25241-Article Text-98594-1-10-20200326
25241-Article Text-98594-1-10-20200326
25241-Article Text-98594-1-10-20200326
Indonesia
Article Info: Abstract: Mangrove ecosystem is an area that serves as a interface between
Received: 06 - 02 - 2019 the land and sea, but at the moment has a lot of damage. The phenomenon of
Accepted: 29 - 07 - 2019
damage to the mangrove forest ecosystem also occurred in Langsa City. This
Keywords: study aims to analyse biophysical conditions of mangrove forest ecosystems
Mangrove ecosystem, spatial in Langsa City. The method used in this study is to combine spatial analysis
analysis, vegetation analysis, and vegetation analysis. Results of the study show that the area of mangrove
mangrove flora.
forest in the study has increased as large as 324.29 ha in the period of 6 years
Corresponding Author: (2007-2013). The mangrove flora in Langsa City consist of a group of true
Iswahyudi mangrove flora and mangrove associates, consisting of 14 families and 25
Program Studi Agroteknologi, species. The criticality of mangrove forests in the research location is
Fakultas Pertanian, Universitas
Samudra; classified as damaged (1 955.96 ha) and severely damaged (2 556.82 ha).
Tel. +62-82164016300
Email:
[email protected]
PENDAHULUAN
Mangrove adalah ekosistem penting di wilayah pesisir karena fungsi lingkungannya. Ekosistem ini
penting untuk perlindungan pesisir dan bermanfaat bagi ekonomi lokal di sekitar 123 negara di dunia (Spalding
et al., 2010; Kathiresan, 2012). Secara alami, hutan mangrove adalah rumah bagi mamalia, amfibi, reptil,
burung, kepiting, ikan, primata, serangga dan hewan lainnya (Kusmana, 2014). Untuk menjaga kelestarian
ekologi, ekonomi dan sosial dari hutan mangrove sebagai sumberdaya lahan yang terbarukan maka fokus
utama yang harus dilakukan adalah pengelolaan hutan mangrove yang lestari dalam rangka memenuhi
kebutuhan generasi masa depan dan tidak memberikan dampak negatif terhadap lingkungan fisik dan sosial
(Kusmana, 2015).
98
Jurnal Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan 10(1): 89-97
Mangrove tumbuh di 124 negara tropik dan sub-tropik dengan luas mangrove di dunia sekitar 15.2 juta
ha. Indonesia bersama dengan empat negara lainnya (Australia, Brazil, Nigeria, dan Mexico) mewakili 48%
dari luas hutan mangrove dunia (Lavieren et al., 2015). Secara global, penurunan luasan hutan mangrove sudah
mencapai 1-2% pertahun. Penurunan luasan hutan mangrove terjadi di hampir setiap negara yang memiliki
hutan mangrove, dan penurunannya meningkat lebih cepat di negara-negara berkembang, di mana lebih dari
90% hutan mangrove dunia berada (Carter et al., 2015).
Berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan Republik Indonesia No. 941/Menhut-II/2013 tentang
Perubahan peruntukan kawasan hutan menjadi bukan hutan seluas 42,616 ha, perubahan fungsi kawasan hutan
seluas 130,542 ha dan perubahan bukan kawasan hutan menjadi kawasan hutan seluas 26,461 ha di Propinsi
Aceh, maka peruntukan kawasan hutan mangrove di Kota Langsa seluas 1,687.76 ha sebagai hutan lindung
mangrove, seluas 3,657.12 ha sebagai hutan produksi, seluas 676.44 sebagai hutan produksi konversi dan
seluas 151.1 ha sebagai area penggunaan lain.
Pada saat ini, hutan mangrove di Kota Langsa telah mengalami kerusakan. Menurut DKPP Kota Langsa
(2013), akibat dari kerusakan hutan mangrove telah menyebabkan deforestasi ekosistem pesisir dan penurunan
kualitas air di Kota Langsa. Pemerintah Kota Langsa dalam mewujudkan keberlanjutan ekosistem hutan
mangrove telah melakukan program rehabilitasi mangrove di wilayah Kota Langsa yang melibatkan
stakeholder terkait. Namun, hasil dari kegiatan tersebut sejauh ini kurang optimal. Berbagai upaya perbaikan
kondisi ekosistem hutan mangrove akan dapat terlaksana dengan baik apabila tersedia informasi obyektif
kondisi hutan dan lahan secara menyeluruh. Penyediaan data dan informasi tersebut sangat diperlukan terutama
dalam menunjang formulasi strategi rehabilitasi yang berdayaguna, sehingga diharapkan dapat menjadi acuan
dalam pengalokasian sumberdaya secara proporsional. Dengan demikian diharapkan tercipta daya dukung
sumberdaya hutan dan lahan yang optimal dan lestari. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi
perubahan luas dan sebaran mangrove; mengidentifikasi komposisi jenis dan struktur vegetasi mangrove; dan
mengidentifikasi kekritisan hutan mangrove di Kota Langsa.
METODE
Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Kota Langsa Propinsi Aceh. Waktu penelitian mulai bulan Januari sampai
dengan Juli 2016.
99
Iswahyudi, Kusmana C, Hidayat A, Noorachmat BP
100
Jurnal Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan 10(1): 98-110
Data yang diperoleh di lapangan digunakan untuk menghitung kerapatan, frekuensi, dominansi, dan
indeks nilai penting. Indeks Nilai Penting (INP) (Cox, 1985), digunakan untuk mengetahui jenis pohon
dominan pada setiap tingkat pertumbuhan. Indeks Nilai Penting (INP) merupakan indeks yang
menggambarkan pentingnya peranan suatu jenis tumbuhan dalam ekosistemnya. Apabila INP suatu jenis
tumbuhan bernilai tinggi, maka jenis itu sangat mempengaruhi kestabilan ekosistem tersebut.
101
Iswahyudi, Kusmana C, Hidayat A, Noorachmat BP
Berdasarkan Tabel 1, maka Total Nilai Skoring (TNS) dihitung dengan rumus sebagai berikut:
TNS = (Jp1 x 45) + (Kt x 35) + Kta x 20)
Dari total nilai skoring (TNS), selanjutnya dapat ditentukan tingkat kekritisan lahan mangrove sebagai
berikut :
a) Nilai 100 – 166 : rusak berat
b) Nilai 167 – 233 : rusak
c) Nilai 234 – 300 : tidak rusak
Hasil analisis tingkat kekritisaan lahan mangrove dengan parameter terkoreksi selanjutnya dipetakan dan
dibuat Tabel Hasil Reskoring.
102
Jurnal Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan 10(1): 98-110
Dari Tabel 2, dapat dilihat pada tahun 2007 tutupan lahan mangrove di Kota Langsa hanya terdapat di tiga
kecamatan. Adapun pada tahun 2013 menyebar di seluruh kecamatan dengan luas yang berbeda-beda.
Kecamatan Langsa Timur merupakan wilayah yang mempunyai luas tutupan lahan mangrove terluas di Kota
Langsa pada kedua tahun pengamatan. Hasil analisis perubahan luas mangrove terlihat dibandingkan dengan
tahun 2007, maka pada tahun 2013 terjadi penambahan luas hutan mangrove sebesar 324.29 ha.
Tabel 2 Luas, sebaran dan perubahan luas hutan mangrove di lokasi penelitian.
Luas Mangrove Luas Mangrove Perubahan
No Kecamatan (2007) (2013) (2007-2013)
(ha) (%) (ha) (%) (ha) (%)
1 Langsa Timur 2 639.19 63.01 2 851.08 63.18 +211.89 65.34
2 Langsa Lama 0.00 0.00 1.90 0.04 +1.90 0.59
3 Langsa Barat 1 390.52 33.20 1 484.05 32.89 +93.53 28.84
4 Langsa Baro 158.78 3.79 173.36 3.84 +14.58 4.50
5 Langsa Kota 0.00 0.00 2.39 0.05 +2.39 0.74
Jumlah Total 4 188.50 100 4 512.78 100 324.29 100
Sumber: Hasil analisis Citra Satelit Landsat 7 ETM+ tahun 2007 dan 2013.
Menurut DKPP Kota Langsa (2013), luas rehabilitasi mangrove di Kota Langsa sejak tahun 2006-2013
seluas 580 ha. Kegiatan rehabilitasi ini dilakukan oleh berbagai lembaga. Satker BRR-NAD Nias pada tahun
2006 melakukan rehabilitasi mangrove seluas 350 ha. Berdasarkan hasil evaluasi yang dilakukan mangrove
yang tumbuh hanya seluas 164.5 ha (47%) (Satker BRR-NAD Nias, 2008). Rendahnya keberhasilan
rehabilitasi mangrove yang dilakukan oleh Satker BRR-NAD Nias pada awal program ini dijalankan karena
tidak adanya bibit mangrove yang tersedia di Kota Langsa dan kesalahan pemilihan lokasi penanaman. Karena
103
Iswahyudi, Kusmana C, Hidayat A, Noorachmat BP
tidak tersedianya bibit mangrove pada waktu itu, maka pihak Satker BRR-NAD Nias terpaksa mendatangkan
bibit mangrove dari Kota Banda Aceh yang kondisi biofisik tempat tumbuhnya berbeda dengan di Kota
Langsa, sehingga banyak mangrove yang ditanam mati. Jika dibandingkan dengan hasil analisis citra Satelit
Landsat 7 ETM+ tahun 2013, maka terdapat selisih penambahan luas mangrove sebesar 159.79 ha.
Penambahan luas mangrove ini diduga karena keberhasilan rehabilitasi mangrove yang dilakukan oleh
Pemerintah Kota Langsa bersama dengan Dinas Kehutanan dan Lingkungan Hidup Propinsi Aceh, Lembaga
Swadaya Masyarakat, Badan Usaha Milik Negara, Lembaga pendidikan, masyarakat pecinta alam dan pihak swasta
juga melakukan rehabilitasi mangrove di Kota Langsa sejak tahun 2006-2012. Luas areal yang dilakukan
rehabilitasi seluas 280 ha. Lokasi rehabilitasi ini berada pada kawasan hutan lindung dan hutan produksi terbatas
mangrove (DKPP Kota Langsa, 2013). Selain itu juga ada beberapa buah tambak yang terdapat di luar kawasan
hutan mangrove yang tidak produktif lagi dan ditinggalkan oleh pemiliknya sehingga secara alami ditumbuhi oleh
mangrove.
Berdasarkan hasil analisis citra Satelit Landsat 7 ETM+, sebaran hutan mangrove di lokasi penelitian
sebagian besar menyebar di kiri-kanan sungai, hutan lindung, hutan produksi terbatas dan tepi pantai. Tutupan
lahan mangrove di lokasi penelitian pada tahun 2007 dan 2013 membentuk dua pola, yaitu pola poligon yang
relatif luas dengan bentuk yang teratur dan pola poligon yang relatif memanjang dengan lebar yang sempit.
Poligon-poligon yang relatif luas dengan bentuk yang teratur, ditemukan di kawasan hutan lindung dan hutan
produksi yang dapat di konversi.
Poligon-poligon yang relatif luas ini dari hasil pengamatan langsung di lapangan merupakan wilayah yang
sudah pernah dilakukan program rehabilitasi dan keberhasilan program rehabilitasi yang dilakukan telah menambah
luas mangrove di lokasi penelitian. Sebagian besar areal rehabilitasi ini berada di kawasan hutan lindung mangrove
yang terdapat di Desa Kuala Langsa. Pada tahun 2016, Pemerintah Kota Langsa menjadikan kawasan hutan lindung
mangrove seluas 888,81 ha sebagai kawasan wisata mangrove Kuala Langsa yang dilengkapi dengan sarana dan
prasarana pendukungnya (Qanun Kota Langsa No. 8 tahun 2015 tentang Rencana Induk Pembangunan
Kepariwisataan Kota Langsa).
Pada wilayah sepanjang aliran sungai dan dekat dengan pemukiman, poligon yang terbentuk relatif
memanjang dan mempunyai lebar yang sempit, pola ini dapat kita asumsikan bahwa hutan mangrove telah
mengalami kerusakan yang disebabkan oleh konversi hutan mangrove menjadi tambak maupun penebangan
pohon mangrove untuk bahan baku arang, bahan bangunan maupun kayu bakar. Jenis mangrove yang dijadikan
bahan baku arang adalah famili Rhizophoraceae yang berdiameter minimal 5-7.5 cm.
104
Jurnal Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan 10(1): 98-110
tiang dan tingkat pohon seluruhnya adalah jenis S. alba dengan nilai INP masing-masing 200%; 210.04%;
237.87% dan 100.78% (Tabel 4).
Secara umum Indeks Nilai Penting (INP) famili Rhizophoraceae memiliki INP tertinggi di semua tingkat
strata pengamatan pada transek Alue Tirom, Pulau Pusong dan Pulau Tikus. Pada transek Muara Pulau Tikus, famili
Avicenniaceae mempunyai nilai INP tertinggi pada seluruh strata pengamatan. A officinalis tumbuh di bagian
pinggir daratan mangrove, khususnya di sepanjang Sungai Krueng Langsa yang dipengaruhi oleh pasang surut dan
mulut sungai. Pada transek Pelabuhan Kuala Langsa, famili Sonneratiaceae mempunyai nilai INP tertinggi pada
seluruh strata pengamatan. S alba tumbuh dibagian yang kurang asin di hutan mangrove, pada tanah lumpur
yang dalam dan dipengaruhi oleh pasang surut air laut.
Tingginya INP masing-masing famili mangrove pada masing-masing transek pengamatan diduga karena
kekuatan dan kecocokan dari karakteristik tempat hidupnya. Sebagian besar lahan tersebut kondisinya sesuai
dengan syarat tumbuh mangrove. Tekstur tanah yang berlumpur, tingkat salinitas dan tipe pasang surut yang
sesuai menyebabkan jenis-jenis mangrove tersebut INPnya lebih tinggi dari jenis yang lain. Hossain dan
Nuruddin (2016), menyatakan bahwa sifat tanah yang berbeda mempengaruhi vegetasi, komposisi spesies dan
struktur hutan mangrove.
Hasil pengamatan di lapangan, jenis R. mucronata sesuai tumbuh pada lahan berlumpur dan dipengaruhi
oleh keberadaan sungai. A marina dapat tumbuh dengan subur pada substrat lempung berpasir dan Brugueira
spp. banyak dijumpai tumbuh pada substrat lempung berpasir atau lempung berdebu. Menurut Kusmana et al.,
(2005), jenis Rhizophora spp. dan Avicennia spp. bisa tumbuh dengan baik pada tanah yang lunak (belum begitu
matang) dan berlumpur. Jenis Bruguiera spp., Sonneratia spp. dan Ceriops spp. bisa ditanam di tanah yang lebih
keras/lebih matang (biasanya lebih dekat ke arah daratan).
105
Iswahyudi, Kusmana C, Hidayat A, Noorachmat BP
Kemampuan adaptasi masing-masing jenis mangrove terhadap salinitas berbeda-beda. Menurut Hoppe-
Speer et al., (2011), R. mucronata, R. apiculata, R. stylosa dan R. mangle, memiliki pertumbuhan yang optimal
pada salinitas 8-18 ppt. Selanjutnya Perera et al., (2013), menyatakan bahwa A. marina adalah jenis yang
paling toleran terhadap salinitas, diikuti oleh R mucronata, C tagal dan L racemosa. E agallocha adalah spesies
yang paling toleran terhadap garam. Siringoringo et al., (2018), menambahkan bahwa Avicennia lebih adaptif
terhadap air dangkal, sedangkan Rhizophora lebih adaptif pada area yang lebih dekat atau kontak langsung
dengan laut.
Rendahnya INP pada jenis tertentu mengindikasikan bahwa jenis ini kurang mampu bersaing dengan
lingkungan yang ada disekitarnya serta jenis lainnya. Rendahnya ketahanan terhadap gejala alam serta
besarnya eksploitasi mengakibatkan jenis-jenis tersebut berkurang dari tahun ke tahun. Ketersediaan propagul
diduga lebih berpengaruh dalam proses reproduksi. Mangrove akan bereproduksi jika kondisi lingkungan
cocok atau sesuai. Hal ini berkaitan dengan daya adaptasi mangrove terhadap kondisi lingkungan yang ekstrim,
seperti substrat lumpur yang baru terbentuk akan didominasi oleh jenis mangrove yang propagulnya paling
banyak sampai ketempat tersebut.
Famili Rhizophoraceae, Avicenniaceae dan Sonneratiaceae diperkirakan akan mendominasi populasi
jenis mangrove pada masa yang akan datang di lokasi penelitian jika tidak ada gangguan terhadap kelestarian
hutan mangrove. Hal ini ditunjukkan oleh tingginya populasi jenis-jenis mangrove tersebut pada semua tingkat
pertumbuhan di lokasi penelitian. Tingginya Nilai INP menunjukkan bahwa jenis-jenis mangrove tersebut mampu
beradaptasi dengan baik terhadap kondisi lingkungan tempat tumbuhnya, sehingga dapat digunakan sebagai bahan
untuk rekomendasi program rehabilitasi dan sebagai zona penyangga bagi lingkungan pesisir, sebab jenis inilah
yang paling mampu tumbuh dengan baik serta mampu memanfaatkan peluang dan ruang yang lebih luas
106
Jurnal Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan 10(1): 98-110
dibandingkan dengan jenis-jenis mangrove lainnya. Selain itu nilai INP yang tinggi menunjukkan jenis mangrove
tersebut memiliki peranan yang besar terhadap ekosistem mangrove di lokasi penelitian dibandingkan jenis yang
lain.
Hasil identifikasi ini didukung oleh beberapa hasil penelitian yang di lakukan di Kota Langsa pada
beberapa lokasi yang berbeda seperti di lokasi wisata mangrove Kuala Langsa Kecamatan Langsa Barat (Majid
et al., 2014 & Fitrianingsih 2017) dan di Desa Kuala Langsa Kecamatan Langsa Barat (Zurba et al., 2017),
menunjukkan hasil yang sama. Dimana jenis mangrove yang paling mendominasi adalah Rhizophora spp.,
Avicennia spp., dan Sonneratia spp. Ketiga jenis mangrove ini mendominasi di semua kawasan mangrove di
wilayah pesisir Kota Langsa. Hasil penelitian ini juga didukung oleh data yang didapat dari DKPP Kota Langsa
(2013), yang menyatakan bahwa struktur dan komposisi hutan mangrove yang ada di wilayah pesisir Kota
Langsa didominasi oleh jenis Rhizophora spp., pada area pinggir daratan rawa mangrove sepanjang sungai
yang dipengaruhi oleh pasang surut air laut dan mulut sungai didominasi oleh jenis A officinalis. Pada bagian
tengah vegetasi mangrove kearah laut didominasi oleh jenis B cylindrica. Pada area yang salinitasnya rendah,
lumpurnya dalam dan dipengaruhi oleh pasang surut air laut didominasi oleh jenis S alba.
Berdasarkan hasil analisis tingkat kekritisan lahan mangrove di lokasi penelitian didapatkan dua kategori
kerusakan, yaitu rusak dan rusak berat (Tabel 5 dan Gambar 4). Kategori kerusakan yang paling luas yaitu
kategori rusak berat yang tersebar di seluruh kecamatan dengan luas 2 556.82 ha. Kecamatan Langsa Barat
merupakan wilayah yang mempunyai luas hutan mangrove pada tingkat kekritisan paling luas dibandingkan dengan
kecamatan yang lain. Dari 2 896,38 ha luas hutan mangrove yang mengalami kekritisan di Kecamatan Langsa
Barat, seluas 1 488.48 ha termasuk dalam kategori rusak dan seluas 1 407.90 ha termasuk dalam kategori rusak
berat.
Tutupan lahan di lokasi penelitian adalah hutan mangrove (kawasan hutan lindung, areal penggunaan lain,
hutan produksi konversi dan hutan produksi), tambak, kawasan pemukiman, kawasan pelabuhan dan Pusat
Pelelangan Ikan (PPI). Kondisi tutupan ini memberikan gambaran bahwa kondisi ekosistem hutan mangrove
di lokasi penelitian mengalami tekanan yang berat. Tekanan tersebut terutama disebabkan oleh konversi lahan,
pembalakan mangrove untuk bahan baku pembuatan arang dan sedimentasi.
Kawasan hutan mangrove yang terdapat di lokasi penelitian pada saat ini sudah banyak dikuasai oleh
masyarakat untuk memenuhi kebutuhan ekonominya. Berdasarkan penuturan tokoh-tokoh masyarakat dan
tetua kampung, dahulunya tidak ada yang mengklaim kepemilikan lahan-lahan mangrove di wilayah tersebut,
karena sebagian besar masyarakat memiliki profesi sebagai nelayan yang mencari ikan di laut. Budidaya udang
dan ikan bandeng yang mulai berkembang di tahun 1980-an mendorong sebagian masyarakat menguasai lahan
mangrove untuk diusahakan menjadi tambak yang dikelola secara tradisional.
Selain itu, pembalakan pohon mangrove dilakukan oleh masyarakat di sekitar lokasi penelitian maupun
oleh masyarakat yang berasal dari Kabupaten Aceh Timur, Kabupaten Aceh Tamiang maupun dari Kabupaten
Langkat Provinsi Sumatera Utara. Pohon mangrove ini merupakan bahan baku industri arang, bahan kayu
bakar maupun sebagai bahan kayu bangunan. Di lokasi penelitian banyak ditemui dapur-dapur arang yang
sudah mulai beroperasi semenjak tahun 1970-an yang mengandalkan bahan baku pembuatan arang dari
pembalakan liar. Sampai dengan tahun 2014, jumlah dapur arang yang masih aktif beroperasi di Kota Langsa
sebanyak 67 buah dapur dengan produktivitas 1.4 ton/dapur/bulan dan produksi total 115.6 ton/bulan (DKPP
Kota Langsa, 2013).
107
Iswahyudi, Kusmana C, Hidayat A, Noorachmat BP
Pengambilan pohon mangrove untuk bahan baku pembuatan arang menggunakan perahu bermesin tempel
yang dilakukan oleh tenaga pengumpul yang bekerja pada pengusaha arang. Kayu yang dapat dikumpulkan
dalam sehari (8 jam waktu kerja) dengan jumlah tenaga kerja 1 orang/perahu sebanyak 100 batang, dengan
panjang 2.5-3 m dan diameter 5-7.5 cm. Bahan baku kayu mangrove yang dibutuhkan untuk dapur arang
sebanyak 67 unit dan produksi total 115.6 ton/bulan adalah 6 817.92m3/tahun, terdiri dari kayu untuk
pembuatan arang sebanyak 5 454.34 m3/tahun dan kayu bakar sebanyak 1 363.58 m3/tahun dengan rendemen
20%. Dampak yang ditimbulkan oleh pembalakan pohon mangrove adalah penurunan kualitas tegakan
mangrove, yang dapat menghambat terjadinya regenerasi tumbuhan mangrove sehingga dalam jangka waktu
panjang hutan mangrovenya menjadi rusak.
Indikasi yang dapat dilihat adalah kerapatan pertumbuhan permudaan tingkat semai dan pancang yang
rendah. Hal ini menunjukkan kondisi hutan mangrove yang rusak. Hutan mangrove yang mengalami tingkat
kerusakan berat di lokasi penelitian berada di dalam kawasan hutan produksi konversi, hutan produksi dan
areal penggunaan lain. Kawasan areal penggunaan lain di lokasi penelitian pada awalnya merupakan kawasan
hutan lindung yang telah dikonversi untuk pembangunan Pelabuhan Kuala Langsa, Hutan Wisata Mangrove,
108
Jurnal Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan 10(1): 98-110
Kawasan Industri Kuala Langsa, Pelabuhan Pendaratan Ikan dan pada tahun 2017 mulai dibangun bandara
perintis Kuala Langsa dengan panjang landasan 1 000 m lengkap dengan sarana dan prasarana pendukungnya.
Secara umum, dilihat dari jenis tanah dan sistem lahan dilokasi penelitian, tingkat kepekaan erosinya
relatif tidak peka erosi. Kecuali pada lokasi yang berada didekat pantai dimana teksturnya adalah lempung
berpasir. Perera et al. (2013), menyatakan bahwa pertumbuhan dan sruktur mangrove sangat dipengaruhi oleh
erosi tanah, laju sedimentasi, input unsur hara dan kualitas tanah pada suatu lokasi. Tingginya sedimentasi
yang dibawa dari hulu oleh sungai-sungai yang bermuara ke Teluk Langsa menyebabkan terjadinya
pendangkalan di muara sungai.
Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi NAD-Nias (BRR 2007), menetapkan wilayah pesisir timur Provinsi
Aceh merupakan kawasan prioritas pengelolaan karena rawan dan berpotensi sedimentasi, meliputi muara
Sungai Krueng Biruem Puntong, Krueng Bayeun dan Krueng Langsa di sekitar Teluk Langsa. Kondisi yang
terjadi pada saat ini adalah tingginya abrasi yang terjadi di Pulau Telaga Tujuh akibat adanya arus sejajar pantai
yang bergerak menyusuri pantai yang terjadi di muara Sungai Krueng Langsa. Sedimentasi ini menjadi salah
satu penyebab kerusakan ekosistem mangrove di lokasi penelitian. Rusaknya hutan mangrove di lokasi
penelitian juga menyebabkan seringnya pasang purnama (banjir rob) menggenangi pemukiman masyarakat
yang bertempat tinggal di wilayah pesisir terutama warga Desa Pusong Telaga Tujuh dan Desa Kuala Langsa
di Kecamatan Langsa Barat dan warga Desa Alue Beurawe Kecamatan Langsa Kota. Banjir rob merupakan
fenomena yang sudah biasa bagi warga di desa tersebut yang terjadi dua kali dalam sebulan (awal bulan dan
pertengahan bulan).
SIMPULAN
Melalui analisa perbandingan citra satelit landsat tahun 2007 dan 2013, diketahui selama enam tahun telah
terjadi penambahan luas mangrove di Kota Langsa seluas 324.29 ha. Penambahan ini karena adanya kegiatan
rehabilitasi mangrove yang dilakukan di Kota Langsa sejak tahun 2006-2012 dan ada beberapa tambak yang
tidak produktif yang secara alami ditumbuhi oleh mangrove.
Terdapat dua kelompok mangrove yang dijumpai di lokasi penelitian, yaitu kelompok mangrove sejati
yang terdiri atas 14 famili dan 19 jenis dan kelompok mangrove ikutan yang terdiri atas 6 famili dan 6 jenis.
Berdasarkan struktur vegetasinya, jenis-jenis yang dijumpai berada pada tingkat permudaan semai, pancang,
tiang dan tingkat pohon. Berdasarkan Indeks Nilai Penting, maka mangrove dari famili Rhizophoraceae,
Avicenniaceae dan Sonneratiaceae akan mendominasi vegetasi mangrove yang tumbuh di Kota Langsa.
Kekritisan hutan mangrove di Kota Langsa terdiri atas dua kategori kerusakan, yaitu rusak seluas 2 556.82
ha dan rusak berat seluas 1 955.96 ha. Kecamatan Langsa Barat merupakan wilayah yang mempunyai luas hutan
mangrove pada tingkat kekritisan paling luas dibandingkan dengan kecamatan yang lain
DAFTAR PUSTAKA
Badan Informasi Geospasial. 2015. Peta Rupa Bumi Indonesia (RBI) Kota Langsa Skala 1: 50,000. Bogor
(ID): BIG.
Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kota Langsa. 2015. Gambaran Umum Kota Langsa. Langsa.
Carter, HN, Schmidt SW, Hirons AC. 2015. An international assessment of mangrove management:
Incorporation in integrated coastal zone management. Diversity. (7): 74-104. doi:10.3390/d7020074.
Cox GW. 1985. Laboratory Manual of General Ecology. Dubuque, Iowa (USA): WCM Brown.
Departemen Kehutanan. 2005. Pedoman Inventarisasi dan Identifikasi Lahan Kritis Mangrove. Jakarta (ID):
Direktorat Jendral Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial.
Dinas Kelautan, Perikanan dan Pertanian Kota Langsa. 2013. Sebaran Realisasi Kegiatan Bidang Kehutanan.
Langsa.
109
Iswahyudi, Kusmana C, Hidayat A, Noorachmat BP
Fitrianingsih YR. 2017. Kajian ekowisata untuk konservasi mangrove: Studi kasus di Kecamatan Langsa Barat
Kota Langsa Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Journal of Aceh Aquatic Science. 1(1): 83-94.
Hossain MD, Nuruddin AA. 2016. Soil and mangrove: A review. Journal of Environmental Science and
Technology. 9 (2): 198-207. 10.3923/jest.2016.198.207.
Kathiresan K. 2012. Importance of mangrove ecosystem. International Journal of Marine Science. 2(10): 70-
89.
Keputusan Menteri Kehutanan No. 941/Menhut-II/2013 tentang Perubahan peruntukan kawasan hutan
menjadi bukan hutan seluas 42.616 ha, perubahan fungsi kawasan hutan seluas 130.542 ha dan
perubahan bukan kawasan hutan menjadi kawasan hutan seluas 26.461 ha di Provinsi Aceh.
Kusmana C. 2014. Distribution and current status of mangrove forests in Indonesia. Di dalam: Hanum FI,
Latiff A, Hakeem KR, Ozturk M, editor. Mangrove ecosystem of Asia: Status, challenges and
management strategies. Springer. hlm 37-60.
Kusmana C. 2015. Integrated sustainable mangrove forest management. Jurnal Pengelolaan Sumberdaya
Alam dan Lingkungan. 5(1): 1-6. doi.org/10.29244/jpsl.9.1.%15p.
Kusmana C, Wilarso S, Iwan H, Pamoengkas P, Wibowo C. Tiryana T, Triswanto A, Yunasfi, Hamzah. 2005.
Teknik Rehabilitasi Mangrove. Bogor (ID): Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor.
Lavieren HV, Spalding M, Alongi DA, Kainuma M, Godt MC, Adeel Z. 2015. Securing the Future of
Mangroves. Hamilton (CA): Institute for Water, Environment and Health, United Nations University.
Majid AB, Patana P, Lesmana I. 2014. Studi potensi ekowisata di Kuala Langsa Provinsi Aceh.
Aquacoastmarine. 3(2): 44-54.
Qanun Kota Langsa No. 8 Tahun 2015 tentang Rencana Induk Pembangunan Kepariwisataan Kota Langsa.
Langsa: Jaringan Dokumentasi dan Informasi Hukum.
Perera KAR, Amarasinghe MD, Somaratna S. 2013. Vegetation structure and species distribution of
mangroves along a soil salinity gradient in a micro tidal estuary on the North-Western coast of Sri Lanka.
American Journal of Marine Science. 1(1): 7-15. DOI: 10.12691/marine-6-1-3.
Pusat Penelitian Tanah. 1983. Jenis dan Macam Tanah di Indonesia untuk Keperluan Survei dan Pemetaan
Tanah Daerah Transmigrasi. Bogor (ID).
Regional Physical Planning Program for Transmigration. 1990. Peta Land System RePPProT Pulau Sumatera.
Jakarta (ID): Official Development Assistance-Bakosurtanal-Departemen Transmigrasi.
Hoppe-Speer SCL, Adams JB, Rajkaran A, Bailey DF. 2011. The response of the red mangrove Rhizophora
mucronata Lam to salinity and inundation in South Africa. Aquatic Botany. (95): 71–76.
DOI: 10.1016/j.aquabot.2011.03.006.
Satuan Kerja Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Nanggroe Aceh Darussalam-Nias. 2008. Rehabilitasi hutan
mangrove dan hutan pantai di pesisir Nanggroe Aceh Darussalam. Banda Aceh (ID): Pusat
Pengendalian Lingkungan dan Konservasi BRR NAD-Nias.
Siringoringo HH, Narendra BH, Salim AG. 2018. Kualitas perairan mangrove di Ciasem Pamanukan,
Kabupaten Subang, Jawa Barat. Jurnal Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan. 8(3): 301-307.
doi.org/10.29244/jpsl.9.1.%15p.
Spalding MD, Kainuma M, Collins L. 2010. World Atlas of Mangroves. Washington DC (USA). Earthscan
Ltd.
Tomlinson PB. 1986. The Botany of Mangroves. England (UK): Cambridge University Pr.
Zurba N, Effendi H, Yonvitner. 2017. Pengelolaan potensi ekosistem mangrove di Kuala Langsa, Aceh. JITK.
9(1): 281-300.
110