Hutan Mangrove Dan Peranannya Dalam Melindungi Ekosistem Pantai

Download as pdf or txt
Download as pdf or txt
You are on page 1of 9

See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.

net/publication/321155487

Hutan Mangrove dan Pernannya dalam Melindungi Ekosistem Pantai


(Mangrove Forest and its Role in Protection of Coastal Ecosystem)

Conference Paper · January 2007

CITATION READS

1 9,583

2 authors, including:

Tri Atmoko
Forestry Research and Development Agency
70 PUBLICATIONS   39 CITATIONS   

SEE PROFILE

Some of the authors of this publication are also working on these related projects:

Penelitian Pola Sebaran dan Hereditas Pohon Induk pada Sumber Benih Dipterokarpa View project

Penelitian Teknologi Konservasi dan Restorasi Habitat Satwa Langka Prioritas Kalimantan (Orangutan, Bekantan, Badak) View project

All content following this page was uploaded by Tri Atmoko on 19 November 2017.

The user has requested enhancement of the downloaded file.


Makalah Penunjang

HUTAN MANGROVE DAN PERANANNYA DALAM MELINDUNGI


EKOSISTEM PANTAI
(Mangrove Forest and its Role in Protection of Coastal Ecosystem)

Oleh/by:
Tri Atmoko1 dan/and Kade Sidiyasa11

ABSTRACT

Indonesia is an archipelago country which has the longest coastal-line in the world. The
mangrove ecosystem that widespread in the coastal area of Indonesia has an important resources
and a high productivity. Due to the high salinity and influence of the rise and fall of the tides
caused mangrove species can adapt in various ways such as by pneumatophores system, zonation
of the habitat and the reproduction. Rooting system of the mangrove species which is very specific
plays an important role in protecting the coastal area. Its function i.e. to protect the coastal-line
from storm, wave and wind, to stabilize the coastal-line from abrasion, to produce organic
substances, spawning ground, wild life habitat and carbon absorbtion.
Key word: mangrove forest, coastal ecosystem

ABSTRAK

Indonesia adalah negara kepulauan dengan garis pantai terpanjang di dunia. Ekosistem mangrove
yang menyebar di pantai Indonesia memiliki sumber daya pesisir dan produktifitas tinggi. Salinitas
yang tinggi dan pengaruh pasang surut air laut menyebabkan jenis mangrove beradaptasi dengan
berbagai cara, diantaranya dengan akar nafas, sistem zonasi tempat tumbuh dan cara bereproduksi.
Sistem perakaran pada jenis-jenis penyusun hutan mangrove yang khas berperan penting bagi
perlindungan daerah pantai. Fungsi perlindungannya diantaranya adalah sebagai penahan badai
dan tiupan angin laut, menjaga garis pantai dari abrasi, pemasok bahan organik, tempat siklus ikan,
habitat fauna dan menyerap karbon.
Kata kunci: hutan mangrove, ekosistem pantai

I. PENDAHULUAN

Hutan Mangrove merupakan vegetasi khas daerah tropis dan sub-tropis yang
dijumpai di tepi sungai, muara sungai dan tepi pantai yang dipengaruhi oleh pasang surut
air laut. Dengan kata lain bahwa mangrove termasuk vegetasi halofita (halophytic
vegetation) yaitu vegetasi yang hanya terdapat pada tempat-tempat yang tanahnya berkadar
garam tinggi.
Istilah mangrove sering juga disebut bakau yang merupakan jenis dari marga
Rhizophora sebagai individu. Dalam hubungannya mangrove sebagai vegetasi dimana
faktor biotik dan abiotik saling berhubungan dan saling ketergantungan maka mangrove
lebih mengarah pada suatu ekosistem. Ekosistem mangrove adalah ekosistem unik karena
terdapat pada daerah peralihan (ekoton) antara ekosistem darat dan laut yang mempunyai
kaitan erat di antara keduannya.
Hutan mangrove memberikan peranan yang besar terhadap siklus kehidupan biota
laut dan berfungsi sebagai pelindung daratan yang ada di belakangnya. Noor et al. (1999)
menyebutkan bahwa Indonesia memiliki hutan mangrove seluas 4,5 juta ha dan merupakan
hutan mangrove terbesar di dunia. Namun karena dikonversi menjadi lahan tambak,
pertanian, eksploitasi untuk tujuan komersial dan erosi pantai, maka luasnya tinggal 60%

1 Peneliti pada Loka Litbang Satwa Primata


92 Prosiding Seminar Pemanfaatan HHBK dan Konservasi Biodiversitas menuju Hutan Lestari,
Balikpapan 31 Januari 2007
Makalah Penunjang

dari luas awal. Konversi lahan terbesar adalah berubah menjadi areal tambak yakni
sebesar 22%. Tulisan ini bertujuan untuk memberikan informasi terhadap hutan
mangrove, termasuk peranannya dalam melindungi pantai beserta ekosistemnya.

II. KONDISI FISIK HUTAN MANGROVE

A. Penyebaran

Penyebaran hutan mangrove di dunia secara umum terdapat di antara 35o LU di Asia
dan 35o LS di Afrika, Australia dan New Zealand. Di Asia Tenggara diantaranya terdapat
di Thailand, Malaysia, Singapura, Filipina dan Indonesia, yakni pada daerah-daerah yang
mempunyai curah hujan yang tinggi (bukan musiman) (Supriharyono, 2002). Di Indonesia
sendiri hutan mangrove tumbuh hampir di seluruh propinsi dengan luasan yang berbeda,
terluas terdapat di Irian Jaya yakni 2.943.000 ha (Direktorat Bina Program Kehutanan,
1980; Darsidi, 1984).
Noor et al. (1999) menyatakan bahwa luas hutan mangrove di seluruh dunia adalah
18,1 juta ha, 4,5 juta ha diantaranya berada di Indonesia. Disebutkan pula bahwa khusus
untuk di Indonesia data luasan ini berbeda-beda dari satu sumber ke sumber lainnya.
Perbedaan data tersebut bahkan cukup mencolok antara 2,49 juta ha hingga 4,54 juta ha.

B. Zonasi dan Vegetasi

Ekosistem mangrove secara umum tersusun atas zonasi-zonasi vegetasi mulai dari
pantai menuju ke arah daratan. Pola zonasi tersebut erat kaitannya dengan kondisi ekologi
terutama yang berhubungan dengan kemampuan hidup jenis tumbuhan penyusunnya
terhadap berbagai tingkat salinitas, suhu, sedimentasi, terjangan ombak, lamanya periode
pasang surut air laut dan pasokan air tawar dari darat. Oleh karena itu karakteristiknya
bervariasi pada lokasi yang berbeda, dapat saling tumpang tindih antar zona atau bahkan
dapat terjadi pengurangan zona akibat kondisi ketidak normalan beberapa faktor penunjang
pertumbuhan. Pada umumnya tebal atau lebar zona mangrove jarang melebihi 4 km,
kecuali pada beberapa daerah sekitar muara serta teluk yang dangkal dan tertutup (Noor et
al., 1999). Di daerah seperti ini lebar hutan mangrove dapat mencapai 18 km seperti
dijumpai di sungai Sembilang, Sumatra Selatan atau lebih dari 30 km di teluk Bintuni,
Irian Jaya. Pada sungai-sungai besar, hutan mangrove dapat terbentuk hingga sejauh 240
km ke arah hulu, seperti dijumpai di sungai Kapuas, Kalimantan Barat (Whitmore, 1984;
MacKinnon et al., 1996). Jenis mangrove tumbuh dengan baik pada tanah berlumpur,
terutama tanah endapan lumpur terakumulasi.
Dalam hubungannya dengan zonasi pada hutan mangrove, Noor et al. (1999)
membaginya menjadi 4 zona yaitu:
1. Mangrove terbuka, yaitu kawasan mangrove yang berhadapan langsung dengan
laut. Di sini pada tempat-tempat yang tanahnya berpasir dan agak keras didominasi
oleh Sonneratia alba, sedangkan pada tanah berlumpur cenderung didominasi oleh
Avicenia marina dan Rhizophora mucronata (Steenis dalam Ding Hou, 1958).
Disebutkan pula bahwa Avicenia alba seringkali mendominasi vegetasi mangrove
pada tanah yang berlumpur (Nontji, 2002). Avicenia marina merupakan salah satu
jenis penyusun mangrove yang dapat bertahan pada tempat-tempat yang
bersalinitas hingga lebih dari 90o/oo (Supriharyono, 2002).
2. Mangrove tengah, adalah kawasan mangrove yang berada di belakang mangrove
terbuka dan terhindar dari hempasan gelombang. Di sini Rhizophora masih
Prosiding Seminar Pemanfaatan HHBK dan Konservasi Biodiversitas menuju Hutan Lestari, 93
Balikpapan 31 Januari 2007
Makalah Penunjang

mendominasi tempat-tempat yang berlumpur dengan perakaran terendam saat air


laut pasang (Arief, 2003). Di bagian dalam dari zona ini didominasi oleh jenis dari
marga Bruguiera yang dapat berkembang dengan baik pada salinitas kurang dari 25
o
/oo (Supriharyono, 2002). Jenis pohon lain yang juga sering dijumpai di sini
adalah Excoecaria agallocha dan Xylocarpus granatum.
3. Mangrove payau, terdapat di sepanjang tepi sungai yang berair payau sampai
hampir tawar. Jenis-jenis tumbuhan yang biasanya mendominasi vegetasi di daerah
ini antara lain adalah nipah (Nypa fruticans) dan jenis-jenis dari marga Sonneratia.
Jenis-jenis pohon lainnya adalah Cerbera manghas, Gluta velutina dan Xylocarpus
granatum.
4. Mangrove daratan, terletak di perairan payau (hampir tawar) di belakang jalur hijau
mangrove. Zona ini memiliki keanekaragaman yang lebih tinggi dari zona yang
lain karena berbatasan langsung dengan ekosistem darat. Jenis-jenis pohon yang
umum dijumpai antara lain adalah Lumnitzera racemosa, Intsia bijuga, Ficus
microcarpus, Heritiera littoralis, Nypa fruticans dan Pandanus spp.

C. Adaptasi

Dalam upaya menyesuaikan diri dengan lingkungannya yang ekstrim, maka jenis-
jenis tumbuhan penyusun mangrove cenderung beradaptasi dengan beberapa cara. Arief
(2003) menyatakan bahwa semua ciri morfologi dan anatomi pohon mangrove
mencerminkan kondisi pada posisi mempertahankan diri terhadap lingkungan yang
bersalinitas tinggi.
Kondisi tanah di hutan mangrove yang sering atau selalu tergenang menyebabkan
tanahnya menjadi anaerob. Untuk memenuhi kebutuhan akar akan oksigen, jenis-jenis
mangrove mengambilnya dari atmosfir melalui akar nafas. Akar nafas (pneumatophore)
adalah salah satu adaptasi mangrove terhadap kondisi tanah berlumpur atau tergenang,
yaitu bagian akar yang muncul ke permukaan tanah atau air. Selain berfungsi untuk
mengambil oksigen, bentuk perakaran mangrove juga berperan untuk menopang batang
agar pohon tetap tegak berdiri walaupun dihempas gelombang dan badai.
Secara umum sistem perakaran jenis-jenis tumbuhan pada hutan mangrove adalah:
1. Akar tunjang, yaitu akar yang mencuat dari batang (seringkali bercabang) ke
bawah dan masuk ke lumpur. Jenis Rhizophora mempunyai akar tunjang sampai
1 meter atau lebih di atas permukaan tanah. Akar tersebut mempunyai banyak
pori (lenticels) yang berfungsi untuk menyerap oksigen pada saat air surut dan
membawanya turun ke akar (Supriharyono, 2002).
2. Akar pasak, yaitu akar yang tumbuh terpencar horizontal di dalam tanah dengan
anak-anak akar muncul ke permukaan tanah atau lumpur dengan ketinggian
hingga 30 cm.
3. Akar lutut, yaitu akar yang muncul di permukaan dan melengkung seperti lutut,
tumbuhan yang mempunyai akar lutut adalah jenis-jenis dari marga Bruguiera.
Ceriops tidak memiliki sistem perakaran yang khusus, namun kulit batangnya
merupakan penyesuaian untuk pertukaran gas (MacKinnon et al., 1996).
Menghadapi salinitas yang tinggi, jenis-jenis tumbuhan mangrove memiliki banyak
jaringan internal penyimpan air dan konsentrasi garam yang tinggi. Pada beberapa jenis
mampu menyimpan kadar garam yang tinggi pada daun-daun tua, sehingga konsentrasi
garam pada daun muda akan berkurang. Kadar garam akan dikeluarkan dari pohon
bersamaan dengan gugurnya daun-daun tua.

94 Prosiding Seminar Pemanfaatan HHBK dan Konservasi Biodiversitas menuju Hutan Lestari,
Balikpapan 31 Januari 2007
Makalah Penunjang

Terbentuknya zonasi juga merupakan salah satu penyesuaian tempat tumbuh jenis
mangrove terhadap lingkungan pantai baik dari hempasan gelombang dan berbagai tingkat
salinitas. Jenis-jenis yang tahan terhadap hempasan gelombang yang kuat dan salinitas
tinggi akan dapat menempati zonasi terluar, sedangkan yang tidak tahan terhadap genangan
air laut akan berkembang ke arah darat.
Dalam hal reproduksi, jenis Rhyzophora, Bruguiera dan Ceriops melakukan
perkembangbiakan secara vivipar (Romimohtarto, 2001), yaitu biji dapat tumbuh menjadi
tumbuhan muda sewaktu masih melekat pada tumbuhan induknya sehingga saat jatuh ke
tanah sudah siap terhadap kondisi lingkungan dengan salinitas tinggi. Biji yang jatuh akan
langsung menancap dan tumbuh dalam substrat di bawah pohon induk atau terbawa arus ke
tempat lain.

III. PERLINDUNGAN TERHADAP EKOSISTEM PANTAI

A. Penahan Angin dan Badai

Angin laut umumnya sering berpengaruh terhadap kehidupan di tepi pantai, karena
tiupannya yang kencang dan kandungan garamnya tinggi. Keberadaan hutan mangrove
dapat sebagai penahan angin (win breaker) sehingga kecepatan dan kekuatan angin dapat
berkurang atau dibelokkan sebelum sampai ke permukiman penduduk. Pada pohon yang
ditanam cukup rapat dapat mengurangi kecepatan angin hingga 75-85 % dari kecepatan
awal (Fandeli, 2004). Tingkat efektifitas perlindungan tiupan angin oleh hutan mangrove
sangat ditentukan oleh berbagai faktor diantaranya oleh tinggi, strata tajuk dan kerapatan
pohon. Semakin tinggi pohon mangrove maka semakin luas kawasan dibelakangnya yang
dapat terlindungi. Selain itu hutan mangrove yang rapat dan tajuk yang lebat dapat
berperan sebagai filter sehingga partikel garam yang dibawa oleh angin laut dapat
berkurang. Hal ini penting karena partikel garam yang tinggi dengan cepat dapat merusak
barang-barang penduduk yang terbuat dari logam.
Tingkat toleransi beberapa jenis mangrove terhadap ombak dan tiupan angin tersaji
pada Tabel 1.

Tabel (Table) 1. Tingkat toleransi beberapa jenis mangrove terhadap ombak dan tiupan
angin (Tolerance level of several mangrove species to the wave and
wind)
Tingkat toleransi (Tolerance level)
Jenis Cukup toleran Sangat tidak
Toleran Tidak toleran
(species) (semi toleran
(tolerant) (intolerant)
tolerant) (most intolerant)
1. Rhizophora mucronata 
2. Rhizophora stylosa 
3. Rhizophora apiculata 
4. Bruguiera parviflora 
5. Bruguiera sexangula 
6. Bruguiera gymnorrhiza 
7. Sonneratia alba 
8. Sonneratia caseolaris 
9. Xylocarpus granatum 
10. Heritiera littoralis 
11. Lumnitzera littorea 
Prosiding Seminar Pemanfaatan HHBK dan Konservasi Biodiversitas menuju Hutan Lestari, 95
Balikpapan 31 Januari 2007
Makalah Penunjang

12. Cerbera manghas 


13. Nypa fruticans 
14. Avicennia spp. 
Sumber (Source) : Kusmana (2003)

B. Melindungi Garis Pantai

Hutan mangrove secara umum mampu mempertahankan keberadaan daratan di tepi


pantai. Batang mangrove yang rapat dengan banyak akar nafas disekitarnya mampu
menahan tanah di daerah pantai dari kikisan air laut. Pada tegakan yang sudah mapan
sistem perakaran bakau memperlambat arus air yang mengandung lumpur dan
memungkinkan pengendapan partikel lumpur dalam suatu proses pembentukan endapan di
sisi daratan. Pembentukan endapan ini memungkinkan bagi jenis perintis untuk tumbuh
maju ke arah laut, mempercepat pembentukan pantai dan menjamin kemantapan daerah
pesisir. Penambahan daratan atau pantai tersebut bisa mencapai lebih dari 100 m/th
(MacKinnon et al., 1996) atau + 120 m/th (Nontji, 2002). Kerapatan pohon mangrove
mampu meredam atau menetralisir peningkatan salinitas, karena perakaran yang rapat akan
menyerap unsur-unsur yang mengakibatkan meningkatnya salinitas tersebut (Arief, 2003).

C. Pemasok Bahan Organik

Hutan mangrove memiliki produktifitas primer yang tinggi karena dapat memberikan
kontribusi yang besar berupa bahan organik. Supriharyono (2002) menyatakan
produktifitas primer hutan mangrove dapat mencapai 5.000 gr C m-2th-1. Kesuburan
kawasan mangrove dapat dilihat melalui pasokan bahan organik, terutama dari guguran
daun yang bisa mencapai 7-8 ton/ha/tahun (Nontji, 2002). Guguran daun dan ranting akan
membusuk dan dimanfaatkan oleh jamur dan bakteri sebagai pengurai utama, selanjutnya
bakteri dan jamur dimakan oleh sebagian protozoa dan makrobentos. Demikian seterusnya
proses makan-memakan ini berlangsung sampai pada tingkatan hewan yang lebih tinggi.
Kecepatan dekomposisi daun dari masing-masing jenis penyusun hutan mangrove berbeda-
beda sesuai dengan karakteristiknya. Dahuri (2003) menyatakan bahwa dekomposisi daun
Avicenia terjadi selama 20 hari atau 2 kali lebih cepat dari jenis Rhyzophora karena daun
Rhyzophora lebih tebal.

D. Siklus Hidup Ikan dan Habitat Fauna

Keberadaan dekomposer yang melimpah akan sekaligus merupakan sumber pakan


bagi hewan lain yang ada di atasnya seperti ikan maupun udang. Menurut Supriharyono
(2002), tingginya bahan organik di hutan mangrove memungkinkan sebagai tempat
pemijahan (spawning graund), pengasuhan (nursery graund) dan perbesaran atau mencari
makan (feeding graund) bagi beberapa jenis hewan air termasuk ikan. Sebagian besar ikan
yang hidup di daerah pesisir berhubungan erat dengan rantai makanan di ekosistem
mangrove. Udang dan ikan yang tertangkap di daerah estuaria siklus hidupnya sebagian
besar berada di mangrove. Pada musim kawin bagi ikan berbagai jenis ikan akan menuju
ke kawasan mangrove untuk berpijah atau meletakkan telur. Ikan-ikan tersebut
menggunakan akar mangrove yang rapat untuk berlindung dari ancaman predator.
Selain penting bagi hewan air, hutan mangrove juga sebagai tempat hidup, tempat
mencari makan atau sekedar untuk singgah bagi hewan lain. Bagi burung air migran,
walaupun hanya sebagai tempat singgah namun peranan mangrove sangat penting, karena

96 Prosiding Seminar Pemanfaatan HHBK dan Konservasi Biodiversitas menuju Hutan Lestari,
Balikpapan 31 Januari 2007
Makalah Penunjang

dapat menyediakan tempat berlindung sementara dan pakan yang melimpah sebelum
melanjutkan perjalannya. Beberapa jenis hewan yang hidupnya sangat tergantung pada
ekosistem mangrove tersaji pada Tabel 2.
Tabel (Table) 2. Jenis fauna yang hidup pada ekosistem mangrove (Fauna species in
mangrove ecosystem)
Kelompok Jenis
(Group) (Species)
Makrobentos Berbagai jenis siput: Littoraria scabra, Neritina vialocea, Telescopium
telescopium, Thallassina anomala, Glassihonia complanata, Lumbricullus
sp., Eunice sp., Eupolymna nebulosa, Neptys sp., Nereis sp., Pleurocera
acutra, Autolytus prolifera, Scoluplus sp., Periopthamus sp., Arenicola sp.,
Parthenope sp., Branchelion sp., Panulirus marginatus, Scoluplus rubra,
Corystes sp., Cancer sp., Callapa sp., Uca sp., Tabanus atractus,
Chlaribdis natator, Upogebia affinis, Metanoides torula
Ikan Labroides dimidiatus, ikan bleni (Aspidontus tractus), ikan supit bergaris
(Toxotes jaculator)
Burung Pitta megarhyncha,Cyornis rufrigastra, Anhinga melanogaster, Ardea
sumatrana, A.purpurea, Butorides Striatus, Nycticorax nycticorax, N.
caledonicus, Leptoptilus javanica, Haliastur indus, Halcyon coromander
minor, Picoides moluccensis, Pitta megarhyncha, Parus major,
Orthotomus ruficeps, O. sericeus, Cyornis rufigastra, Pachycephala
cinerea, Nectarinia calcostetha, N.jugularis, Rhipidura javanica,
Zosterops palpebrosa, Z. flava, kuntul (Egretta spp.), bangau (Ciconiidae),
pecuk (Phalacrocoracidae)
Primata bekantan (Nasalis larvatus), lutung (Presbytis cristata), monyet (Macaca
fascicularis)
Lainnya biawak (Varanus salvator), buaya (Crocodylus porosus), kelelawar lidah
panjang (Macroglossus spp.), codot fajar gua (Eonycteris spelaela), kalong
(Pteropus vampyrus), kucing bakau (Felis viverrina)
Sumber (Sources) : MacKinnon et al. (1996); Arief (2003); Noor et al. (1999)

E. Menyerap Karbon
Atmosfer bumi terdiri dari berbagai gas penyusun, diantaranya adalah Nitrogen
(78,08%), Oksigen (20,95%), dan karbon dioksida (0,03%) (Dahlan, 2004). Dalam jumlah
yang kecil karbon dioksida (CO2) tidak berbahaya bagi kehidupan manusia, tapi pada
konsentrasi yang tinggi dapat berbahaya terhadap kesehatan.
Karbon dioksida adalah salah satu unsur terpenting penyusun gas rumah kaca selain
CFC, metan, ozon dan N2O. Efek rumah kaca sangat berguna dalam menjaga suhu bumi
tetap hangat, karena panas matahari yang dipantulkan oleh permukaan bumi akan
terperangkap oleh gas rumah kaca. Peningkatan konsentrasi CO2 yang tinggi di atmosfer
bumi akibat dari pembakaran bahan bakar fosil, pembukaan lahan hutan dan penebangan
hutan menyebabkan meningkatnya gas rumah kaca, sehingga suhu permukaan bumi akan
meningkat, sedangkan kemampuan tumbuhan hutan menyerap CO2 dari udara berkurang.
Hutan adalah penyerap gas CO2 terpenting selain fitoplankton, ganggang dan rumput
laut. Kemampuan hutan mangrove dalam menyerap karbon seperti halnya formasi hutan
lain memiliki peranan yang besar. Secara umum tumbuhan yang berklorofil melalui proses
fotosintesis dengan bantuan sinar matahari mampu menyerap gas CO2 dari udara dan
mengasilkan karbohidrat dan oksigen (O2). Suatu komunitas tumbuhan dengan luas daun
keseluruhan kurang lebih 5 hektar dapat menyerap 900 kg CO2 dari udara dan melepaskan
600 kg O2 dalam waktu 2 jam (Dahlan, 2004).
Prosiding Seminar Pemanfaatan HHBK dan Konservasi Biodiversitas menuju Hutan Lestari, 97
Balikpapan 31 Januari 2007
Makalah Penunjang

Karbon yang diserap dari udara akan didistribusikan pada batang, akar dan daun,
selain itu bahan organik dari seresah juga masih menyimpan karbon. Kerusakan hutan
mangrove oleh kebakaran dan konversi menjadi tambak berakibat karbon yang tersimpan
di dalam pohon atau bahan organik terlepas ke udara dengan cepat.

IV. KESIMPULAN
Dari uraian tersebut di atas, beberapa kesimpulan dapat diambil, sebagai berikut:
1. Hutan mangrove pada umumnya tersusun atas zonasi-zonasi atau lapisan vegetasi
mulai dari tepi pantai atau sungai menuju ke arah daratan yang lebarnya jarang
melebihi 4 km, kecuali di daerah muara dan teluk yang tertutup, lebarnya dapat
mencapai 18 km atau bahkan hingga lebih dari 30 km.
2. Zonasi pada hutan mangrove dicirikan oleh jenis-jenis tumbuhan penyusunnya, baik
dalam bentuk dominan tunggal maupun dalam bentuk asosiasi yang secara umum
berbeda antara zonasi yang satu dengan zonasi yang lainnya.
3. Bentuk perakaran dan system reproduksi yang dijumpai pada vegetasi mangrove pada
dasarnya terbentuk sebagai hasil proses adaptasi terhadap lingkungan yang ekstrim,
terutama akibat gelombang, pasang surut air laut, angin dan tanah yang berlumpur.
4. Hutan mangrove dengan berbagai karakteristiknya mempunyai peran yang sangat
penting dalam melindungi pantai dari badai dan angin, pemasok bahan organik,
sebagai tempat siklus hidup ikan, habitat berbagai jenis fauna serta penyerap karbon.

DAFTAR PUSTAKA
Arief, A. 2003. Hutan mangrove fungsi dan manfaatnya. Penerbit Kanisius.
Dahlan, E.N. 2004. Membangun kota kebun bernuansa hutan kota. Penerbit IPB Press.
Dahuri, R. 2003. Keanekaragaman hayati laut: Aset pembangunan berkelanjutan
Indonesia. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Darsidi, A. 1984. Pengelolaan hutan mangrove di Indonesia. Prosiding Seminar II
Ekosistem Mangrove. Hal. 19-28. MAB-LIPI.
Ding Hou. 1958. Rhizophoraceae. Flora Melasiana I. Vol. 5 (4) : 429-493.
Direktorat Bina Program Kehutanan. 1980. Risalah hutan Indonesia. Direktorat Jenderal
Kehutanan.
Fandeli, C., Kaharuddin, Mukhlison. 2004. Perhutanan kota. Fakultas Kehutanan.
Universitas Gajah Mada. Yogyakarta.
Kusmana, C., Onrizal, Sudarmaji. 2003. Jenis-jenis pohon mangrove di teluk Bintuni,
Papua. Fakultas IPB dan PT Bintuni Utama Murni Wood Industries. Bogor.
MacKinnon, K., Hatta, G., Halim, H., Mangalik, A. 1996. The ecology of Kalimantan.
Ecology of Indonesia series. vol. III. Periplus Edition (HK) Ltd., Jakarta,
Singapore, The Netherlands.
Noor, Y. R., Kazali, M., Suryadiputra, INN. 1999. Panduan pengenalan mangrove di
Indonesia. Wetland International Indonesia Programme.
Nontji, A. 2002. Laut nusantara. Djambatan. Jakarta
Romimohtarto, K., Juwana, S. 2001. Biologi laut: Ilmu pengetahuan tentang biologi laut.
Djambatan. Jakarta.
Supriharyono. 2002. Pelestarian dan pengelolaan sumber daya alam di wilayah pesisir. PT
Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Whitmore, T.C. 1984. Tropical rain forest of the Far East (2nd ed.). Clarendon Press,
Oxford
98 Prosiding Seminar Pemanfaatan HHBK dan Konservasi Biodiversitas menuju Hutan Lestari,
Balikpapan 31 Januari 2007
Makalah Penunjang

Prosiding Seminar Pemanfaatan HHBK dan Konservasi Biodiversitas menuju Hutan Lestari, 99
Balikpapan 31 Januari 2007

View publication stats

You might also like