Gambaran Gangguan Otonom Pada Pasien Parkinson Di RSCM Dan RSUP Fatmawati
Gambaran Gangguan Otonom Pada Pasien Parkinson Di RSCM Dan RSUP Fatmawati
Gambaran Gangguan Otonom Pada Pasien Parkinson Di RSCM Dan RSUP Fatmawati
ABSTRACT
Introduction: Autonomic symptoms are quite often reported by Parkinson’s disease patients, comprise
gastrointestinal, urinary, cardiovascular, sexual and thermoregulation symptomps. SCOPA-AUT (Scale for Outcomes in
Parkinson’s Disease for Autonomic Symptoms) questionnaire can detect autonomic dysfunctions and had been validated in
Indonesian language, but it never .
Aims: The purpose of this study is to obtain the profile of autonomic symptoms in Parkinson’s disease patients and
its related factors.
Methods: A cross sectional study was conducted between April and June 2012 to Parkinson’s disease patient in
Neurologic outward patient of Cipto Mangunkusumo and Fatmawati Hospital. Subjects were 40-80 years old and were
performed Hoehn-Yahr and SCOPA-AUT INA examination.
Results: A total of 54 subjects, aged 45-79 years, were recruited in this study. Most patients have illness duration
less than 5 years (63%), Hoehn & Yahr stage 1-2 (63%), and use combination therapy (levodopa with dopamine agonist)
(79.6%). Autonomic symptoms are complained by all patients. Most frequent symptoms are nocturia (79.6%), urinary
frequency (57.3%), sialorrhea (51.9%), and strain hard when pass stools (50%).
Discussions: All Parkinson’s disease patients in this study reported autonomic symptoms, mostly nocturia, urinary
frequency, and sialorrhea.
Keywords: autonomic symptoms, Parkinson’s disease, SCOPA-AUT.
ABSTRAK
Pendahuluan: Gangguan otonom merupakan gejala yang sering dialami pasien Parkinson, meliputi gangguan
gastrointestinal, urologi, kardiovaskular, seksual dan termoregulasi. Untuk mendeteksi gangguan otonom dapat digunakan
kuesioner SCOPA-AUT (Scale for Outcomes in Parkinson’s Disease for Autonomic Symptoms) yang sudah divalidasi ke
dalam bahasa Indonesia.
Tujuan: untuk mengetahui gambaran gangguan otonom pada pasien Parkinson serta faktor-faktor yang
memengaruhinya.
Metode: Penelitian dengan disain potong lintang pada April hingga Juni 2012 di Poliklinik Saraf RSUPN Cipto
Mangunkusumo dan RSUP Fatmawati, Jakarta. Subjek berusia 40-80 tahun yang didiagnosis menderita penyakit Parkinson
dan dilakukan anamnesis serta pemeriksaan Hoehn-Yahr dan SCOPA-AUT INA.
Hasil: Sebanyak 54 pasien Parkinson, berusia antara 45-79 tahun, diikutsertakan dalam penelitian ini. Sebagian
besar pasien memiliki durasi sakit kurang dari 5 tahun (63%) dengan stadium Hoehn & Yahr 1-2 (63%), dan memakai
terapi kombinasi levodopa dengan agonis dopamin (79,6%). Gangguan otonom didapatkan pada seluruh subjek penelitian.
Gangguan terbanyak adalah nokturia (79,6%), urinary frequency (57,3%), sialorea (51,9%), dan mengejan kuat saat buang
air besar (50%).
Diskusi: Seluruh pasien Parkinson pada penelitian ini mengalami gangguan otonom, dengan gangguan tersering
adalah nokturia, urinary frequency, dan sialorea.
Kata Kunci: Gangguan otonom, Parkinson, SCOPA-AUT.
*Peserta Program Dokter Spesialis Ilmu Penyakit Saraf FK Universitas Indonesia/RSUPN Cipto Mangunkusumo, Jakarta, **Staf
Pengajar Departemen Neurologi FK Universitas Indonesia/ RSUPN Cipto Mangunkusumo, Jakarta, ***Staf Departemen Ilmu
Kodokteran Komunitas FK Universitas Indonesia, Jakarta. Korespondensi: [email protected]
Artikel Penelitian
PENDAHULUAN
Penyakit Parkinson adalah penyakit neurodegeneratif terbanyak kedua sesudah penyakit
Alzheimer. Prevalensi penyakit Parkinson pada negara maju sebesar 0,3% dari keseluruhan
penduduk dan sekitar 1% dari penduduk yang berusia 60 tahun ke atas. Penyakit Parkinson
merupakan penyakit yang berhubungan dengan usia, sangat jarang ditemukan sebelum usia 50
tahun dan prevalensinya meningkat seiring dengan bertambahnya usia.1
Tidak banyak penelitian mengenai penderita penyakit Parkinson di Indonesia. Salah
satunya adalah penelitian yang dilakukan Sukoandari dan Basli yang menyediakan data dasar pasien
Parkinson di RSUPN Cipto Mangunkusumo (RSCM), Jakarta pada tahun 2006 dan 2010.2,3
Pada awalnya penyakit Parkinson hanya dipandang sebagai penyakit gangguan gerak
sederhana yang ditandai oleh hilangnya neuron dopaminergik di substansia nigra pars kompakta.
Namun saat ini -khususnya 1 dekade terakhir- penyakit Parkinson dikenal sebagai penyakit
neurodegeneratif yang meliputi motorik dan nonmotorik. Gangguan nonmotorik pada penyakit
Parkinson bervariasi, meliputi gangguan otonom, neuropsikiatri, sensorik, dan olfaktori. Gangguan
nonmotorik yang ada pada awal perjalanan penyakit, bahkan dapat muncul sebelum adanya
gangguan motorik.4
Penelitian-penelitian yang baru menunjukkan bahwa proses degeneratif pada penyakit
Parkinson adalah jauh lebih ekstensif dan mempengaruhi tidak hanya sistem saraf pusat, tetapi juga
sistem saraf perifer. Organ yang tersering terkena di luar sistem saraf pusat adalah organ-organ
yang dipersarafi oleh sistem saraf otonom perifer dan yang mengandung neuron katekolaminergik.
Beberapa penelitian melaporkan prevalensi gangguan otonom pada penyakit Parkinson, yang sangat
bervariasi antar penelitian, yaitu antara 14-80%.4,5
Gangguan otonom yang didapatkan pada pasien Parkinson meliputi gangguan di
gastrointestinal, urologi, kardiovaskular, seksual, dan termoregulasi. Gangguan otonom pada pasien
Parkinson secara bermakna memberikan kontribusi pada menurunnya kualitas hidup pasien
Parkinson. Bahkan gangguan otonom dapat lebih mempengaruhi kualitas hidup pasien Parkinson
bila dibandingkan dengan gangguan motorik. Oleh karena itu, sangatlah penting untuk
mengoptimalkan terapi dari semua aspek dari penyakit Parkinson. Misalnya, untuk mengatasi
sialorea, salah 1 gangguan otonom yang sering dialami pasien Parkinson, dapat diberikan
antikolinergik, seperti triheksifenidil untuk mengurangi volume air liur dan juga memperbaiki
gerakan motorik menelan. Pemberian levodopa yang optimal terbukti dapat memperbaiki gangguan
otonom, seperti urinary frequency.4,6
Dari beberapa penelitian, didapatkan beberapa faktor yang dapat mempengaruhi gangguan
otonom pada pasien Parkinson. Faktor tersebut adalah usia, jenis kelamin, durasi penyakit
Parkinson, keparahan penyakit Parkinson, penggunaan terapi anti Parkinson, ataupun obat-obat
lainnya. Gangguan otonom lebih banyak didapatkan pada pasien Parkinson berusia tua (>60 tahun),
berjenis kelamin lelaki, memiliki durasi penyakit yang lebih lama, dan berada pada stadium Hoehn
& Yahr yang lebih tinggi. Sampai saat ini masih diperdebatkan apakah penggunaan levodopa
berhubungan dengan gangguan otonom. obat antidepresan, antihipertensi, dan antikolinergik dari
literatur dikatakan dapat berpotensi mengganggu fungsi otonom.11-13
Dalam menilai sistem saraf otonom, dapat dilakukan pemeriksaan yang spesifik untuk
sistem saraf otonom, seperti tes denyut jantung kardiovagal, tes keringat termoregulasi, dan
sympathetic skin response (SSR). Tes sistem saraf otonom yang ideal adalah tes yang sederhana,
aman, noninvasif, sensitif, spesifik, dan dapat direproduksi. Informasi yang didapat dari tes
pemeriksaan otonom menjadi sangat berguna ketika anamnesis dan pemeriksaan fisik digunakan
untuk memilih tes otonom mana yang akan digunakan. Walau banyak tes yang mudah untuk
dilakukan, interpretasi dari hasil tes tersebut menjadi cukup rumit karena adanya kompleksitas jaras
yang terlibat dan banyaknya faktor yang mempengaruhi respons otonom tersebut. Biasanya
Artikel Penelitian
diperlukan hasil yang abnormal dari beberapa tes untuk dapat mendiagnosis adanya kegagalan
otonom. Akan tetapi, hasil tes yang abnormal tidak selalu menggambarkan adanya keluhan
gangguan otonom. Ketika memeriksa refleks otonom, stimulus yang diberikan harus benar-benar
cukup untuk dapat mengaktivasi aferen lengkung refleks dan target organ. Hasil dari tes otonom
sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor, maka protokol harus benar dipatuhi. Respons otonom
dapat berubah bergantung pada keadaan emosional seseorang, postur tubuh saat tes dilakukan,
derajat hidrasi, kebugaran fisik, dan berbagai faktor lainnya seperti mengkonsumsi minuman yang
mengandung stimulant, dan obat-obatan.7
Oleh karena rumitnya pemeriksaan tes otonom, maka banyak digunakan kuesioner
penyaring untuk membantu untuk mengidentifikasi masalah gangguan otonom. Terdapat beberapa
kuesioner yang dapat digunakan untuk mendeteksi gangguan otonom pada pasien Parkinson, yaitu
SCOPA-AUT, Non Motor Symptom Scale (NMSS), Autonomic Dysfunction Score (ADS), dan Non
Motor Symptoms Questionnaire for Parkinson’s Disease (NMS Quest). Sementara ini hanya
SCOPA-AUT yang spesifik mendeteksi gangguan otonom pada pasien Parkinson dan sudah
divalidasi secara internasional maupun di Indonesia. SCOPA-AUT terdiri dari 25 pertanyaan
mengenai gangguan otonom, sedangkan ADS hanya terdiri dari 9 pertanyaan mengenai masalah
otonom dan tidak spesifik untuk penyakit Parkinson saja. NMS Quest maupun NMSS berisi
pertanyaan-pertanyaan tentang gangguan nonmotorik yang dialami pasien Parkinson dan tidak
spesifik hanya untuk gangguan otonom.8-10
Banyak penelitian sudah dilakukan dalam menilai gangguan otonom pada penyakit
Parkinson. Di Jerman, Wullner dkk9 yang meneliti 3414 pasien Parkinson dengan menggunakan
kuesioner NMS, mendapatkan gangguan otonom berupa hipotensi ortostatik pada 10-11% pasien,
gangguan berkemih pada 21-22% pasien, serta gangguan seks pada 30% pasien pria dan 8% pasien
wanita. Verbaan dkk5 di Belanda, dengan kuesioner SCOPA-AUT, mendapatkan bahwa pasien
Parkinson memiliki gangguan otonom yang lebih sering dibandingkan kontrol, terutama pada
gangguan gastrointestinal dan urologi. Di Indonesia, sampai sekarang belum ada penelitian yang
memperlihatkan gambaran gangguan otonom pada pasien Parkinson.
Penelitian ini bertujuan untuk melihat gambaran gangguan otonom pada pasien Parkinson
dan kaitan antara usia, jenis kelamin, durasi sakit, keparahan penyakit, penggunaan terapi levodopa,
atau obat lainnya dengan terjadinya gangguan otonom. Hasilnya diharapkan dapat meningkatkan
kesadaran dokter, pasien Parkinson serta pendampingnya dalam mendeteksi dini gangguan otonom
yang ada, sehingga dapat meningkatkan kualitas hidup pasien Parkinson dengan memberikan terapi
yang sesuai.
METODE
Penelitian ini dilakukan menggunakan disain survei potong lintang setelah mendapat
persetujuan komite etik, dengan pengambilan sampel secara total sampling. Sampel penelitian
adalah pasien yang sudah didiagnosis sebagai penyakit Parkinson yang datang berobat ke Poliklinik
Saraf RSCM dan RSUP Fatmawati dengan usia 40-80 tahun, dan bersedia diikutsertakan dalam
penelitian. Kriteria eksklusi pasien dengan riwayat stroke, cedera kepala, infeksi intrakranial,
diabetes mellitus, atau hiperplasia prostat, serta tidak bisa berbahasa Indonesia. Semua subjek
dilakukan anamnesis tentang riwayat penyakit, dilanjutkan pemeriksaan Hoehn-Yahr serta SCOPA-
AUT INA. Data yang diperoleh dianalisis dengan statistik SPSS 17.0.
HASIL
Karakteristik Subjek Penelitian
Telah dilakukan penelitian terhadap 54 pasien Parkinson yang berobat di poliklinik
neurologi RSCM dan RSUP Fatmawati pada April sampai Juni 2012. Sebaran karakteristik
Artikel Penelitian
demografik subjek berusia antara 45-79 tahun dengan median usia 65 tahun (Tabel 1). Sebagian
besar subjek penelitian pria (61,1%), dengan usia 61-70 tahun (42,6%), dan tingkat pendidikan
sedang (53,7%).
Subjek penelitian ini memiliki median durasi penyakit selama 3 tahun (1-16 tahun).
Sebagian besar pasien memiliki durasi sakit <5 tahun (63%), dan keparahan penyakit Parkinson
berada pada stadium awal, yaitu stadium Hoehn & Yahr 1-2 (63%). Terapi Parkinson yang paling
banyak digunakan adalah terapi kombinasi, yaitu gabungan antara levodopa dengan agonis dopamin
(79,6%). Sebagian besar pasien (55,5%) juga mengkonsumsi obat selain obat Parkinson, terutama
antihipertensi.
Karakteristik Gangguan Otonom Subjek Penelitian
Pada penelitian ini, semua pasien Parkinson mengeluhkan minimal 1 gangguan otonom
(Tabel 2). Gangguan otonom terbanyak yang dialami oleh keseluruhan pasien Parkinson adalah
masalah urologi berupa nokturia (79,6%) dan urinary frequency (57,3%), serta masalah
gastrointestinal, yaitu sialorea (51,9%) dan mengejan kuat saat buang air besar (50%).
Artikel Penelitian
Tabel 2. Distribusi Gangguan Otonom pada Pasien Parkinson Berdasarkan Jenis Kelamin dan Usia*
Tabel 3. Distribusi Gangguan Otonom Berdasarkan Durasi dan Keparahan Derajat Penyakit*
Durasi penyakit Keparahan penyakit
Gejala Otonom <5 tahun ≥5 tahun H&Y 1-2 H&Y 3 H&Y 4-5
(n= 34) (n=20) (n=34) (n=13) (n=7)
Masalah Gastrointestinal
- Tersedak 8,8% 30% 8,8% 23,1% 42,9%
Artikel Penelitian
Pada penelitian ini, tidak terdapat perbedaan gangguan otonom yang mencolok antara pria
dan wanita, kecuali sialorea dan hiperhidrosis siang. Seluruh pasien wanita menjawab tidak relevan
terhadap pertanyaan mengenai masalah seksualitas, seperti kesulitan mencapai kepuasan. Terlihat
pula adanya kecenderungan gangguan otonom yang meningkat pada pasien Parkinson dengan usia
yang lebih tua, durasi penyakit yang lama, dan derajat penyakit yang berat (Tabel 2 dan 3). Selain
itu, ditemukan pula bahwa kelompok pasien yang mendapatkan terapi levodopa, tanpa agonis
dopamin, lebih banyak mengalami gangguan otonom daripada yang mendapatkan terapi agonis
dopamin ataupun terapi kombinasi (levodopa dikombinasi dengan agonis dopamin), khususnya
pada masalah gastrointestinal, dan kardiovaskular (Tabel 4). Pada penelitian ini, 63% pasien
Parkinson mendapat obat lain selain levodopa/agonis dopamin, seperti antihipertensi,
antikolinergik, dan antidepresan. Persentase gangguan otonom yang dialami oleh kelompok pasien
yang mendapat terapi antihipertensi cenderung tidak berbeda dengan yang mendapat antikolinergik
(Tabel 4).
Artikel Penelitian
Artikel Penelitian
Artikel Penelitian
Eeden dkk12 menyatakan bahwa prevalensi penyakit Parkinson pada etnis Asia cenderung lebih
rendah daripada etnis Kaukasia. Hingga saat ini, belum ada data mengenai prevalensi penyakit
Parkinson di Indonesia.
Pada penelitian ini, jumlah pasien pada kelompok usia 40-50 tahun hanya 2 orang, karena
itu digabungkan dengan kelompok usia 51-60 tahun agar dapat dibandingkan secara statistik. Dari
keseluruhan 54 pasien penelitian, mayoritas berusia antara 61-70 tahun dan kelompok usia 40-50
tahun adalah yang paling sedikit. Hal ini sesuai dengan literatur yang menyatakan bahwa onset
penyakit Parkinson sebelum usia 50 tahun sangat jarang, tapi terjadi peningkatan insiden yang tajam
diatas usia 60 tahun. Penelitian Sukoandari di RSCM pada tahun 2006 mendapatkan 42 subjek
dengan usia terbanyak pada kelompok 61-70 tahun.2 Prevalensi penyakit Parkinson sebesar 1%
pada usia 60 tahun ke atas, dan hanya sebesar 0,3% pada keseluruhan populasi.11 Penelitian lain
juga menyatakan insiden penyakit Parkinson secara cepat meningkat mulai usia 60 tahun ke atas,
dan hanya 4% kasus yang muncul sebelum usia 50 tahun.12
Sebagian besar pasien penelitian merupakan pria (64%). Hal ini sesuai dengan penelitian-
penelitian sebelumnya yang mendapatkan prevalensi penyakit Parkinson lebih tinggi pada pria.
Penelitian Basli pada tahun 2010 di RSCM mendapatkan 68% subjek adalah pria.3 Eeden dkk
mendapatkan bahwa tingkat insiden penyakit Parkinson pada pria 91% lebih tinggi dibandingkan
pada wanita.12 Efek neuroprotektif estrogen merupakan alasan mengapa wanita memiliki prevalensi
yang lebih rendah untuk mengalami penyakit Parkinson daripada pria, tetapi hal tersebut masih
kontroversial.13 Penelitian intervensional yang dilakukan oleh Curie dkk14 mendapatkan bahwa
pada kerusakan astrosit dan microglia bervariasi bergantung pada status estrogen, dengan
konsekuensi langsung terhadap survival, dan pemulihan dari neuron dopaminergik. Estrogen
berfungsi untuk melindungi sistem sel saraf termasuk neuron dopaminergik dari stress oksidatif dan
neuroinflamasi.15
Jika dibandingkan dengan penelitian SCOPA-AUT sebelumnya di Indonesia yang
dilakukan oleh Basli,3 terlihat adanya kemiripan dalam karakter demografis pasien terbanyak yaitu
pria usia 61-70 tahun dengan tingkat pendidikan yang sedang, serta proporsi pria lebih dominan dari
pada wanita. Penelitian ini juga menemukan perbedaan proporsi pasien berdasarkan tingkat
pendidikan dibanding penelitian sebelumnya. Pada penelitian ini, pasien berpendidikan sedang lebih
banyak (53,7% vs 40%), dan berpendidikan rendah lebih sedikit (20,4% vs 28%), dimungkinkan
karena perbedaan lokasi dan waktu pengambilan sampel.
Artikel Penelitian
pada penelitian ini diduga karena adanya batasan penggunaan levodopa dan agonis dopamin yang
dapat ditanggung oleh asuransi kesehatan yang dimiliki oleh sebagian besar pasien. Perbaikan klinis
yang kurang memuaskan bila pasien hanya menggunakan terapi tunggal hingga dosis maksimal
yang dapat ditanggung oleh asuransi kesehatan diduga menjadi alasan kenapa pasien-pasien
Parkinson pada penelitian ini mendapat terapi kombinasi.
Sebagian besar pasien mengkonsumsi obat lain selain obat Parkinson. Pada penelitian ini,
obat yang terbanyak digunakan selain obat Parkinson adalah antihipertensi (46,3%). Riset kesehatan
dasar (RISKESDAS) tahun 2007 yang diselenggarakan Kementerian Kesehatan melaporkan bahwa
prevalensi hipertensi di Indonesia sangat tinggi, yaitu 31,7% dari total penduduk dewasa.18 Menurut
berbagai kepustakaan, prevalensi hipertensi ditemukan lebih tinggi pada lansia. Tingginya
prevalensi hipertensi pada penelitian ini berhubungan dengan banyaknya pasien yang sudah lanjut
usia (lansia).
Karakteristik Gangguan Otonom pada Subjek Penelitian
Penelitian ini mengkonfirmasikan bahwa gangguan otonom merupakan aspek penting
dalam penyakit Parkinson yang sudah dapat ditemukan sejak stadium awal penyakit. Penelitian ini
menemukan bahwa gangguan otonom cenderung didapatkan lebih banyak pada pasien yang berusia
lebih tua, berada pada stadium akhir penyakit dan memiliki durasi penyakit yang lebih lama.
Dari penelitian ini, semua pasien mengalami gangguan otonom yang bentuknya berbeda-
beda. Gangguan otonom yang paling sering dialami adalah gangguan urologi khususnya nokturia
(79,6%) dan urinary frequency (57,3%). Hasil ini serupa dengan hasil yang didapat oleh Martinez-
Martin dkk8 yang menggunakan kuesioner NMSQuest. Begitu pula dengan hasil yang didapat oleh
Siddiqui dkk, Araki dkk, Campos-Sousa dkk, dan Winge dkk.19-22
Pada lansia, gangguan otonom yang paling sering ditemukan adalah nokturia dan urinary
frequency yang ditemukan lebih tinggi pada pasien Parkinson, diabetes mellitus, dan hipertensi.
Van Dijk dkk meneliti prevalensi nokturia pada populasi umum di Belanda. Dari 2506 orang yang
diwawancara, didapatkan bahwa prevalensi nokturia sebesar 22% pada pria berusia 55-74 tahun
dan 43% pada wanita dari kelompok usia yang sama.23 Sementara pada penelitian oleh Hsieh dkk
didapatkan prevalensi urinary frequency pada wanita berusia lebih dari 60 tahun di Taiwan adalah
sebesar 18,8%.24
Pada lansia, nokturia dan urinary frequency terjadi akibat proses penuaan. Seiring dengan
peningkatan usia, akan terjadi penurunan elastisitas jaringan kandungan kemih dan penurunan
kekuatan otot dinding kandung kemih. Kedua hal tersebut akan menyebabkan penurunan kapasitas
kandung kemih, penurunan kecepatan aliran berkemih, penurunan kemampuan untuk menunda
berkemih dan meningkatnya volume urin residu pasca berkemih.25
Pada penyakit Parkinson, terdapat proses degenerasi neuron dopaminergik yang
menyebabkan berkurangnya kadar dopamin. Neuron dopaminergik bekerja mengontrol proses miksi
dengan cara mengirim impuls inhibisi ke pusat miksi di pons. Rendahnya kadar dopamin
menyebabkan inhibisi proses miksi berkurang sehingga muncul gejala bladder overactivity
(nokturia, urinary frequency, dan urinary urgency) pada pasien Parkinson. Selain itu, telah
dilaporkan juga adanya gangguan ritme sirkadian arginin vasopresin yang menyebabkan kadar
ADH menjadi rendah pada malam hari dan menyebabkan nokturia.26
Sialorea adalah keluhan ketiga terbanyak (51,9%) pada penelitian ini. Verbaan dkk dan
Siddiqui dkk juga mendapatkan hasil yang serupa, yaitu sialorea dialami oleh lebih dari 50% pasien
Parkinson dan sialorea merupakan keluhan gastrointestinal terbanyak.5,19 Saliva yang berlebih pada
pasien Parkinson tidak disebabkan oleh meningkatnya produksi saliva. Akumulasi saliva terjadi
karena berkurangnya frekuensi dan efisiensi gerakan menelan pada pasien Parkinson.
Pada penelitian ini, sebagian pasien (50%) mengeluh mengejan kuat saat buang air besar.
Verbaan dkk dan Martinez-Martin dkk juga mendapatkan bahwa mengejan kuat saat buang air besar
Artikel Penelitian
merupakan keluhan gastrointestinal kedua terbanyak setelah sialorea, dengan persentase yang
serupa dengan yang didapat pada penelitian ini.5,8 Selama defekasi, normalnya otot dinding usus
mendorong feses ke anus. Pada pasien Parkinson, rigiditas dan bradikinesia juga dialami oleh usus,
sehingga feses di dalam kolon menjadi bergerak lambat. Pergerakan feses yang memerlukan waktu
yang lebih lama menyebabkan kandungan cairan dalam feses berkurang dan feses menjadi lebih
keras, sehingga pasien harus kuat mengejan.27 Selain itu, untuk defekasi yang baik dibutuhkan
kontraksi otot dinding perut dan rektum, serta relaksasi otot pelvis. Kurangnya koordinasi antara
otot-otot tersebut juga menyebabkan pasien Parkinson mengejan kuat saat defekasi.6
Tidak ada pasien yang mengeluhkan inkontinensia feses pada penelitian ini. Inkontinensia
feses umumnya merupakan gejala dari demensia berat pada tahap akhir penyakit Parkinson.28 Pada
penelitian ini, walaupun tidak dilakukan pemeriksaan fungsi kognitif secara khusus, dapat
disimpulkan bahwa tidak ada pasien penelitian yang mengalami demensia berat. Hal ini dapat
menjelaskan kenapa pada penelitian ini tidak ada pasien yang mengalami inkontinensia feses.
Dari literatur dikatakan bahwa hipotensi ortostatik pada pasien Parkinson disebabkan
karena denervasi simpatis. Berkurangnya serabut saraf simpatis postganglion di jantung
menyebabkan hipotensi ortostatik pada pasien Parkinson.29 Pada penelitian ini, 38,2% pasien
mengeluh pusing saat perubahan posisi ke berdiri dan 44,1% pasien mengeluh pusing saat berdiri
lama. Keluhan pusing tersebut merupakan gejala dari hipotensi ortostatik. Sedangkan jatuh pingsan
pada pasien Parkinson terutama disebabkan oleh gangguan hipotensi ortostatik yang berat.6 Pada
penelitian ini, tidak ada pasien yang mengalami jatuh pingsan. Temuan ini serupa dengan hasil dari
berbagai penelitian sebelumnya.5,8 Dari hal tersebut, dapat diasumsikan bahwa gangguan otonom
kardiovaskular pada pasien Parkinson bukanlah yang berderajat berat seperti yang dialami pada
penyakit multiple system atrophy.
Pada penelitian ini, 22,2% pasien mengeluh silau jika melihat cahaya terang. Hasil yang
serupa juga didapat oleh Korchounov dkk.10 Masalah pupilomotor ini disebabkan adanya gangguan
parasimpatis yang mengatur kontriksi pupil saat melihat cahaya terang. Kang dkk30 mendapatkan
bahwa pasien Parkinson memiliki kecepatan kontriksi pupil yang lebih lambat dibandingkan
kontrol. Hal ini disebabkan oleh karena adanya proses degenerasi (neuron loss dan munculnya
badan Lewy) pada sistem parasimpatis dari nucleus Edinger Westphal.31
Gangguan otonom termoregulasi yang terbanyak dialami oleh pasien Parkinson pada
penelitian ini adalah hiperhidrosis. Schestatsky dkk.32 menemukan bahwa hiperhidrosis pada pasien
Parkinson terjadi bersamaan dengan menurunnya aktivitas kelenjar keringat di telapak tangan. Oleh
karena itu disimpulkan bahwa hiperhidrosis pada wajah, leher, dan badan dapat merupakan
mekanisme kompensasi dari berkurangnya fungsi sistem saraf simpatis pada ekstremitas.32
Gangguan otonom pada pasien pria dan wanita secara keseluruhan tidak berbeda. Perbedaan
frekuensi gangguan otonom antara pria dan wanita yang mencolok ditemukan untuk keluhan
sialorea dan hiperhidrosis saat siang. Pada penelitian ini, sialorea ditemukan lebih banyak pada pria
(63,6% vs 33,3%), begitupula dengan hiperhidrosis saat siang (30,3% vs 4,8%). Belum ada
penelitian sebelumnya yang meneliti frekuensi sialorea dan hiperhidrosis saat siang pada pasien
Parkinson berdasarkan jenis kelamin, sehingga temuan dari penelitian ini tidak dapat dibandingkan.
Penyebab dari perbedaan frekuensi ini belum diketahui tetapi kemungkinan berhubungan dengan
faktor hormonal.
Pada penelitian ini, pasien pria lebih sering mengalami kesulitan untuk mengalami atau
mempertahankan ereksi daripada kesulitan untuk ejakulasi. Bagi sebagian pasien pria, gangguan
seksual merupakan hal yang penting. Bahkan ada 2 pasien pria yang menggunakan obat khusus
(contoh: sildenafil) untuk mengatasi gangguan seksual tersebut. Tingginya frekuensi kesulitan
untuk mengalami ereksi pada pria dengan penyakit Parkinson pada penelitian ini serupa dengan
hasil yang didapatkan Visser dkk dan Verbaan dkk.5,33 Proses ereksi bermula dari input
somatosensorik genitalia atau input visual erotis yang ditangkap retina. Kedua jenis input tersebut
Artikel Penelitian
SARAN
Artikel Penelitian
Dapat dilakukan penelitian serupa untuk melihat gambaran gangguan otonom pada pasien
Parkinson dalam skala yang lebih besar dan menggunakan penilaian yang lebih objektif dalam
menerapkan kriteria eksklusi, yaitu dengan pemeriksaan neuroimaging, gula darah, dan rectal
touche. Dengan ditemukannya gangguan otonom pada semua pasien Parkinson, bahkan sejak
stadium awal penyakit, maka diperlukan tatalaksana komprehensif untuk setiap gangguan otonom
tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
1. Lonneke ML, Breteler MMB. Epidemiology of parkinson’s disease. Lancet Neurol. 2006;5:525-535.
2. Sukoandari B. Skala fungsional penyakit parkinson dengan mempergunakan skala penilaian terpadu di
RS cipto mangunkusumo jakarta. [Tesis]. Jakarta: Univ. Indonesia; 2006.
3. Basli. Uji validitas dan reliabilitas SCOPA-AUT untuk menilai gangguan fungsi otonom pada penyakit
parkinson. [Tesis]. Jakarta: Univ. Indonesia;2010.
4. Ferrer I. Neuropathology and neurochemistry of nonmotor symptoms in Parkinson’s disease: Review
article. Parkinsons Dis. 2011:708404.
5. Verbaan D, Marinus J, Visser M, van Rooden SM, Stiggelbout AM, van Hilten JJ. Patient-reported
autonomic symptoms in parkinson disease. Neurology. 2007;69:333-41.
6. Pfeiffer RF, Wollner IB. Parkinson’s disease and nonmotor dysfunctiom. New Jersey: Humana Press;
2005.
7. Sandroni P. Testing the autonomic nervous system. International association for the study of pain. 1998.
8. Martinez-Martin P, Schapira AHV, Stocchi F, Sethi K, MacPhee, Brown RG, dkk. Prevalence of
nonmotor symptoms in Parkinson’s disease in an international setting: study using nonmotor symptoms
questionnaire in 545 patients. Mov Disord. 2007;22(11):1623-9.
9. Wullner U, Schmitz-Hubsch T, Antony G, Fimmers R, Spottke A, Oertel H, dkk. Autonomic
dysfunction in 3414 Parkinson’s disease patients enrolled (KNP eV): the effect of ageing. Eur J Neurol.
2007:14;1405-8.
10. Korchounov A, Kessler KR, Yakhno NN, Damulin IG, Schipper HI. Determinants of autonomic
dysfunction in idiopathic Parkinson’s disease. J Neurol. 2005;252:1530-6.
11. de Lau LM, Breteler MM. Epidemiology of parkinson’s disease. Lancet Neurol. 2006;5:525-35.
12. Van Den Eeden SK, Tanner CM, Bernstein AL, Fross RD, Leimpeter A, Bloch DA, dkk. Incidence of
parkinson’s disease: variation by age, gender and race/ethnicity. Am J Epidemiol. 2003;157(11):1015-
22.
13. Angoa-Perez M, Jiang H, Rodriguez AI, Lemini C, Levini RA, Rivas-Arancibia S. Estrogen counteracts
ozone-induced oxidative stress and nigral neuronal death. Neuroreport. 2006;17(6):629-33.
14. Curie LJ, Harrison MB, Trugman JM, Bennett JP, Wooten GF. Postmenopausal estrogen use affects risk
for parkinson disease. Arch Neurol. 2004;61(6): 886-8.
15. Saunders-Pullman R, Gordon-Elliot J, Fahn S, Saunders HR, Bressman S. The effect of estrogen
replacement on early parkinson’s disease. Neurology, 1999;52:1417-21.
16. Zhao YJ, Wee HL, Chan YH, Seah SH, Au WL, Lau PN, dkk. Progression of parkinson's disease as
evaluated by hoehn and yahr stage transition times. Mov Disord. 2010;25(6):710-6.
17. Joesoef AA, Agoes A, Purnomo H, Dalhar M, Samino. Konsensus tatalaksana penyakit parkinson.
Jakarta: perdossi; 2001
18. Rahajeng E, Tuminah S. Prevalensi hipertensi dan determinannya di Indonesia. Majalah Kedokteran
Indonesia. 2009;59(12);580-7.
19. Siddiqui MF, Rast S, Lynn MJ, Auchus AP, Pfeiffer RF. Autonomic dysfunction in parkinson’s disease:
a comprehensive symptom survey. Parkinsonism relat disord. 2002;8:277-84.
20. Araki I, Kuno S. Assessment of voiding dysfunction in parkinson’s disease by the international prostate
symptom score. J Neurol Neurosurg Psychiatry. 2000;68:429-33.
21. Campos-Sousa RN, Quagliato E, Silva BB, de Carvalho RM, Ribeiro SC, de Carvalho DF. Urinary
symptoms in parkinson’s disease: prevalence and associated factors. Arq Neuropsiquiatr. 2003;61:359-
63.
22. Winge K, Skau AM, Stimpel H, Nielsen KK, Werdelin L. Prevalence of bladder dysfunction in
parkinson’s disease. Neurourol Urodyn. 2006;25:116-22.
Artikel Penelitian
23. Van Dijk L, Kooij DG, Schellevis FG. Nocturia in the dutch adult population. BJU Int. 2002;90:644-8.
24. Hsieh CH, Chang WC, Hsu MI, Lee MC, Lee MS, Chiang HS, dkk. Prevalence of urinary frequency
among women aged 60 years and older in taiwan. Taiwan J Obstet Gynecol. 2009;48(4):385-8.
25. Varilla V, Samala RV, Galindo D, Ciocon J. Nocturia in the elderly: a wake up call. Cleve Clin J Med.
2011;78:757-64
26. Sakakibara R, Uchiyama T, Yamanishi T, Kishi M. Genitourinary dysfunction in parkinson’s disease.
Mov Disord. 2010;25(1):2-12.
27. Liebermen A. Shaking up Parkinson disease: fighting like a tiger, thinking like a fox. United Kingdom:
Jones and Bartlett Publishers International; 2002.
28. Natsume O, Kaneko Y, Hirayama A, Fujimoto K, Hirao Y. Fluid control in elderly patients with
nocturia. Int J Urol. 2009;16(3):307-13.
29. Braune S, Reinhardt M, Schnitzer R, Riedel A, Lucking CH. Cardiac uptake of MIBG separates
Parkinson’s disease from multiple sistem atrophy. Neurology; 1999;53(5):1020-5.
30. Kang P, Kloke J, Jain S. Olfactory dysfunction and parasympathetic dysautonomia in parkinson’s
disease. Clin Auton Res. 2012;22(4):161-6.
31. Hunter S. The rostral mesencephalon in parkinson’s disease and alzheimer’s disease. Acta Neropathol.
1985;68(1):53-8.
32. Schestatsky P, Valls-Solé J, Ehlers JA, Rieder CR, Gomes I. Hyperhidrosis in parkinson’s disease. Mov
disord. 2006.21:1744-8.
33. Visser M, Marinus J, Stiggelbout AM, Van Hilten JJ. Assessment of autonomic dysfunction in
parkinson’s disease: The SCOPA-AUT. Mov Disord. 2004. 19;11:1306-12.
34. Guiliano F, Allard J. Dopamine and sexual function. Int J Impot Res. 2001;3;18-28.
35. Gold EB, Bromberger J, Crawford S, Samuels S, Greendale GA, Harlow SD, dkk. Factors associated
with age at natural menopause in a multiethnic sample of midlife women. Am J Epidemiology. 2001;153
(9):865-74.
36. Edwards L, Quigley EMM, Hofman R, Pfeiffner RF. Gastrointestinal symptoms in parkinson’s disease:
18 month follow-up study. Mov disord. 1993;8;1:83-6.