Perang Punik I
Perang Punik Pertama | |||||||||
---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|
Bagian dari Perang-Perang Punik | |||||||||
Kawasan barat Mediterania pada tahun 264 SM. Daerah merah adalah wilayah kedaulatan Roma, daerah ungu adalah wilayah kedaulatan Kartago, dan daerah hijau adalah wilayah kedaulatan Sirakusa. | |||||||||
| |||||||||
Pihak terlibat | |||||||||
Roma | Kartago |
Perang Punik Pertama (264-241 SM) adalah perang pertama antara Roma dan Kartago, dua negara terkuat di kawasan barat Mediterania. Selama 23 tahun, kedua negara bertarung memperebutkan supremasi dalam konflik sinambung terlama dan perang laut terbesar pada Abad Kuno. Tempat-tempat yang paling sering menjadi ajang pertempuran adalah Pulau Sisilia, perairan sekitar Pulau Sisilia, dan pesisir Afrika Utara. Sesudah menelan banyak korban jiwa maupun materi dari kedua belah pihak, perang ini berakhir dengan kemenangan bangsa Romawi.
Perang Punik Pertama bermula pada tahun 264 SM, ketika angkatan bersenjata Republik Roma merebut kota Messana (sekarang Messina) di Pulau Sisilia. Pasukan Romawi selanjutnya menekan Sirakusa, satu-satunya negara merdeka di Pulau Sisilia yang layak diperhitungkan, agar bersedia menjadi sekutu dan membantu mereka mengepung Akragas, pangkalan utama Kartago di pulau itu. Sepasukan besar prajurit Kartago berusaha mematahkan pengepungan itu pada tahun 262 SM, tetapi dikalahkan dalam Pertempuran Akragas. Negara Republik Roma akhirnya membentuk angkatan laut sendiri guna menghadapi angkatan laut Kartago, dan menerapkan taktik-taktik baru yang berhasil membuat pihak Kartago beberapa kali menderita kekalahan. Pangkalan Kartago di Pulau Korsika berhasil direbut, tetapi serangan ke Sardinia dapat dipatahkan, dan Kartago berhasil menguasai kembali Pulau Korsika. Kemenangan-kemenangan yang dicapai lewat pengerahan angkatan laut mendorong Roma menginvasi Afrika Utara. Kartago berusaha melawan, tetapi sekali lagi dikalahkan dalam Pertempuran Tanjung Ecnomus. Dari segi jumlah prajurit yang dilibatkan, mungkin inilah pertempuran laut terbesar sepanjang sejarah. Invasi Afrika Utara mula-mula berjalan lancar, dan Kartago terdesak untuk mengajukan tawaran damai pada tahun 255 SM, tetapi syarat-syarat perdamaian dari pihak Romawi dirasakan terlalu berat sehingga bangsa Kartago memutuskan untuk terus berjuang dan akhirnya berhasil mengalahkan pihak penyerbu. Republik Roma mengerahkan searmada kapal untuk menyelamatkan sisa-sisa pasukan mereka di Afrika Utara. Angkatan laut Kartago berusaha menggagalkan usaha penyelamatan ini dalam Pertempuran Tanjung Hermaeum di perairan lepas pantai Afrika Utara, tetapi dikalahkan armada Romawi. Meskipun demikian, armada Romawi diamuk badai dalam pelayaran pulang, sehingga kehilangan sebagian besar kapal dan sekitar 100.000 prajurit.
Perang terus berlanjut, kendati tak satu pihak pun mampu mengungguli lawannya. Pada tahun 255 SM, Kartago menyerbu dan berhasil merebut kembali kota Akragas. Karena tidak yakin dapat mempertahankannya, kota itu mereka tinggalkan sesudah diluluhlantakkan. Republik Roma segera membangun ulang armada mereka dengan tambahan 220 kapal baru, kemudian dikerahkan merebut Panormus (sekarang Palermo) pada tahun 254 SM. Setahun kemudian, 150 kapal mereka hilang ditelan badai. Kartago berusaha merebut kembali kota Panormus pada tahun 251 SM, tetapi dikalahkan pasukan Romawi dalam pertempuran yang berlangsung di luar benteng kota itu. Pasukan Romawi menduduki daratan Sisilia sedikit demi sedikit, kemudian maju mengepung dua kubu terakhir Kartago di ujung barat pulau itu pada tahun 249 SM. Armada Romawi juga berusaha melancarkan serangan kejutan terhadap armada Kartago, tetapi dikalahkan dalam Pertempuran Drepana. Pihak Kartago menindaklanjuti kemenangan mereka dan berhasil melenyapkan sebagian besar kapal perang Romawi dalam Pertempuran Phintias. Sesudah situasi buntu berjalan selama beberapa tahun, Republik Roma sekali lagi membangun ulang armadanya pada tahun 243 SM, dan memblokade garnisun-garnisun Kartago. Kartago mengerahkan searmada kapal untuk menyelamatkan mereka, tetapi dihancurkan dalam Pertempuran Kepulauan Aegates pada tahun 241 SM, sehingga pasukan-pasukan mereka yang tertinggal di Sisilia terpaksa mengupayakan perundingan damai.
Kedua belah pihak akhirnya menyepakati perjanjian damai yang mewajibkan Kartago membayar pampasan perang dan mengakibatkan Pulau Sisilia dianeksasi menjadi daerah jajahan bangsa Romawi. Sejak saat itu, Roma menjadi negara dengan kekuatan militer paling unggul di kawasan barat Mediterania, dan lambat laun menjadi yang terunggul di seluruh kawasan Mediterania. Jerih payah bangsa Romawi membangun 1.000 galai selama berlangsungnya Perang Punik Pertama membuahkan pengalaman berharga yang menjadi landasan dominasi maritim Roma selama 600 tahun. Pada akhir perang ini, timbul pemberontakan besar di dalam tubuh Kemaharajaan Kartago, tetapi dapat diberantas. Kompetisi strategis yang masih menggantung di antara Roma dan Kartago menyebabkan Perang Punik II meletus pada tahun 218 SM.
Sumber-sumber primer
[sunting | sunting sumber]Istilah Punik berasal dari kata Latin Punicus (atau Poenicus), artinya "orang Kartago", merujuk kepada leluhur bangsa Kartago, yakni bangsa Fenisia (bahasa Latin: Phoenices; bahasa Yunani: Φοινίκη, Foinike).[1] Sumber utama hampir semua aspek Perang Punik Pertama adalah karya tulis Polibios (ca.200–ca.118 SM), cendekiawan Yunani yang diberangkatkan ke Roma pada tahun 167 SM sebagai sandera.[2][3] Kumpulan karya tulisnya mencakup sebuah buku panduan taktik-taktik militer yang sekarang sudah musnah,[4] tetapi karya tulis yang membuatnya terkenal pada zaman modern adalah Historíai (Bunga Rampai Sejarah), yang ia tulis sesudah tahun 146 SM, atau kira-kira satu abad seusai Perang Punik Pertama.[2][5] Karya tulis Polibios secara luas dianggap objektif dan sangat netral, karena mengambil posisi tengah di antara sudut pandang Kartago dan sudut pandang Romawi.[6][7]
Rekam sejarah bangsa Kartago sudah musnah bersama ibu kota mereka, Kartago, pada tahun 146 SM, oleh karena itu keterangan-keterangan seputar Perang Punik Pertama disarikan Polibios dari beberapa sumber pustaka Yunani dan Latin yang sekarang sudah musnah.[8] Polibios adalah sejarawan yang analitis, dan sedapat mungkin mewawancarai langsung para pelaku sejarah yang terlibat di dalam perang tersebut.[9][10] Hanya buku pertama dari 40 jilid Historíai yang membahas Perang Punik Pertama.[11] Keakuratan keterangan Polibios sudah sering diperdebatkan dalam 150 tahun terakhir, tetapi konsensus yang dicapai pada zaman modern adalah menerima keterangan-keterangan Polibios lebih secara harfiah, dan hampir semua perincian Perang Punik Pertama di dalam sumber-sumber modern didasarkan atas keterangan Polibios.[11][12][13] Menurut pengamatan sejarawan Andrew Curry, "Polibios ternyata lumayan andal",[14] sementara Dexter Hoyos menyifatkan Polibios sebagai "sejarawan yang tampak jelas tahu banyak, giat berkarya, dan kuat mengkaji".[15] Masih ada karya-karya tulis sejarah lainnya mengenai Perang Punik Pertama yang dibuat sesudah Historíai, tetapi sudah tidak utuh atau hanya berisi keterangan ringkas.[3][16] Para sejarawan modern biasanya memperhatikan pula keterangan dari penggalan karya-karya tulis berbagai analis Romawi, teristimewa Livius (yang mendasarkan karya tulisnya pada keterangan Polibios), Diodoros Sikolos (sejarawan Yunani asal Sisilia), maupun Apianos dan Dion Kasios (sejarawan-sejarawan Yunani terkemudian).[17] Klasikawan Adrian Goldsworthy mengemukakan bahwa "keterangan Polibios biasanya lebih dipercaya apabila didapati bertentangan dengan keterangan-keterangan lain yang kita punya".[10][keterangan 1] Sumber-sumber lain mencakup prasasti-prasasti, bukti-bukti dari penggalian arkeologi, dan bukti-bukti empiris dari rekonstruksi benda-benda bersejarah seperti triremis Olympias.[18]
Sejak tahun 2010, para arkeolog sudah menemukan 19 buah penyeruduk perunggu buatan Romawi maupun Kartago di perairan lepas pantai barat Sisilia. Sepuluh buah ketopong perunggu dan ratusan amfora juga sudah ditemukan.[19][20][21][22] Sesudah itu masih ditemukan lagi penyeruduk-penyeruduk, tujuh buah ketopong, enam buah amfora yang masih utuh, dan sejumlah besar fragmen.[23] Masing-masing penyeruduk diyakini terpasang pada satu bangkai kapal saat karam ke dasar laut.[24] Menurut para arkeolog yang terlibat, lokasi penemuan artefak-artefak tersebut mendukung keterangan Polibios tentang tempat berlangsungnya Pertempuran Aegates.[25] Berdasarkan ukuran penyeruduk-penyeruduk tersebut, para arkeolog yang mempelajarinya yakin bahwa semuanya berasal dari kapal jenis triremis, bertentangan dengan keterangan Polibios bahwa semua kapal perang yang terlibat di dalam pertempuran itu berjenis quinqueremis.[22][26] Meskipun demikian, mereka yakin bahwa banyaknya amfora yang sudah teridentifikasi menguatkan keakuratan aspek-aspek lain dari keterangan Polibios tentang pertempuran tersebut. "Inilah tempuran catatan arkeologi dan catatan sejarah yang diidam-idamkan," ungkap mereka.[27]
Latar belakang
[sunting | sunting sumber]Sebelum Perang Punik Pertama, negara Republik Roma sudah seabad lamanya meluaskan wilayah lewat kekuatan militer di kawasan selatan Jazirah Italia.[28] Roma mendaulat Jazirah Italia di sebelah selatan Sungai Arno pada tahun 272 SM, ketika kota-kota Yunani di kawasan selatan Italia (Magna Graecia) menyerah menjelang berakhirnya Perang Piros.[29] Sementara itu, negara Kartago, yang berpusat di Tunisia sekarang ini, sudah menguasai kawasan selatan Spanyol, sebagian besar pesisir Afrika Utara, Kepulauan Balears, Korsika, Sardinia, dan bagian barat Pulau Sisilia. Dengan wilayah kedaulatan yang begitu luas, Kartago menjadi semacam kemaharajaan militer dan perdagangan.[30] Sejak tahun 480 SM, Kartago melancarkan serangkaian perang tanpa hasil yang pasti melawan negara-negara kota Yunani di Pulau Sisilia di bawah pimpinan Sirakusa.[31] Kartago dan Roma adalah negara-negara terkuat sekawasan barat Laut Tengah pada tahun 264 SM.[32] Kedua negara sudah beberapa kali menjalin persahabatan lewat perjanjian-perjanjian persekutuan resmi yang ditandatangani pada tahun 509 SM, 348 SM, dan sekitar tahun 279 SM. Hubungan Roma dan Kartago berjalan baik, dan hubungan dagang di antara kedua negara berjalan lancar. Saat berlangsungnya Perang Piros (280–275 SM) melawan seorang raja dari Epiros yang bergantian menyerang Roma di Jazirah Italia dan Kartago di Pulau Sisilia, Kartago memasok persenjataan bagi angkatan perang Roma dan setidaknya pernah satu kali mengerahkan kapal-kapal angkatan lautnya untuk mengangkut pasukan Romawi.[33][34]
Pada tahun 289 SM, laskar Mamertini, sepasukan prajurit sewaan Italia yang pernah disewa Sirakusa, menduduki kota Messana (sekarang Messina) di ujung timur Pulau Sisilia.[35] Karena kewalahan menghadapi tekanan Sirakusa, laskar Mamertini mengajukan permohonan bantuan kepada Roma maupun Kartago pada tahun 265 SM. Kartago bertindak lebih dulu dengan menekan Hiero II, Raja Sirakusa, agar menghentikan aksinya, dan meyakinkan laskar Mamertini untuk menerima penempatan garnisun Kartago di Messana.[36] Menurut Polibios, timbul perdebatan sengit di Roma mengenai perlu tidaknya mengabulkan permohonan laskar Mamertini. Karena Kartago sudah menempatkan garnisunnya di Messana, pengerahan bantuan dari Roma akan mudah memancing perang dengan Kartago. Roma tidak pernah menunjukkan minat terhadap Pulau Sisilia sebelumnya, dan tidak berniat menolong laskar yang sudah merampas sebuah kota dari pemiliknya yang sah. Meskipun demikian, banyak di antara mereka yang tergiur melihat peluang untuk menuai keuntungan moneter andaikata berhasil mendapatkan tempat berpijak di Sisilia. Karena tidak berhasil mencapai mufakat, majelis tua-tua bangsa Romawi menyerahkan pengambilan keputusan ke tangan sidang rakyat pada tahun 264 SM, kemungkinan besar atas usulan Appius Claudius Caudex. Caudex membujuk rakyat untuk memilih opsi pengerahan bantuan dengan iming-iming peluang mendapatkan jarahan dalam jumlah besar. Sidang rakyat akhirnya memutuskan untuk mengabulkan permohonan laskar Mamertini.[37][38][39] Caudex diangkat menjadi panglima ekspedisi militer yang ditugaskan untuk berangkat ke Sisilia dan menempatkan garnisun Romawi di Messana.[40][41]
Perang bermula ketika pasukan Romawi mendarat di Sisilia pada tahun 264 SM. Sekalipun memiliki angkatan laut, pihak Kartago tidak berhasil menggagalkan penyeberangan pasukan Romawi di Selat Messina.[42] Dua legiun prajurit Romawi di bawah pimpinan Caudex berbaris menuju Messana, sementara laskar Mamertini sudah mengusir garnisun Kartago yang dipimpin Hanno (tidak ada hubungannya dengan Hanno Agung) dan sedang dikepung pasukan Kartago maupun Sirakusa.[43] Entah mengapa, pasukan Sirakusa akhirnya menghentikan pengepungan, disusul kemudian oleh pasukan Kartago. Sumber-sumber yang ada tidak memaparkan alasannya. Pasukan Romawi bergerak ke selatan dan mengepung Sirakusa, tetapi aksi pengepungan terpaksa dihentikan tidak lama kemudian, baik karena kekuatan tempur pihak Romawi tidak cukup besar maupun karena tidak didukung jalur pasokan yang aman.[44] Berdasarkan pengalaman tempur selama dua abad sebelumnya di Sisilia, pihak Kartago paham bahwa kemenangan mutlak mustahil dicapai. Upaya-upaya militer pada akhirnya mengendur sesudah menderita kerugian besar dan menelan banyak biaya. Para panglima Kartago berharap perang ini akan berlangsung sama seperti yang sudah-sudah. Sementara itu, kepemilikan angkatan laut memungkinkan mereka untuk mencegah perang tidak merembet ke mana-mana, bahkan memungkinkan mereka untuk terus bergiat meraup laba.[45] Dengan demikian mereka dapat merekrut sekaligus membayar upah pasukan yang akan dikerahkan untuk melawan pihak Romawi secara terang-terangan, sementara kota-kota mereka yang berbenteng kukuh dapat dipasok lewat laut dan dijadikan pangkalan pertahanan sekaligus titik tolak penyerangan.[46]
Angkatan darat
[sunting | sunting sumber]Setiap pria dewasa warga negara Romawi layak menjadi prajurit. Rata-rata menjadi prajurit pejalan kaki, dan segelintir warga yang lebih berada menjadi prajurit berkuda. Sesuai tradisi, bangsa Romawi biasanya membentuk dua legiun, masing-masing beranggotakan 4.200 prajurit pejalan kaki[keterangan 2] dan 300 prajurit berkuda. Sejumlah kecil prajurit pejalan kaki bertugas sebagai anggota pasukan penggempur bersenjata lembing, dan selebihnya bertugas sebagai anggota pasukan pejalan kaki berat berperlengkapan zirah, perisai besar, dan pedang pendek. Mereka terbagi ke dalam tiga jenjang. Prajurit jenjang pertama diperlengkapi pula dengan dua batang lembing, sementara prajurit-prajurit jenjang kedua dan ketiga diperlengkapi tombak-tikam. Baik regu-regu di dalam legiun maupun para legiuner bertempur dalam barisan renggang. Satu pasukan tempur biasanya terdiri atas satu legiun Romawi dan satu legiun sekutu Latini dengan jumlah prajurit dan perangkat persenjataan yang sama.[48]
Warga negara Kartago hanya menjadi prajurit apabila kota Kartago sudah terancam digempur musuh. Di luar keadaan genting semacam itu, Kartago merekrut orang-orang asing menjadi prajurit angkatan bersenjatanya, kebanyakan dari Afrika Utara. Prajurit-prajurit asal Afrika Utara terbagi menjadi beberapa jenis pasukan, yakni pasukan pejalan kaki dalam barisan rapat yang diperlengkapi perisai besar, ketopong, pedang pendek, dan tombak-tikam panjang; pasukan penggempur pejalan kaki ringan; pasukan penggertak berkuda dalam barisan rapat[keterangan 3] (juga disebut "pasukan berkuda berat") yang dipersenjatai dengan tombak; dan pasukan penggempur berkuda ringan yang melemparkan lembing dari jarak tertentu dan menghindari pertarungan jarak dekat.[50][51] Spanyol dan Galia adalah negeri-negeri pemasok pasukan pejalan kaki kawakan. Pasukan-pasukan ini garang saat menyerang meskipun tidak berzirah, tetapi dikenal suka seenaknya membubarkan diri jika pertempuran berlangsung berlarut-larut.[50][52][keterangan 4] Kebanyakan prajurit pejalan kaki Kartago bertempur dalam formasi rapat yang disebut phalanx, biasanya dalam dua atau tiga baris.[51] Prajurit-prajurit pengumban yang cakap direkrut dari Kepulauan Balears.[50][53] Kartago juga menggunakan gajah perang. Pada zaman itu, daerah Afrika Utara masih memiliki populasi gajah hutan afrika.[keterangan 5][52][55] Dari sumber-sumber yang ada, tidak dapat dipastikan kalau gajah-gajah ini dipakai mengangkut benteng-bentengan berisi prajurit.[56]
Angkatan laut
[sunting | sunting sumber]Quinqueremis, artinya "berdayung lima tingkat",[57] adalah jenis kapal yang digunakan armada Romawi maupun Kartago dalam perang-perang Punik.[58] Jumlahnya yang begitu banyak sehingga mendominasi pemandangan membuat Polibios menggunakan istilah quinqueremis sebagai sebutan umum untuk "kapal perang".[59] Satu quinqueremis diawaki 300 orang, yakni 280 awak pendayung dan 20 awak geladak berikut perwira kapal,[60] serta dikawal 40 orang prajurit laut (biasanya prajurit darat yang ditempattugaskan di kapal itu).[61] Jika perang sudah di ambang pintu, jumlah prajurit laut akan ditingkatkan sampai sebanyak-banyaknya 120 orang.[62][63]
Menyiapkan awak pendayung agar mahir mendayung serempak sebagai satu regu terpadu, lebih-lebih agar mahir melakukan olah gerak kapal yang rumit dalam pertempuran, memerlukan banyak latihan berulang.[64] Agar kapal dapat dikelola secara efektif, sekurang-kurangnya setengah dari seluruh awak pendayung haruslah pendayung kapal berpengalaman.[65] Ini sebabnya angkatan laut Romawi mula-mula tidak mampu menandingi angkatan laut Kartago yang sudah kawakan di bidangnya. Untuk mengakali kelemahan ini, bangsa Romawi menciptakan corvus, semacam jembatan jungkit selebar 12 meter (40 kaki) dengan panjang mencapai 11 meter (36 kaki), dilengkapi pasak-pasak besi di sebelah bawah ujungnya agar dapat menancap kukuh pada geladak kapal musuh.[62] Alat ini memungkinkan para legiuner Romawi yang ditugaskan menjadi prajurit laut untuk menyeberang ke kapal musuh dan merebutnya, ketimbang menerapkan taktik seruduk kapal yang sudah mentradisi.[66]
Semua kapal perang dilengkapi penyeruduk, yakni tiga bilah perunggu selebar 60 sentimeter (2 kaki) yang disatukan menjadi alat perang seberat 270 kilogram (600 pon) dan dipasang sejajar dengan lambung timbul pada linggi haluan. Seabad sebelum perang-perang Punik berkecamuk, taktik serbuan kapal kian umum dipakai sementara taktik seruduk kapal semakin ditinggalkan. Kecenderungan ini timbul karena kapal-kapal yang dipakai bertempur pada masa itu adalah kapal-kapal yang lebih besar ukuran maupun bobotnya, sehingga tidak cukup laju dan lincah melakukan olah gerak yang diperlukan dalam usaha menyeruduk kapal musuh. Lagi pula konstruksinya yang lebih pejal mengurangi dampak benturan penyeruduk, sekalipun serangan berhasil mengenai sasaran. Corvus yang direka cipta bangsa Romawi merupakan kesinambungan dari kecenderungan tersebut, dan mampu mengimbangi kementahan mereka di bidang olah gerak kapal. Meskipun demikian, tambahan bobot pada haluan mengurangi kelincahan berolah gerak maupun kelaiklautan kapal, dan corvus tidak dapat digunakan apabila laut sedang bergelora.[66][67][68]
Sisilia 264-256 SM
[sunting | sunting sumber]Pertempuran-pertempuran Perang Punik Pertama lebih sering berkecamuk di daratan Pulau Sisilia maupun di perairan sekitarnya. Daerah pedalaman Pulau Sisilia yang berbukit-bukit dan berbatu-batu merupakan medan yang sukar dilalui rombongan prajurit dalam jumlah besar tetapi cocok dijadikan tempat bertahan dari serangan musuh. Sebagian besar operasi militer yang dilancarkan di darat terbatas pada operasi penyerbuan, pengepungan, dan penyekatan. Selama 23 tahun peperangan di Pulau Sisilia, hanya dua kali terjadi pertempuran besar-besaran, yakni Pertempuran Akragas pada tahun 262 SM dan Pertempuran Panormus pada tahun 250 SM. Penyiagaan garnisun dan blokade darat adalah operasi-operasi yang paling umum dilakukan angkatan bersenjata kedua belah pihak.[69]
Bangsa Romawi memiliki adat mengangkat dua orang panglima tiap-tiap tahun untuk mengepalai angkatan bersenjata negara mereka. Panglima-panglima tahunan ini disebut "konsul". Pada tahun 263 SM, kedua konsul yang sedang menjabat ditugaskan ke Sisilia, membawa prajurit sebanyak 40.000 orang,[70] dan sekali lagi mengepung Sirakusa. Karena tidak sempat meminta bantuan dari Kartago, Sirakusa buru-buru mengupayakan kesepakatan damai dengan bangsa Romawi. Sirakusa menjadi negara sekutu Roma, membayar ganti rugi sebesar 100 talenta perak,[keterangan 6] dan yang terpenting bersedia membantu pengadaan pasokan perbekalan bagi angkatan bersenjata Romawi di Sisilia.[72] Sesudah Sirakusa memihak Roma, beberapa kota kecil yang berkiblat ke Kartago ikut pula memihak Roma.[46][73] Akragas (bahasa Latin: Agrigentum, sekarang Agrigento), kota pelabuhan di pesisir selatan Sisilia, dipilih Kartago untuk dijadikan pusat strategis mereka. Pasukan Romawi bergerak ke Akragas dan mengepung kota itu pada tahun 262 SM.[45] Sistem pasok perbekalan pasukan Romawi tidak cukup memadai, baik karena ketangguhan angkatan laut Kartago membuat pengiriman pasokan lewat laut tersendat, maupun karena belum berpengalaman memberi makan pasukan yang beranggotakan 40.000 prajurit. Pada masa panen, sejumlah besar prajurit disebar ke mana-mana untuk menuai gandum dan mengumpulkan pakan hewan. Pasukan Kartago di bawah pimpinan Hannibal Gisco, mendadak menyerang pasukan Romawi dan menerjang perkemahan mereka. Prajurit-prajurit Romawi tergopoh-gopoh merapatkan barisan dan akhirnya berhasil menyudutkan pihak penyerang. Pengalaman ini menjadi pelajaran bagi kedua belah pihak untuk meningkatkan kewaspadaan.[74]
Sementara itu, Kartago membentuk pasukan di Afrika, yang selanjutnya diangkut dengan kapal ke Sisilia. Pasukan yang terdiri atas 50.000 prajurit pejalan kaki, 6.000 prajurit berkuda, dan 60 ekor gajah perang ini dipimpin Hanno, putra Hannibal. Sebagian prajurit adalah orang-orang Liguria, Kelt, dan Iberia.[45][75] Lima bulan sesudah pasukan Romawi mengepung Akragas, Hanno memimpin pasukan Kartago bergerak menuju kota itu.[45] Begitu sampai, Hanno hanya menggelar perkemahan di tempat yang agak tinggi, menyulut pertempuran singkat secara acak, dan melatih pasukannya. Dua bulan kemudian, pada musim semi tahun 261 SM, barulah Hanno melancarkan serangan besar-besaran. Dalam Pertempuran Akragas, pihak Kartago dikalahkan dan menanggung kerugian besar. Pasukan Romawi di bawah pimpinan kedua konsul, Lucius Postumius Megellus dan Quintus Mamilius Vitulus, memburu pasukan Kartago dan berhasil merampas gajah-gajah serta angkutan perbekalan mereka. Malam itu juga, garnisun Kartago kabur meninggalkan kota Akragas saat pasukan Romawi sedang lengah. Keesokan harinya, pasukan Romawi menggempur Akragas dan menawan warganya; 25.000 warga kota Akragas dijual sebagai budak.[76]
Sesudah pihak Romawi memenangkan Pertempuran Akragas, pertempuran-pertempuran lain timbul di sana-sini selama beberapa tahun. Kedua belah pihak bergantian menjadi pemenang dengan hasil yang tidak begitu berarti, dan belum mampu menemukan langkah jitu untuk menuntaskan perang. Salah satu sebabnya adalah keputusan pihak Romawi untuk mengalihkan banyak sumber dayanya bagi kepentingan kampanye militer di Korsika dan Sardinia yang pada akhirnya tidak mendatangkan hasil apa-apa, kemudian mengulangi tindakan yang sama bagi kepentingan ekspedisi militer ke Afrika yang juga sama sia-sianya.[77] Sesudah menguasai Akragas, pasukan Romawi bergerak ke barat dan mengepung Mytistraton selama tujuh bulan tanpa hasil.[69] Pada tahun 259 SM, pasukan Romawi bergerak menuju Thermae di pesisir utara Sisilia. Sesudah bertengkar sengit, pasukan-pasukan Romawi dan pasukan-pasukan sekutu berkemah secara terpisah. Hamilcar memanfaatkan situasi ini untuk melancarkan serangan balasan, dengan cara menyerbu perkemahan salah satu kontingen yang berkemah terpisah secara mendadak dan berhasil menewaskan 4.000 sampai 6.000 prajurit. Hamilcar selanjutnya merebut kota Enna di tengah pulau,[78] dan kota Camarina di sebelah tenggara pulau yang cukup dekat dengan Sirakusa. Tampaknya tinggal beberapa langkah lagi Hamilcar akan menguasai seluruh Sisilia.[79] Pada tahun berikutnya, pasukan Romawi merebut kembali kota Enna dan akhirnya berhasil menduduki Mytistraton. Mereka selanjutnya bergerak menuju Panormus (sekarang Palermo), tetapi terpaksa mundur, meskipun berhasil merebut kota Hippana. Pada tahun 258 SM, pasukan Romawi merebut Camarina sesudah cukup lama mengepung kota itu.[80][81] Selama beberapa tahun selanjutnya, terus-menerus terjadi penyerbuan kecil-kecilan, pertempuran singkat, dan peralihan kesetiaan kota dari satu pihak ke pihak lain di Pulau Sisilia.[82]
Roma membangun armada
[sunting | sunting sumber]Peperangan di Sisilia sudah mencapai tahap buntu, karena pihak Kartago berkonsentrasi mempertahankan kota-kota benteng mereka. Sebagian besar dari kota-kota tersebut berada di daerah pesisir sehingga dapat dikirimi perbekalan maupun pasukan tanpa dapat dihalang-halangi pasukan Romawi yang lebih unggul di darat.[83][84] Fokus perang beralih dari darat ke perairan, medan yang belum cukup dikuasai pihak Romawi. Sebelum itu, pihak Romawi sudah beberapa kali menyadari perlunya memiliki armada sendiri. Mereka terbiasa mengandalkan eskadron kecil yang disediakan sekutu-sekutu Latini atau Yunani.[45][85][86] Pada tahun 260 SM, bangsa Romawi mulai berancang-ancang membentuk armada sendiri, dan menggunakan sebuah bangkai kapal quinqueremis Kartago sebagai contoh untuk membangun kapal-kapal mereka.[87] Karena masih hijau di bidang perkapalan, bangsa Romawi hanya mampu menghasilkan tiruan-tiruan yang lebih berat daripada kapal-kapal Kartago. Akibatnya kapal-kapal itu lamban meluncur di air dan kurang lincah berolah gerak.[88]
Negara Republik Roma membangun 120 buah kapal perang yang selanjutnya dilepas berlayar ke Sisilia pada tahun 260 SM supaya para awaknya dapat menjalani pelatihan dasar. Gnaeus Cornelius Scipio, salah seorang konsul yang menjabat pada tahun itu, bertolak bersama 17 kapal pertama ke Kepulauan Lipara, tidak jauh dari pesisir timur laut Sisilia, dengan niat merebut bandar Lipara, kota pelabuhan utama di kepulauan itu. Laksamana yang memimpin armada Kartago adalah Hannibal Gisco, mantan kepala garnisun Akragas. Armada Kartago berpangkalan di Panormus, kira-kira 100 kilometer (62 mil) jauhnya dari Lipara. Begitu menerima kabar pengerahan kapal-kapal Romawi ke Lipara, Hanibal memberangkatkan 20 kapal di bawah pimpinan Boodes ke kota itu. Pasukan Kartago sampai pada malam hari dan mencegat kapal-kapal Romawi di pelabuhan. Boodes mengerahkan kapal-kapalnya untuk menyerbu, sementara anak buah Scipio yang belum berpengalaman tidak mampu memberikan perlawanan yang cukup berarti. Beberapa prajurit Romawi kepanikan dan melarikan diri ke darat. Scipio akhirnya berhasil ditawan. Semua kapal Romawi dapat direbut, kebanyakan hanya mengalami sedikit kerusakan.[89][90] Tidak lama kemudian, Hannibal berpapasan dengan satu armada lengkap Romawi ketika sedang melakukan pelayaran pengintaian bersama 50 kapal Kartago. Ia berhasil lolos, tetapi kehilangan banyak kapalnya.[91] Sesudah pertempuran singkat ini, bangsa Romawi mulai memperlengkapi kapal-kapalnya dengan corvus.[92][93]
Konsul Gaius Duilius, rekan sejawat Scipio, mendelegasikan tugas memimpin kesatuan-kesatuan angkatan darat Romawi kepada para bawahannya dan mengambil alih kepemimpinan armada. Ia segera berlayar mencari lawan. Armada Roma bertemu dengan armada Kartago di pesisir Mylae. Kedua armada pun saling gempur dalam Pertempuran Mylae. Hannibal memimpin 130 kapal, dan menurut perhitungan sejarawan John Lazenby, Duilius memimpin kapal-kapal dalam jumlah yang kurang lebih sebanding.[94] Karena memiliki kapal-kapal yang lebih cepat, lebih lincah berolah gerak, dan diawaki pelaut-pelaut berpengalaman, pihak Kartago yakin dapat memenangkan pertempuran sehingga mengabaikan formasi tempur agar dapat berlayar lebih cepat mendekati kapal-kapal Romawi.[95] 30 kapal Kartago yang pertama kali mendekat langsung disambar pancang-pancang corvus yang menancap kokoh pada papan geladak. Melalui corvus, prajurit-prajurit Romawi menyeberang ke kapal musuh dan merebutnya, termasuk kapal yang ditumpangi Hannibal. Sang laksamana berhasil meloloskan diri dengan menggunakan sebuah sampan. Melihat semua itu, kapal-kapal Kartago selebihnya segera memencar, mencoba menyerang armada Romawi dari samping atau belakang. Pihak Romawi mampu memberikan perlawanan dan merampas 20 kapal lagi.[keterangan 7] Kapal-kapal Kartago yang tersisa berhenti menyerang. Karena lebih laju daripada kapal-kapal Romawi, kapal-kapal tersebut dengan mudah dapat lolos dari kejaran kapal-kapal Romawi. Duilius selanjutnya berlayar ke Segesta untuk membebaskan kota yang sudah dikuasai pihak Romawi itu dari kepungan pasukan Kartago.[95]
Sejak awal tahun 262 SM, kapal-kapal Kartago sudah menyerbu daerah pesisir Italia dari pangkalan-pangkalan mereka di Sardinia dan Korsika.[97] Seusai pertempuran Mylae, pada tahun 259 SM, konsul Lucius Cornelius Scipio memimpin pelayaran sebagian armada Romawi ke Aléria di Korsica dan berhasil merebutnya. Ia selanjutnya menyerang Ulbia di Sardinia, tetapi dikalahkan Kartago,[77] dan Aléria kembali dikuasai Kartago.[98] Pada tahun 258 SM, satu armada Romawi yang lebih kuat menggempur armada Kartago yang lebih kecil dalam Pertempuran Sulci di perairan lepas pantai Sulci, kawasan barat Sardinia. Armada Kartago mengalami kekalahan yang sangat merugikan mereka. Hannibal Gisco, panglima Kartago yang menelantarkan anak buahnya dan melarikan diri ke Sulci, kemudian hari dibekuk dan disalibkan anak buahnya sendiri. Meskipun berhasil memenangkan pertempuran, pasukan Romawi – yang berusaha menyerang Sardinia maupun Sisilia dalam waktu yang bersamaan – tidak berhasil merebut kota Sulci, dan usaha menyerang Sardinia yang dikuasai Kartago perlahan-lahan mengendur.[77]
Pada tahun 257 SM, armada Romawi kebetulan sedang berlabuh di perairan lepas pantai Tyndaris, timur laut Sisilia, ketika armada Kartago – yang tidak menyadari kehadiran armada Romawi – berlayar lewat dalam formasi renggang. Panglima Romawi, Gaius Atilius Regulus, langsung memerintahkan penyerbuan, sehingga pecahlah Pertempuran Tyndaris. Karena pertempuran timbul secara mendadak, kapal-kapal Romawi dikerahkan secara tidak beraturan. Armada Kartago menanggapi dengan segera, menyeruduk dan menenggelamkan sembilan dari sepuluh kapal terdepan Romawi. Sesudah kekuatan tempur utama armada Romawi sampai di tengah kancah pertempuran, delapan kapal Kartago berhasil ditenggelamkan dan sepuluh lainnya dapat direbut. Armada Kartago yang tersisa segera mundur dan berhasil meloloskan diri tanpa dapat dikejar karena kapal-kapalnya lebih laju daripada kapal-kapal Romawi, sehingga dapat menghindari kerugian yang lebih besar.[99] Pasukan Romawi selanjutnya menyerbu Kepulauan Lipara dan Pulau Malta.[100]
Menginvasi Afrika
[sunting | sunting sumber]Kemenangan di Mylae dan Sulci maupun kejenuhan akibat situasi buntu di Sisilia mendorong pihak Romawi untuk mengadopsi strategi berbasis kelautan dan mulai menyusun rencana untuk menginvasi wilayah inti Kartago di Afrika Utara, dan dengan demikian mengancam kota Kartago (dekat kota Tunis).[101] Kedua belah pihak bertekad menjadi negara penguasa laut, dan mencurahkan dana maupun sumber daya manusia dalam jumlah besar untuk merawat serta memperbesar kekuatan tempur angkatan laut mereka.[102][103] Armada Romawi yang terdiri atas 330 kapal perang dan angkutan-angkutan laut jenis lain yang tidak diketahui jumlahnya bertolak dari Ostia, pelabuhan Roma, pada awal tahun 256 SM, di bawah pimpinan Marcus Atilius Regulus dan Lucius Manlius Vulso Longus, konsul-konsul yang menjabat pada tahun itu.[104] Kira-kira 26.000 legiuner dari pasukan-pasukan Romawi di Sisilia dinaikkan ke kapal tidak lama sebelum invasi dimulai. Kedua konsul berencana berlayar ke Afrika dan menginvasi daerah yang sekarang bernama Tunisia.[61][105][106]
Begitu mengetahui niat Roma, Kartago segera mengerahkan seluruh kapal perang mereka yang berjumlah 350 buah ke perairan lepas pantai selatan Sisilia di bawah pimpinan Hanno Agung dan Hamilcar untuk mencegat armada Romawi. Karena melibatkan 680 kapal perang yang mengangkut sebanyak-banyaknya 290.000 awak kapal dan prajurit laut, Pertempuran Tanjung Ecnomus mungkin sekali adalah pertempuran laut terbesar sepanjang sejarah dari segi jumlah pejuang yang terlibat.[107][108][109] Pertempuran ini diawali serangan armada Kartago yang mengandalkan keunggulan mereka di bidang pelayaran.[110][111] Sesudah sehari bertempur membabi buta, armada Kartago akhirnya dikalahkan. Kartago kehilangan 30 kapal yang tenggelam dan 64 kapal yang dirampas pasukan Romawi, sementara armada Romawi hanya kehilangan 24 kapal yang ditenggelamkan armada Kartago.[112]
Seusai Pertempuran Tanjung Ecnomus, angkatan bersenjata Romawi di bawah pimpinan Regulus mendarat di Afrika, tidak jauh dari kota Aspis (sekarang Kelibia) yang terletak di Tanjung Bon, dan segera menyerbu desa-desa di sekitar kota Kartago. Sesudah pengepungan yang berlangsung singkat, Aspis akhirnya dapat direbut.[113][114] Sebagian besar kapal-kapal Romawi berlayar kembali ke Sisilia, meninggalkan Regulus bersama 15.000 prajurit pejalan kaki dan 500 prajurit berkuda untuk meneruskan peperangan di Afrika. Regulus selanjutnya mengepung kota Adis.[114] Kartago sudah menarik pulang Hamilcar dari Sisilia bersama 5.000 prajurit pejalan kaki dan 500 prajurit berkuda. Hamilcar, Hasdrubal, dan seorang lagi panglima Kartago yang bernama Bostar ditugaskan bersama-sama memimpin angkatan perang dengan banyak prajurit berkuda serta gajah perang, dan kira-kira sebanding kekuatannya dengan angkatan perang Romawi. Pasukan Kartago berkemah di sebuah bukit dekat Adis.[115] Pasukan Romawi bergerak pada malam hari dan melancarkan serangan dadakan ke perkemahan Kartago dari dua arah saat fajar menyingsing. Sesudah bertempur membabi buta, prajurit-prajurit Kartago akhirnya bubar melarikan diri. Tidak jelas berapa besar kerugian yang mereka derita, tetapi gajah-gajah perang dan pasukan berkuda Kartago berhasil lolos dan hanya sedikit yang menjadi korban.[116]
Pasukan Romawi menindaklanjuti kemenangan mereka dan merebut kota Tunis yang hanya berjarak 16 km (10 mil) dari kota Kartago. Dari Tunis, pasukan Romawi menyerbu dan menghancurkan daerah sekitar kota Kartago. Karena putus asa, Kartago mengajukan tawaran damai, tetapi Regulus menanggapinya dengan mengajukan syarat-syarat damai yang terlalu berat sehingga bangsa Kartago memutuskan untuk terus berjuang.[117] Tugas melatih prajurit dipercayakan kepada Ksantipos, pemimpin laskar sewaan dari Sparta.[118] Dengan 12.000 prajurit pejalan kaki, 4.000 prajurit berkuda, dan 100 ekor gajah perang, Ksantipos berhasil mengalahkan pasukan Romawi dalam Pertempuran Tunis pada tahun 255 SM. Kira-kira 2.000 prajurit Romawi mundur ke Aspis; 500 prajurit, termasuk Regulus, ditawan pasukan Kartago; dan selebihnya tewas terbunuh. Karena khawatir panglima-panglima Kartago akan dengki melihat pencapaiannya, Ksantipos lekas-lekas mengambil upahnya dan pulang ke Yunani.[118] Bangsa Romawi memberangkatkan searmada kapal untuk menyelamatkan prajurit-prajurit mereka yang masih hidup, tetapi kapal-kapal itu dicegat armada Kartago di perairan lepas pantai Tanjung Bon (di timur laut Tunisia sekarang). Dalam Pertempuran Tanjung Hermaeum, armada Romawi berhasil mengalahkan armada Kartago, dan merampas 114 kapal mereka.[119][keterangan 8] Armada Romawi diamuk badai dalam pelayaran pulang ke Italia, sehingga kehilangan 384 dari 464 kapal mereka, bersama 100.000 prajurit yang kebanyakan adalah prajurit-prajurit sekutu Latini.[119][120][121] Kemungkinan besar pemasangan perangkat corvus membuat kapal-kapal Romawi tidak laik laut. Sesudah musibah ini, peninggalan-peninggalan tertulis bangsa Romawi tidak lagi menyebut-nyebut pemakaian corvus.[122]
Sisilia 255-248 SM
[sunting | sunting sumber]Setelah kehilangan sebagian besar kapal dalam badai pada tahun 255 SM, bangsa Romawi segera membangun ulang armada mereka dengan tambahan 220 kapal baru.[123][124] Pada tahun 254 SM, pasukan Kartago menyerbu dan merebut Akragas, tetapi karena tidak yakin dapat mempertahankannya, kota itu mereka tinggalkan sesudah dibumihanguskan dan dirubuhkan tembok-temboknya.[125][126] Sementara itu, pasukan Romawi menyerang Sisilia dengan tekad meraih kemenangan mutlak. Seluruh kapal armada Romawi, di bawah pimpinan kedua konsul, menyerbu Panormus pada awal tahun itu. Kota Panormus dikepung dan diblokade, perkakas-perkakas pengepungan dipasang untuk membobol temboknya. Sesudah tembok kota Panormus berhasil dibobol, pasukan Romawi masuk menyerbu ke dalam, merebut kawasan pinggir kota, dan membantai warganya tanpa ampun. Kawasan pusat kota buru-buru menyerah. 14.000 warga Panormus yang berduit menebus diri mereka sendiri, sementara 13.000 warga selebihnya dijual sebagai budak. Sebagian besar daerah pedalaman barat Sisilia sudah dikuasai pasukan Romawi. Baik Ietas, Solous, Petra, maupun Tyndaris mengupayakan kesepakatan damai dengan Roma.[127]
Pada tahun 253 SM, Roma sekali lagi melirik Afrika, dan beberapa kali melancarkan serbuan ke sana. Dari 220 kapal yang mereka kerahkan, armada Romawi kehilangan 150 kapal lantaran diamuk badai dalam pelayaran pulang seusai menyerbu pesisir Afrika Utara di sebelah timur kota Kartago. Republik Roma membangun ulang armada mereka.[123] Tahun berikutnya, Roma mengalihkan perhatiannya ke kawasan barat laut Sisilia. Sebuah ekspedisi laut dikirim ke Lilybaeum. Dalam pelayaran menuju tempat tujuan, pasukan Romawi menyempatkan diri untuk merebut dan membakar kota Selinous dan kota Heraclea Minoa yang dikuasai Kartago, tetapi pada akhirnya gagal merebut Lilybaeum, sasaran utamanya. Pada tahun 252 SM, pasukan Romawi merebut Thermae dan Lipara yang terisolasi sejak Panormus jatuh ke tangan mereka, tetapi menghindari pertempuran pada tahun 252 dan 251 SM. Menurut Polibios, pasukan Romawi tidak berani menghadapi gajah-gajah perang yang didatangkan pasukan Kartago dengan kapal ke Sisilia.[128][129]
Menjelang akhir musim panas tahun 251 SM,[131] panglima Kartago, Hasdrubal – yang pernah bertempur melawan Regulus di Afrika – mendengar bahwa salah seorang konsul telah meninggalkan Sisilia untuk melewatkan musim dingin bersama separuh pasukannya. Ia memimpin pasukan Kartago menuju Panormus dan menghancurkan desa-desa disekitarnya.[129][132][133] Prajurit-prajurit Romawi yang sedang disebar mengumpulkan panenan segera berlindung di dalam kota Panormus. Hasdrubal mengerahkan sebagian besar pasukannya, termasuk gajah-gajah, mendekati tembok kota Panormus. Panglima Romawi, Lucius Caecilius Metellus, mengerahkan prajurit-prajurit penggempur untuk mengacaukan pasukan Kartago. Lembing-lembing yang dipakai para prajurit penggempur diambil dari cadangan lembing yang sudah lama ditimbun di dalam kota. Tanggul-tanggul tanah di sekitar Panormus, yang didirikan sewaktu pasukan Romawi mengepung kota itu, membuat gajah-gajah perang kesulitan mendekati tembok kota. Karena dihujani lembing tanpa dapat membalas, gajah-gajah itu lari menerobos pasukan pejalan kaki Kartago di belakang mereka. Metellus selanjutnya mengerahkan sepasukan besar prajurit Romawi untuk menggempur dan mencerai-beraikan pasukan sayap kiri Kartago. Prajurit-prajurit Kartago akhirnya bubar melarikan diri. Meskipun berhasil merampas sepuluh ekor gajah, Metellus tidak mengizinkan pasukan Romawi untuk memburu prajurit-prajurit musuh.[134] Sumber-sumber semasa tidak memerinci kerugian yang diderita kedua belah pihak, dan para sejarawan modern menyangsikan keterangan dari sumber-sumber terkemudian bahwasanya Kartago kehilangan 20.000 sampai 30.000 prajurit.[135]
Kemenangan di Panormus mendorong pasukan Romawi untuk menyerang kota Lilybaeum, pangkalan utama Kartago di Pulau Sisilia. Pada tahun 249 SM, sepasukan besar prajurit Romawi di bawah pimpinan Publius Claudius Pulcher dan Lucius Junius Pullus, konsul-konsul yang menjabat pada tahun itu, dikerahkan mengepung kota Lilybaeum. 200 kapal milik armada baru Romawi dikerahkan untuk memblokade pelabuhannya.[136] Saat blokade baru dimulai, 50 quinqueremis Kartago disiagakan di perairan lepas pantai Kepulauan Aegates, 15–40 kilometer (9–25 mil) di sebelah barat Sisilia. Begitu angin barat berhembus kencang, kapal-kapal Kartago melaju ke Lilybaeum tanpa dapat dihalang-halangi kapal-kapal blokade Romawi, dan menurunkan pasukan maupun perbekalan dalam jumlah besar. Kapal-kapal itu menyelinap meninggalkan pelabuhan pada malam hari, mengangkut keluar pasukan berkuda Kartago dari Sisilia.[137][138] Pasukan Romawi menutup jalur darat menuju Lilybaeum dengan perkemahan yang dibentengi tanggul tanah dan pagar kayu. Jalur masuk ke pelabuhan hendak mereka tutup dengan alangan kayu, tetapi digagalkan arus dan ombak.[139] Garnisun Kartago terus dipasok lewat kapal-kapal penyelinap blokade, yakni quinqueremis-quinqueremis yang ringan dan lincah berolah gerak serta diawaki pandu-pandu berpengalaman.[140]
Pulcher memutuskan untuk menyerang armada Kartago yang sedang berlabuh di Drepana (sekarang Trapani), tidak jauh dari Lilybaeum. Kapal-kapal Romawi berlayar malam hari dalam rangka melancarkan serangan kejutan, tetapi tercerai berai di dalam kegelapan. Laksamana Adherbal berhasil membawa kapal-kapal Kartago berlayar ke laut lepas sebelum terperangkap di pelabuhan, dan membalas gempuran armada Romawi dalam Pertempuran Drepana. Sesudah terdesak ke pantai dan seharian bertempur sengit, armada Romawi akhirnya dikalahkan kapal-kapal Kartago yang lebih lincah berolah gerak dan diawaki pelaut-pelaut kawakan. Kemenangan di Drepana merupakan kemenangan terbesar yang dapat diraih armada Kartago sepanjang Perang Punik Pertama berlangsung.[141] Pihak Kartago berbalik menyerang, dan kembali menang telak atas armada Romawi dalam Pertempuran Phintias, tetapi tidak mampu menyingkirkan bangsa Romawi dari perairan.[142] Selang tujuh tahun kemudian barulah Roma kembali mampu mengerahkan armada yang cukup kuat, sementara pada Kartago sudah menghentikan pemakaian sebagian besar kapal-kapalnya demi penghematan dan membebastugaskan para awaknya.[143][144]
Kesudahan
[sunting | sunting sumber]Pada tahun 248 SM, tinggal dua kota di Sisilia yang masih dikuasai Kartago, yakni Lilybaeum dan Drepana. Kedua-duanya dilindungi benteng yang kukuh dan terletak di pantai barat, sehingga dapat dikirimi pasokan perbekalan maupun pasukan pengganti tanpa dapat dihalang-halangi pasukan Romawi yang lebih unggul di darat.[83][145] Ketika Hamilcar Barca[keterangan 9] dipercaya memimpin pasukan Kartago di Sisilia pada tahun 247 SM, ia hanya diserahi sepasukan kecil prajurit, dan kapal-kapal armada Kartago ditarik satu demi satu. Perseteruan antara pasukan Romawi dan pasukan Kartago menurun sampai ke taraf operasi-operasi militer kecil-kecilan di darat, yang sejalan dengan strategi Kartago. Hamilcar menerapkan taktik-taktik unsur tempur terpadu dalam melancarkan strategi Fabius dari pangkalannya di Eryx, sebelah utara Drepana. Perang bergerilya semacam ini membuat legiun Romawi terpaku di tempat sehingga Kartago dapat mempertahankan keberadaan daerah kekuasaanya di Sisilia.[147][148][149]
Sesudah 20 tahun lebih berperang, kemampuan pendanaan maupun jumlah prajurit kedua negara akhirnya anjlok.[150] Salah satu bukti kesulitan keuangan yang dihadapi Kartago adalah permohonan pinjaman 2.000 talenta perak[keterangan 10] yang mereka ajukan kepada Kerajaan Mesir Ptolemaios tetapi tidak dikabulkan.[151] Roma juga sudah berada di ambang kebangkrutan. Selain itu, populasi warga pria dewasa, penyumbang sumber daya manusia untuk angkatan laut maupun legiun Romawi, menurun 17 persen sejak perang meletus.[152] Menurut Adrian Goldsworthy, penurunan jumlah sumber daya manusia negara Republik Roma sudah mencapai taraf yang "sangat mengkhawatirkan".[153]
Menjelang akhir tahun 243 SM, majelis tua-tua bangsa Romawi memutuskan untuk membangun armada baru karena sadar bahwa pasukan Romawi hanya mungkin merebut Drepana dan Lilybaeum jika blokade juga dilakukan di perairan.[154] Karena kas negara sudah menipis, majelis tua-tua berikhtiar mendekati orang-orang kaya di Roma. Tiap-tiap hartawan diminta mendanai pembuatan satu buah kapal. Dana yang mereka gelontorkan bakal diganti sesudah pemerintah menerima pembayaran pampasan perang yang akan dipaksakan kepada Kartago begitu perang dimenangkan. Ikhtiar ini menghasilkan satu armada baru yang terdiri atas kira-kira 200 quinqueremis yang dibangun, diperlengkapi, dan diawaki tanpa menghabiskan sepeser pun uang negara.[155] Untuk membuat kapal-kapal armada baru ini, bangsa Romawi mencontohi sebuah kapal penyelinap blokade berkualitas istimewa yang berhasil mereka rampas dari pihak Kartago.[154] Bangsa Romawi ketika itu sudah berpengalaman membangun kapal, dan dengan meniru sebuah kapal yang sudah tidak diragukan kualitasnya, dihasilkanlah kapal-kapal quinqueremis berkualitas tinggi.[156] Kapal-kapal baru ini tidak lagi diperlengkapi dengan corvus sehingga lebih laju dan lincah berolah gerak,[154] tetapi karena itu pula taktik tempur harus diganti. Supaya dapat mengalahkan pihak Kartago, mereka harus menjadi pelaut-pelaut yang unggul, alih-alih prajurit-prajurit darat yang unggul.[157][158][159]
Bangsa Kartago membangun armada baru yang lebih besar untuk dipakai mengirim perbekalan ke Sisilia, dan nantinya akan ditumpangi sebagian besar prajurit angkatan darat Kartago di Sisilia yang akan diberdayakan menjadi prajurit laut. Armada baru ini dicegat armada Romawi di bawah pimpinan Gaius Lutatius Catulus dan Quintus Valerius Falto. Dalam pertempuran sengit di perairan Kepulauan Aegates, prajurit-prajurit Romawi yang lebih terlatih berhasil mengalahkan armada Kartago yang berawak terbatas dan kurang terlatih.[160][161] Sesudah memenangkan pertempuran laut ini secara mutlak, pasukan Romawi melanjutkan operasi-operasi darat di Sisilia dalam rangka merebut Lilybaeum dan Drepana.[162] Majelis tua-tua bangsa Kartago menolak menggelontorkan sumber-sumber daya yang dibutuhkan untuk membangun dan mengawaki sebuah armada baru.[163] Mereka malah memerintahkan Hamilcar untuk mengupayakan perundingan damai dengan Roma. Hamilcar mendelegasikan tugas ini kepada bawahannya, Gisco.[163][164] Perundingan damai berakhir dengan penandatanganan Perjanjian Lutatius yang menyudahi Perang Punik Pertama. Pihak Kartago diwajibkan segera angkat kaki dari Sisilia, menyerahkan seluruh tawanan yang mereka tangkap selama perang berlangsung, dan mengangsur pembayaran ganti rugi sebesar 3.200 talenta perak[keterangan 11] dalam jangka waktu sepuluh tahun.[160]
Pascaperang
[sunting | sunting sumber]Karena berlangsung selama 23 tahun, Perang Punik Pertama menjadi perang terlama sepanjang sejarah Romawi-Yunani, dan perang laut terbesar sepanjang sejarah Dunia Kuno.[165] Seusai perang, Kartago berusaha mengelak menuntaskan pembayaran upah laskar-laskar asing yang sudah ikut berjuang. Laskar-laskar asing akhirnya memberontak, dan banyak kelompok masyarakat yang tidak puas terhadap pemerintah ikut bergabung.[166][167][168] Sesudah bersusah payah, pemerintah Kartago akhirnya dapat menumpas pemberontakan ini dengan cara-cara yang cukup kejam. Pada tahun 237 SM, Kartago berancang-ancang melancarkan ekspedisi militer untuk merebut kembali Pulau Sardinia yang sudah jatuh ke tangan pemberontak.[169][170] Dengan sinisnya Republik Roma mengumumkan bahwa langkah Kartago itu mereka anggap sebagai tindakan perang. Demi pulihnya perdamaian, Kartago diwajibkan menyerahkan Sardinia dan Korsika, serta membayar tambahan ganti rugi sebesar 1.200 talenta perak.[keterangan 12] Karena kelelahan berperang selama 30 tahun, Kartago memutuskan untuk menuruti tuntutan Roma ketimbang kembali terlibat konflik. Pembayaran tambahan serta pelepasan Sardinia dan Korsika dijadikan pasal baru di dalam perjanjian damai yang sudah disepakati kedua negara.[1][171] Tindakan-tindakan Roma ini membuat Kartago meradang, alih-alih pasrah seperti sangkaan Roma, dan diduga merupakan salah satu faktor penyebab meletusnya Perang Punik II.[171]
Kepemimpinan Hamilcar Barca yang menonjol dalam usaha penumpasan pemberontakan laskar-laskar asing dan kelompok-kelompok pemberontak Afrika melambungkan derajat maupun kekuasaan keluarga Barca. Pada tahun 237 SM, Hamilcar memimpin ekspedisi militer yang bertujuan meluaskan wilayah kedaulatan Kartago di kawasan selatan Iberia (sekarang Spanyol). Banyak prajurit di dalam pasukan ekspedisi militer itu adalah bekas anak buahnya dalam Perang Punik Pertama. Selama 20 tahun berikutnya, kawasan selatan Iberia menjadi semacam tanah perdikan semi-otonom milik keluarga Barca sekaligus pemasok sebagian besar perak yang dikirim ke Roma sebagai pembayaran ganti rugi.[172][173]
Bagi Roma, akhir Perang Punik Pertama menandai awal ekspansinya ke luar Jazirah Italia. Pulau Sisilia menjadi Provincia Sicilia, daerah jajahan (provincia) Roma yang pertama. Seorang purnawirawan pretor diangkat menjadi kepala pemerintahan daerah itu. Kemudian hari, Sisilia menjadi daerah yang penting bagi Roma, karena merupakan sumber pasokan gandum.[1] Sardinia dan Korsika digabung menjadi satu provincia yang diperintah seorang pretor, dan juga dijadikan sumber pasokan gandum, meskipun Roma harus menempatkan sepasukan besar prajurit di provincia itu, sekurang-kurangnya selama tujuh tahun, karena pemerintah penjajah kewalahan menghadapi warga pribumi yang susah diatur.[174][175] Sirakusa dianugerahi kemerdekaan nominal dan status sekutu seumur hidup Raja Hiero II.[176] Sejak memenangkan Perang Punik Pertama, Roma tampil mengemuka sebagai negara dengan kekuatan militer paling unggul di kawasan barat Mediterania, dan lambat laun menjadi yang terunggul di seluruh kawasan Mediterania.[177] Bangsa Romawi membangun lebih dari 1.000 galai selama berlangsungnya Perang Punik Pertama. Pengalaman yang terkumpul selama mengerjakan, mengawaki, melatih, memasok perbekalan, dan merawat kapal-kapal sebanyak itu menjadi landasan kejayaan maritim Roma selama 600 tahun.[178] Meskipun Perang Punik Pertama sudah berakhir, masih belum jelas negara mana yang menguasai kawasan barat Mediterania, dan ketika Kartago mengepung kota Saguntum yang dilindungi Roma di kawasan timur Iberia pada tahun 218 SM, meletuslah Perang Punik II.[172]
Keterangan, rujukan, dan sumber
[sunting | sunting sumber]Keterangan
[sunting | sunting sumber]- ^ Sumber-sumber selain karya tulis Polibios dibahas Bernard Mineo dalam "Principal Literary Sources for the Punic Wars (apart from Polybius)".[17]
- ^ Jumlah ini dapat ditingkatkan menjadi 5.000 prajurit dalam situasi tertentu.[47]
- ^ Pasukan "penggertak" adalah pasukan yang dilatih dan dikerahkan untuk menerjang lawan secepat mungkin, dengan maksud membubarkan barisan lawan sebelum atau begitu terjadi kontak senjata.[49]
- ^ Senjata prajurit Spanyol adalah sebatang tombak-lempar berat yang kemudian hari diadopsi bangsa Romawi dan diberi nama pilum.[50]
- ^ Gajah-gajah ini pada umumnya memiliki tinggi 2,5 meter (8 kaki) dari kaki sampai ke pundaknya, dan berbeda dari gajah semak afrika yang lebih besar ukurannya.[54]
- ^ 100 talenta perak kira-kira sama dengan 26.000 kilogram (26 ton panjang) perak.[71]
- ^ Angka-angka ini bersumber dari keterangan Polibios. Sumber-sumber kuno lainnya menyajikan angka 30 atau 31 kapal yang dirampas dan 13 atau 14 kapal yang tenggelam.[96]
- ^ Menurut G. K. Tipps, mungkin saja keseluruhan 114 kapal tersebut dibawa armada Romawi dalam pelayaran pulang.[119]
- ^ Hamilcar Barca adalah ayah Hannibal.[146]
- ^ 2.000 talenta perak kira-kira sama dengan 52.000 kilogram (51 ton panjang) perak.[71]
- ^ 3.200 talenta perak kira-kira sama dengan 82.000 kilogram (81 ton panjang) perak.[71]
- ^ 1.200 talenta perak kira-kira sama dengan 30.000 kilogram (30 ton panjang) perak.[71]
Rujukan
[sunting | sunting sumber]- ^ a b c Sidwell & Jones 1997, hlm. 16.
- ^ a b Goldsworthy 2006, hlm. 20.
- ^ a b Tipps 1985, hlm. 432.
- ^ Shutt 1938, hlm. 53.
- ^ Walbank 1990, hlm. 11–12.
- ^ Lazenby 1996, hlm. x–xi.
- ^ Hau 2016, hlm. 23–24.
- ^ Goldsworthy 2006, hlm. 23.
- ^ Shutt 1938, hlm. 55.
- ^ a b Goldsworthy 2006, hlm. 21.
- ^ a b Goldsworthy 2006, hlm. 20–21.
- ^ Lazenby 1996, hlm. x–xi, 82–84.
- ^ Tipps 1985, hlm. 432–433.
- ^ Curry 2012, hlm. 34.
- ^ Hoyos 2015, hlm. 102.
- ^ Goldsworthy 2006, hlm. 22.
- ^ a b Mineo 2015, hlm. 111–127.
- ^ Goldsworthy 2006, hlm. 23, 98.
- ^ RPM Foundation 2020.
- ^ Tusa & Royal 2012, hlm. 12.
- ^ Pragg 2013.
- ^ a b Murray 2019.
- ^ Tusa & Royal 2012, hlm. 12, 26, 31–32.
- ^ Tusa & Royal 2012, hlm. 39.
- ^ Tusa & Royal 2012, hlm. 35–36.
- ^ Tusa & Royal 2012, hlm. 39–42.
- ^ Tusa & Royal 2012, hlm. 45–46.
- ^ Miles 2011, hlm. 157–158.
- ^ Bagnall 1999, hlm. 21–22.
- ^ Goldsworthy 2006, hlm. 29–30.
- ^ Miles 2011, hlm. 115, 132.
- ^ Goldsworthy 2006, hlm. 25–26.
- ^ Miles 2011, hlm. 94, 160, 163, 164–165.
- ^ Goldsworthy 2006, hlm. 69–70.
- ^ Warmington 1993, hlm. 165.
- ^ Bagnall 1999, hlm. 44.
- ^ Bagnall 1999, hlm. 42–45.
- ^ Rankov 2015, hlm. 150.
- ^ Scullard 2006, hlm. 544.
- ^ Starr 1991, hlm. 479.
- ^ Warmington 1993, hlm. 168–169.
- ^ Lazenby 1996, hlm. 48–49.
- ^ Bagnall 1999, hlm. 52.
- ^ Bagnall 1999, hlm. 52–53.
- ^ a b c d e Miles 2011, hlm. 179.
- ^ a b Warmington 1993, hlm. 171.
- ^ Bagnall 1999, hlm. 23.
- ^ Bagnall 1999, hlm. 22–25.
- ^ Jones 1987, hlm. 1.
- ^ a b c d Goldsworthy 2006, hlm. 32.
- ^ a b Koon 2015, hlm. 80.
- ^ a b Bagnall 1999, hlm. 9.
- ^ Bagnall 1999, hlm. 8.
- ^ Miles 2011, hlm. 240.
- ^ Lazenby 1996, hlm. 27.
- ^ Sabin 1996, hlm. 70, n. 76.
- ^ Goldsworthy 2006, hlm. 98.
- ^ Lazenby 1996, hlm. 27–28.
- ^ Goldsworthy 2006, hlm. 104.
- ^ Goldsworthy 2006, hlm. 100.
- ^ a b Tipps 1985, hlm. 435.
- ^ a b Casson 1995, hlm. 121.
- ^ Goldsworthy 2006, hlm. 102–103.
- ^ Casson 1995, hlm. 278–280.
- ^ de Souza 2008, hlm. 358.
- ^ a b Miles 2011, hlm. 178.
- ^ Wallinga 1956, hlm. 77–90.
- ^ Goldsworthy 2006, hlm. 100–101, 103.
- ^ a b Goldsworthy 2006, hlm. 82.
- ^ Goldsworthy 2006, hlm. 74.
- ^ a b c d Lazenby 1996, hlm. 158.
- ^ Erdkamp 2015, hlm. 71.
- ^ Goldsworthy 2006, hlm. 72–73.
- ^ Goldsworthy 2006, hlm. 77.
- ^ Warmington 1993, hlm. 171–172.
- ^ Miles 2011, hlm. 179–180.
- ^ a b c Bagnall 1999, hlm. 65.
- ^ Bagnall 1999, hlm. 65–66.
- ^ Lazenby 1996, hlm. 75, 79.
- ^ Goldsworthy 2006, hlm. 82–83.
- ^ Lazenby 1996, hlm. 75.
- ^ Lazenby 1996, hlm. 77–78.
- ^ a b Bagnall 1999, hlm. 64–66.
- ^ Goldsworthy 2006, hlm. 97.
- ^ Bagnall 1999, hlm. 66.
- ^ Goldsworthy 2006, hlm. 91–92, 97.
- ^ Goldsworthy 2006, hlm. 97, 99–100.
- ^ Murray 2011, hlm. 69.
- ^ Harris 1979, hlm. 184–185.
- ^ Miles 2011, hlm. 181.
- ^ Lazenby 1996, hlm. 67.
- ^ Lazenby 1996, hlm. 68.
- ^ Miles 2011, hlm. 182.
- ^ Lazenby 1996, hlm. 70–71.
- ^ a b Bagnall 1999, hlm. 63.
- ^ Lazenby 1996, hlm. 73–74.
- ^ Bagnall 1999, hlm. 58.
- ^ Rankov 2015, hlm. 154.
- ^ Goldsworthy 2006, hlm. 109–110.
- ^ Lazenby 1996, hlm. 78.
- ^ Rankov 2015, hlm. 155.
- ^ Goldsworthy 2006, hlm. 110.
- ^ Lazenby 1996, hlm. 83.
- ^ Tipps 1985, hlm. 434.
- ^ Walbank 1959, hlm. 10.
- ^ Lazenby 1996, hlm. 84–85.
- ^ Goldsworthy 2006, hlm. 110–111.
- ^ Lazenby 1996, hlm. 87.
- ^ Tipps 1985, hlm. 436.
- ^ Goldsworthy 2006, hlm. 112–113.
- ^ Tipps 1985, hlm. 459.
- ^ Bagnall 1999, hlm. 69.
- ^ Warmington 1993, hlm. 176.
- ^ a b Miles 2011, hlm. 186.
- ^ Goldsworthy 2006, hlm. 85.
- ^ Goldsworthy 2006, hlm. 86.
- ^ Goldsworthy 2006, hlm. 87.
- ^ a b Miles 2011, hlm. 188.
- ^ a b c Tipps 1985, hlm. 438.
- ^ Miles 2011, hlm. 189.
- ^ Erdkamp 2015, hlm. 66.
- ^ Lazenby 1996, hlm. 112, 117.
- ^ a b Miles 2011, hlm. 189–190.
- ^ Lazenby 1996, hlm. 114.
- ^ Lazenby 1996, hlm. 114–116, 169.
- ^ Rankov 2015, hlm. 158.
- ^ Bagnall 1999, hlm. 80.
- ^ Lazenby 1996, hlm. 118.
- ^ a b Rankov 2015, hlm. 159.
- ^ Crawford 1974, hlm. 292, 293.
- ^ Goldsworthy 2006, hlm. 93.
- ^ Lazenby 1996, hlm. 169.
- ^ Bagnall 1999, hlm. 82.
- ^ Bagnall 1999, hlm. 82–83.
- ^ Goldsworthy 2006, hlm. 93–94.
- ^ Miles 2011, hlm. 190.
- ^ Goldsworthy 2006, hlm. 117.
- ^ Bagnall 1999, hlm. 85.
- ^ Bagnall 1999, hlm. 84–86.
- ^ Goldsworthy 2006, hlm. 117–118.
- ^ Goldsworthy 2006, hlm. 117–121.
- ^ Bagnall 1999, hlm. 88–91.
- ^ Goldsworthy 2006, hlm. 121–122.
- ^ Rankov 2015, hlm. 163.
- ^ Goldsworthy 2006, hlm. 94–95.
- ^ Lazenby 1996, hlm. 165.
- ^ Lazenby 1996, hlm. 144.
- ^ Bagnall 1999, hlm. 92–94.
- ^ Goldsworthy 2006, hlm. 95.
- ^ Bringmann 2007, hlm. 127.
- ^ Bagnall 1999, hlm. 92.
- ^ Bagnall 1999, hlm. 91.
- ^ Goldsworthy 2006, hlm. 131.
- ^ a b c Miles 2011, hlm. 195.
- ^ Lazenby 1996, hlm. 49.
- ^ Goldsworthy 2006, hlm. 124.
- ^ Lazenby 1996, hlm. 150.
- ^ Casson 1991, hlm. 150.
- ^ Bagnall 1999, hlm. 95.
- ^ a b Miles 2011, hlm. 196.
- ^ Bagnall 1999, hlm. 96.
- ^ Goldsworthy 2006, hlm. 125–126.
- ^ a b Bagnall 1999, hlm. 97.
- ^ Lazenby 1996, hlm. 157.
- ^ Lazenby 1996, hlm. x.
- ^ Bagnall 1999, hlm. 112–114.
- ^ Goldsworthy 2006, hlm. 133–134.
- ^ Hoyos 2000, hlm. 371.
- ^ Goldsworthy 2006, hlm. 135.
- ^ Miles 2011, hlm. 209, 212–213.
- ^ a b Lazenby 1996, hlm. 175.
- ^ a b Collins 1998, hlm. 13.
- ^ Goldsworthy 2006, hlm. 152–155.
- ^ Hoyos 2015, hlm. 211.
- ^ Goldsworthy 2006, hlm. 136.
- ^ Allen & Myers 1890, hlm. 111.
- ^ Miles 2011, hlm. 213.
- ^ Goldsworthy 2006, hlm. 128–129, 357, 359–360.
Sumber
[sunting | sunting sumber]- Allen, William; Myers, Philip Van Ness (1890). Ancient History for Colleges and High Schools: Part II – A Short History of the Roman People. Boston: Ginn & Company. OCLC 702198714.
- Bagnall, Nigel (1999). The Punic Wars: Rome, Carthage and the Struggle for the Mediterranean. London: Pimlico. ISBN 978-0-7126-6608-4.
- Bringmann, Klaus (2007). A History of the Roman Republic. Cambridge, Inggris: Polity Press. ISBN 978-0-7456-3370-1.
- Casson, Lionel (1991). The Ancient Mariners (edisi ke-2). Princeton, New Jersey: Princeton University Press. ISBN 978-0-691-06836-7.
- Casson, Lionel (1995). Ships and Seamanship in the Ancient World. Baltimore, Maryland: Johns Hopkins University Press. ISBN 978-0-8018-5130-8.
- Collins, Roger (1998). Spain: An Oxford Archaeological Guide. Oxford: Oxford University Press. ISBN 978-0-19-285300-4.
- Crawford, Michael (1974). Roman Republican Coinage. Cambridge: Cambridge University Press. OCLC 859598398.
- Curry, Andrew (2012). "The Weapon That Changed History". Archaeology. 65 (1): 32–37. JSTOR 41780760.
- Hoyos, Dexter (2000). "Towards a Chronology of the 'Truceless War', 241–237 B.C.". Rheinisches Museum für Philologie. 143 (3/4): 369–380. JSTOR 41234468.
- Erdkamp, Paul (2015) [2011]. "Manpower and Food Supply in the First and Second Punic Wars". Dalam Hoyos, Dexter. A Companion to the Punic Wars. Chichester, Sussex Barat: John Wiley. hlm. 58–76. ISBN 978-1-119-02550-4.
- Goldsworthy, Adrian (2006). The Fall of Carthage: The Punic Wars 265–146 BC. London: Phoenix. ISBN 978-0-304-36642-2.
- Harris, William (1979). War and Imperialism in Republican Rome, 327–70 BC. Oxford: Clarendon Press. ISBN 978-0-19-814866-1.
- Hau, Lisa (2016). Moral History from Herodotus to Diodorus Siculus. Edinburgh: Edinburgh University Press. ISBN 978-1-4744-1107-3.
- Hoyos, Dexter (2015) [2011]. A Companion to the Punic Wars. Chichester, Sussex Barat: John Wiley. ISBN 978-1-119-02550-4.
- Jones, Archer (1987). The Art of War in the Western World. Urbana: University of Illinois Press. ISBN 978-0-252-01380-5.
- Koon, Sam (2015) [2011]. "Phalanx and Legion: the "Face" of Punic War Battle". Dalam Hoyos, Dexter. A Companion to the Punic Wars. Chichester, West Sussex: John Wiley. hlm. 77–94. ISBN 978-1-119-02550-4.
- Lazenby, John (1996). The First Punic War: A Military History. Stanford, California: Stanford University Press. ISBN 978-0-8047-2673-3.
- Miles, Richard (2011). Carthage Must be Destroyed. London: Penguin. ISBN 978-0-14-101809-6.
- Mineo, Bernard (2015) [2011]. "Principal Literary Sources for the Punic Wars (apart from Polybius)". Dalam Hoyos, Dexter. A Companion to the Punic Wars. Chichester, Sussex Barat: John Wiley. hlm. 111–128. ISBN 978-1-119-02550-4.
- Murray, William (2011). The Age of Titans: The Rise and Fall of the Great Hellenistic Navies. Oxford: Oxford University Press. ISBN 978-0-19-993240-5.
- Murray, William (2019). "The Ship Classes of the Egadi Rams and Polybius' Account of the First Punic War". Society for Classical Studies. Society for Classical Studies. Diakses tanggal 16 Januari 2020.
- Pragg, Jonathan (2013). "Rare Bronze Rams Excavated from Site of the Final Battle of the First Punic War". University of Oxford media site. Universitas Oxford. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2013-10-01. Diakses tanggal 2014-08-03.
- Rankov, Boris (2015) [2011]. "A War of Phases: Strategies and Stalemates". Dalam Hoyos, Dexter. A Companion to the Punic Wars. Chichester, West Sussex: John Wiley. hlm. 149–166. ISBN 978-1-4051-7600-2.
- "Battle of the Egadi Islands Project". RPM Nautical Foundation. 2020. Diakses tanggal 7 Oktober 2020.
- Sabin, Philip (1996). "The Mechanics of Battle in the Second Punic War". Bulletin of the Institute of Classical Studies. Supplement. 67 (67): 59–79. JSTOR 43767903.
- Scullard, H.H. (2006) [1989]. "Carthage and Rome". Dalam Walbank, F. W.; Astin, A. E.; Frederiksen, M. W.; Ogilvie, R. M. Cambridge Ancient History: Jilid 7, Bagian 2, Edisi ke-2. Cambridge: Cambridge University Press. hlm. 486–569. ISBN 978-0-521-23446-7.
- Shutt, Rowland (1938). "Polybius: A Sketch". Greece & Rome. 8 (22): 50–57. doi:10.1017/S001738350000588X. JSTOR 642112.
- Sidwell, Keith C.; Jones, Peter V. (1997). The World of Rome: An Introduction to Roman Culture. Cambridge; New York: Cambridge University Press. ISBN 978-0-521-38600-5.
- de Souza, Philip (2008). "Naval Forces". Dalam Sabin, Philip; van Wees, Hans; Whitby, Michael. The Cambridge History of Greek and Roman Warfare, Jilid 1: Greece, the Hellenistic World and the Rise of Rome. Cambridge: Cambridge University Press. hlm. 357–367. ISBN 978-0-521-85779-6.
- Starr, Chester (1991) [1965]. A History of the Ancient World. New York, New York: Oxford University Press. ISBN 978-0-19-506628-9.
- Tipps, G.K. (1985). "The Battle of Ecnomus". Historia: Zeitschrift für Alte Geschichte. 34 (4): 432–465. JSTOR 4435938.
- Tusa, Sebastiano; Royal, Jeffrey (2012). "The Landscape of the Naval Battle at the Egadi Islands (241 B.C.)". Journal of Roman Archaeology. Cambridge University Press. 25: 7–48. doi:10.1017/S1047759400001124. ISSN 1047-7594.
- Walbank, Frank (1959). "Naval Triaii". The Classical Review. 64 (1): 10–11. doi:10.1017/S0009840X00092258. JSTOR 702509.
- Walbank, F.W. (1990). Polybius. 1. Berkeley: University of California Press. ISBN 978-0-520-06981-7.
- Wallinga, Herman (1956). The Boarding-bridge of the Romans: Its Construction and its Function in the Naval Tactics of the First Punic War. Groningen: J.B. Wolters. OCLC 458845955.
- Warmington, Brian (1993) [1960]. Carthage. New York: Barnes & Noble, Inc. ISBN 978-1-56619-210-1.
Bacaan lanjutan
[sunting | sunting sumber]- Biggs, T. (2017). "Primus Romanorum: Origin Stories, Fictions of Primacy, and the First Punic War". Classical Philology. 112 (3): 350–367. doi:10.1086/692606. ISSN 0009-837X.
- Dexter, Hoyos (1998). Unplanned Wars: The Origins of the First and Second Punic Wars. Berlin; New York: Walter de Gruyter. ISBN 978-3-11-080835-3.
- Polibios (2020) [ca. 167–118 Pramasehi]. "Historiai". Situs Web Bill Thayer. Diterjemahkan oleh Paton, William Roger; Thayer, Bill. Universitas Chicago. Diakses tanggal 4 Mei 2020.