menggunakan satu istilah
yang sama dalam menyebutkan intervensi masalah psikososial karena bencana dan
konflik, yaitu dukungan psikososial.
Masalah Psikososial Korban Bencana
Mayoritas masalah psikologis yang ditemukan merupakan ketakutan dan
pengalaman traumatis. Masalah tersebut muncul pada mayoritas masalah pada
korban yang ditemukan partisipan dikarenakan bencana gempa yang terjadi
berulang-ulang. Gempa yang berulang ini menyebabkan selalu munculnya perasaan
takut, salah satunya adalah takut untuk masuk ke rumah karena takut tertimpa
reruntuhan bangunan. Selain itu, pengalaman traumatis muncul karena gempa
berulang menyebabkan korban teringat kembali dengan peristiwa gempa besar yang
terjadi yang menyebabkan korban panik ketika terjadi gempa susulan.
Masalah sosial pada korban ditemui oleh seluruh partisipan. Mayoritas
masalah sosial yang ditemukan yaitu kehilangan rumah dan berhentinya aktifitas
masyarakat, termasuk pekerjaan. Masalah sosial yang mayoritas ditemukan
berhubungan dengan dampak fisik khas yang terjadi karena gempa. Dampak fisik
yang khas tersebut adalah rusaknya infrastruktur, termasuk rumah masyarakat.
Infrastruktur yang tidak berfungsi akan menghambat bahkan menghentikan kegiatan
masyarakat, termasuk kegiatan perekonomian. Oleh karena itu, diperlukan suatu
perencanaan jangka panjang sesuai dengan matriks intervensi yang dirancang oleh
IASC pada domain ke-dua, yaitu shelter and site planning untuk memulihkan dan
membangun kembali infrastruktur dan hunia masyarakat.
Tahap Pelaksanaan Dukungan Psikososial
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pemahaman partisipan mengenai
tahap pelaksanaan dukungan psikososial berbeda-beda. Partisipan yang
menyampaikan mengenai prioritas pemberian bantuan fisik terlebih dahulu sesuai
dengan tahap pertama dari dukungan psikososial yang ada dalam pedoman PMI
[ CITATION Pal14 \l 14345 ]. Walaupun demikian, mayoritas partisipan yang
menyampaikan program diawali dengan proses assessment dan diakhiri dengan
monitoring dan evaluasi tidak bisa dianggap tidak tepat. Hal tersebut karena tidak
adanya tahapan khusus pada panduan internasional maupun peraturan pemerintah
(IASC, 2007; Menteri Kesehatan Republik Indonesia, 2006). Pemberian intervensi
dukungan psikososial dianggap sesuai, tepat, dan berhasil ketika dapat memenuhi
seluruh standar dan matriks intervensi yang telah dirumuskan. Walaupun demikian,
belum seluruh partisipan menyampaikan mengenai implementasi yang sesuai
dengan panduan yang ada.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kegiatan assessment
psikososial dari masing-masing partisipan mayoritas belum sesuai dengan panduan
yang ada [ CITATION Int12 \l 14345 ]. Hal tersebut dikarenakan perbedaan
pemahaman, kapasitas, dan panduan yang digunakan dalam pelaksanaan program
dukungan psikososial oleh partisipan. Oleh karena itu, di kemudian hari kegiatan
assessment psikososial ini dapat dirancang secara terstruktur dan dilaksanakan
sesuai panduan yang ada. Lebih lanjut, perlu perumusan tools assessment
psikososial yang berbeda untuk mengkaji anak-anak dan dewasa disesuaikan
dengan teknik yang digunakan.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tujuan PFA adalah kegiatan
assessment untuk memfasilitasi korban mengungkapkan perasaan yang dimiliki
melalui teknik per individu atau Forum Group Discussion (FGD). Kegiatan PFA
dianggap dilakukan bersamaan dengan assessment merupakan core actions ke-
empat yaitu information gathering (IASC, 2007). Pemilihan waktu pelaksanaan PFA
yaitu saat korban sudah berkumpul di shelter dapat dihubungkan dengan kewajiban
penolong pertama [ CITATION Pal09 \l 14345 ]. Lebih lanjut, setiap core actions dalam
PFA mempunyai fokus intervensi masing-masing (NCTSN; National Center of PTSD,
2006). Oleh sebab itu, dapat disimpulkan bahwa pemahaman mengenai PFA oleh
partisipan masih minimal. Padahal, kegiatan PFA terdiri dari delapan core actions
yang mempunyai berbagai fokus kegiatan di setiap aksinya.
Koordinasi dan komunikasi terutama antar institusi biasa dilakukan dalam
system klaster [ CITATION Rus14 \l 14345 ]. Koordinasi yang dilakukan dalam
penanggulangan bencana gempa di Lombok berdasarkan analisa data penelitian,
terutama bagian koordinasi eksternal antar institusi masih belum maksimal karena
hanya diikut oleh dua partisipan saja. Hal-hal yang dapat dilakukan yaitu
mengevaluasi lagi sistem koordinasi lintas sektoral dan institusi di manajemen
kebencanaan Indonesia, mensosialisasikan panduan koordinasi kepada seluruh
institusi, serta menetapkan rencana operasi secara bersama-sama sehingga luaran
dari program dukungan psikososial dapat lebih berkualitas dan merata.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa mayoritas dalam bentuk permainan,
menggambar, drama, atau bernyanyi untuk anak-anak dan/atau remaja, pelayanan
konseling, dan kegiatan spiritualitas atau religiusitas. Selain itu, hanya beberapa
institusi yang juga melakukan intervensi dalam bentuk lain. IASC (2007) dalam
panduan yang disusun menjabarkan matriks intervensi yang dapat dilakukan oleh
institusi dalam memberikan dukungan psikososial terdiri dari berbagai domain dan
fungsi. Domain pertama terdiri dari empat fungsi yaitu 1) koordinasi, 2) assessment,
monitoring, dan evaluasi, 3) proteksi dan standar HAM, 4) sumber daya manusia.
Domain kedua mengenai inti MHPSS terdiri dari empat fungsi yaitu 1) mobilisasi
komunitas dan dukungan, 2) pelayanan kesehatan, 3) edukasi, 4) diseminasi
informasi. Domain ketiga mengenai konsiderasi sosial di sektoral terdiri dari tiga
fungsi yaitu 1) food security and nutrition, 2) shelter and site planning, 3) water and
sanitation. Sehingga dapat disimpulkan bahwa program dukungan psikososial tidak
dapat berdiri sendiri, tetapi merupakan program terintegrasi yang harus seluruhnya
dilakukan oleh masing-masing institusi dan pemerintah yang bertugas dalam
penanggulangan bencana. Walaupun demikian, kegiatan pemberdayaan
masyarakat lokal masih sangat minimal dilakukan oleh seluruh partisipan, hanya
terbatas pada kegiatan pembangunan dan pengolahan logistik, sehingga perlu
ditingkatkan lagi.
Perbedaan penggunaan panduan dalam melakukan program dukungan
psikososial memungkinkan adanya perbedaan proses dan output dari program
dukungan psikososial. Walaupun demikian, mayoritas partisipan masih belum sesuai
dalam memahami tujuan intervensi dari dukungan psikososial. Intervensi yang
dilakukan oleh mayoritas partisipan masih difokuskan untuk mengatasi masalah
psikologis saja. Padahal, tujuan utama pelaksanaan dukungan psikososial lebih
kepada mengaktifkan kembali kehidupan masyarakat dan membangun kembali
sistem dukungan yang ada. Oleh sebab itu, peneliti menyarankan selain penyamaan
persepsi dan panduan yang digunakan, pemerintah sebagai koordinator utama
penanggulangan bencana dapat berkoordinasi untuk merumuskan rencana operasi
bersama dengan institusi-institusi sehingga keseragaman dan pemerataan program,
serta kegiatan koordinasi dapat berjalan dengan baik.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa bentuk-bentuk monitoring yang
disampaikan di antaranya membuat catatan harian dan monitoring harian,
mingguan, bulanan, dan akhir program. Lebih lanjut, bentuk kegiatan evaluasi di
antaranya evaluasi pasca program dilaksanakan dua bulan selanjutnya dalam
jangka panjang, membuat laporan secara daring, evaluasi langsung setelah program
harian, dan meneruskan laporan kepada kloter selanjutnya. Panduan IASC
[ CITATION Int07 \l 14345 ] mengenai fungsi assessment, monitoring, and evaluation
menjabarkan lembar aksi dari kegiatan monitoring dan evaluasi yaitu menginisiasi
sistem partisipatif dari kegiatan monitoring dan evaluasi. Kegiatan monitoring dan
evaluasi yang dilaksanakan masing-masing partisipan belum maksimal. Hal tersebut
dikarenakan tidak adanya sistem partisipatif sehingga intervensi mayoritas berhenti
dan tidak termonitoring dengan baik setelah institusi meninggalkan Lombok. Lebih
lanjut, kriteria SMART (specific, measurable, achievable, relevant, dan time-bound)
dari indikator dimungkinkan tidak dapat diukur dengan baik karena mayoritas
partisipan hanya melakukan intervensi satu kali pada setiap komunitas. Selain itu,
mayoritas institusi menghentikan programnya setelah bencana terjadi di daerah lain,
tidak melanjutkan program sampai masa rehabilitasi. Padahal, walaupun sudah
memasuki masa rehabilitasi, kegiatan dukungan psikososial masih diperlukan oleh
korban.
Kesimpulan
Masalah psikologis berupa ketakutan dan peristiwa traumatis serta masalah sosial
berupa kehilangan rumah dan pekerjaan banyak ditemukan oleh responden. Selain
itu, terdapat perbedaan pemahaman mengenai penggunaan istilah dukungan
psikososial dan trauma healing. Lebih lanjut, tahap pelaksanaan dukungan
psikososial masih bervariasi dan belum sesuai dengan panduan yang ada.
Perbedaan tahap dukungan psikososial yang dilakukan dikarenakan perbedaan
panduan yang digunakan oleh masing-masing institusi. Peraturan dan panduan
program dukungan psikososial harus dibuat oleh pemerintah dan disosialisasikan ke
seluruh institusi yang terlibat dalam kegiatan kebencanaan.
Daftar Pustaka
Anwar, S. (2015). Pengaruh dukungan psikososial terhadap tingkat kecemasan anak
usia sekolah di daerah rawan banjir di Kelurahan Bandar Durian Kabupaten
Labuhanbatu Utara tahun 2015. I (1).
Asih, M. K., Utami, R. R., & Kurniawan, Y. (2018). Psychological First Aid (PFA)
untuk Pendamping Balai Pemasyarakatan (BAPAS Kelas 1) Semarang.
Seminar Nasional Kolaborasi Pengabdian pada Masyarakat (pp. 450 - 453).
Semarang: Universitas Semarang.
Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika. (2018). Gempa Lombok, BMKG
Minta Masyarakat Tetap Tenang dan Waspada Gempa Susulan. Retrieved
September 16, 2018, from Web site BMKG: https://www.bmkg.go.id/press-
release/?p=gempa-lombok-bmkg-minta-masyarakat-tetap-waspada-gempa-
susulan&tag=press-release&lang=ID
Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika. (2018). Gempabumi Terkini (M ≥
5.0). Retrieved September 15, 2018, from Web site BMKG:
https://www.bmkg.go.id/gempabumi/gempabumi-terkini.bmkg
Badan Nasional Penanggulangan Bencana. (2018). Definisi dan Jenis Bencana.
Retrieved September 16, 2018, from Web site Badan Nasional
Penanggulangan Bencana: https://www.bnpb.go.id/home/potensi-bencana
Badan Nasional Penanggulangan Bencana. (2018). 82 Orang Meninggal Dunia
Akibat Gempa 7 SR, Ribuan Warga Mengungsi. Retrieved September 16,
2018, from Web site BNPB: https://www.bnpb.go.id/82-orang-meninggal-
dunia-akibat-gempa-7-sr-ribuan-warga-mengungsi
Indopos. (2018). Gaet Swasta, PMI Salurkan Bantuan Korban Gempa Lombok.
Retrieved Februari 7, 2019, from:
https://indopos.co.id/read/2018/08/11/146998/gaet-swasta-pmi-salurkan-
bantuan-korban-gempa-lombok
Inter-Agency Standing Committee. (2007). IASC Guidelines on Mental Health and
Psychosocial support in Emergency settings. Jenewa: IASC.
Menteri Kesehatan Republik Indonesia. (2006). Keputusan Menteri Kesehatan
Republik Indonesia Nomor 048/MENKES/SK/I/2006 tentang Pedoman
penanggulangan masalah kesehatan jiwa dan psikososial pada masyarakat
akibat bencana dan konflik.
National Child Traumatis Stress Network; National Center of PTSD. (2006).
Psychological First Aid (PFA): Field operations guide for community
religious professionals. United States: NCTSN.
Palang Merah Indonesia. (2014). Bahan bacaan manual dukungan psikososial.
Jakarta: Palang Merah Indonesia.
Palang Merah Indonesia. (2009). Pedoman Pertolongan Pertama. Jakarta: Palang
Merah Indonesia.
Ruswandi, Dody. (2014). Retrieved Juli 9, 2019, from unocha.org:
https://www.unocha.org/sites/dms/ROAP/Indonesia/Documents/PENDEKAT
AN%20KLASTER%20DALAM%20TANGGAP%20DARURAT
%20BENCANA%20DI%20INDONESIA.pdf
US Government. (2018). Disaster recovery : community-based psychosocial support
in the aftermath. (J. O. Diaz, Ed.) Waretown, NJ: Apple Academic Press Inc