CSR pada Real Estate

CSR menjadi istilah yang sangat populer setelah dikeluarkannya Undang-Undang Perseroan Terbatas (UU PT) No.40 tahun 2007, khususnya pasal 74, yang mewajibkan seluruh perusahaan yang mengelola sumber daya alam untuk melakukan Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan (TJSL). Akan tetapi pemahaman sebagian besar masyarakat, CSR masih sebatas pemberian sumbangan dan donasi.

Ada satu kesepakatan dunia tentang Tanggung Jawab Sosial, yakni ISO 26000. ISO ini disepakati oleh lebih dari 160 negara, termasuk Indonesia. Dalam ISO ini disebutkan bahwa tanggung jawab sosial merupakan tanggung jawab organisasi atas dampak yang ditimbulkan dari keputusan dan aktivitasnya kepada masyarakat dan Iingkungan hidup dan berkontribusi pada pembangunan berkelanjutan.

Jadi melalui CSR, perusahaan harus mengurangi dampak negatif bisnis dan meningkatkan dampak positif, jadi CSR bukan hanya sebatas donasi dan kegiatan sosial untuk komunitas di luar perusahaan. Ruanglingkup TJS menurut 1SO 26000 adalah: tata kelola organisasi; Hak Asasi Manusia (HAM); praktek tenaga kerja; praktek bisnis yang adil; isu konsumen; lingkungan hidup; dan pelibatan dan pengembangan komunitas. Dari perumusan tersebut, dapat diketahui bahwa target TJS bukan hanya pemangku kepentingan di luar perusahaan, tetapi juga pemangku kepentingan di dalam perusahaan, yakni karyawan perusahaan/organisasi.

Dalam Kongres Climate Change di Paris pada akhir 2015 lalu disepakati bahwa industri realestat merupakan kelompok pengambil keputusan yang sangat berpengaruh di dunia dalam mengatasi persoalan pemanasan bumi. Hal ini disebabkan bangunan realestat mengkonsumsi sekitar 40 persen dari seluruh energi yang tersedia di bumi dan menghasilkan 30 persen green house gas emission per tahun.

Telah banyak terdapat panduan-panduan global bagi dunia realestat, misalnya Sustainable Realestat Investment, Sustainable Construction, Sustainable Design, IGCC (Investor Group on Climate Change), Green Building, dll. Panduan Sustainable Realestat Investment, disusun sebagai output dari kesepakatan kongres tersebut, yang ditujukan tidak hanya untuk kontraktor/pengembang tetapi juga investor dan pemerintah. Kepada investor dihimbau agar sebelum menentukan realestat mana yang akan dibeli, harus mempertimbangkan aspek lingkungan hidup, sosial dan tata kelola lingkungan (Environmental, Social and Governance/ ESG).

Sedangkan pengembang dipandu untuk membuat kota yang dimulai dengan sustainable design yang memperhatikan ESG juga, misalnya menggunakan bahan baku ramah lingkungan, efisien energi, aman bagi kesehatan penghuni gedung dan mengurangi polusi serta agar terwujud sustainable construction. Sustainable construction sering disebut juga dengan green construction. Separuh dari populasi dunia tinggal di daerah urban, sehingga sangat penting membangun sustainable building. Di Indonesia telah ini dapat GBCI (Green Building Council Indonesia).

CSR pada Real-Estate

Hammarby Sjostaddi, kota di Stockholm adalah salah satu contoh realestat yang sustainable. Daerah ini dahulu adalah pelabuhan terbengkalai dan kawasan industri yang kumuh. Oleh pemerintah Kota Stockholm diubah menjadi Urban Eco District. Di sini, apartemen di bangun hanya empat lantai dengan desain green building dan banyak jendela dan kipas angin. Pertimbangan utama dalam pemilihan bahan baku bangunan adalah ramah lingkungan dan tidak berbahaya.

Sumber listrik di apartemen berasal dari fuel cell, solar cell dan solar panel yang di pasang di atap dan di dinding. Energi yang digunakan 50 persen berasal dari para penghuni, yakni berasal dari limbah yang berasal dari toilet, mesin cuci, dapur, kamar mandi, yang dikonversi menjadi biofuel biogas. Energi terbarukan yang dihasilkan digunakan juga untuk transportasi umum di sekitar realestat.

Air minum diambil dari danau di sekitar realestat, yang tentunya diproses agar aman dikonsumsi. Sampah organik diubah menjadi pupuk, sampah yang berbahaya (hazardous) dan sampah elektronik didaur ulang dan diolah sebelum dibuang agar tidak beracun. Di sini partisipasi penghuni sangat ditekankan, salah satunya adalah harus memilah sampah. Contoh perusahaan realestat di Paris, Prancis yang sangat peduli CSR dan memperoleh banyak penghargaan global di bidang ini adalah ICADE. Perusahaan mempunyai strategi internal menjalankan CSR dengan fokus memberi kehidupan kepada kota dengan motto: "we bring life to the city".

Caranya dengan melakukan aksi bersama "we" untuk mewujudkan kehidupan CSR "life" di kota "city" yang merupakan ruang-lingkup keahlian mereka dengan pendekatan kolaborasi untuk meningkatkan kualitas hidup dan kualitas lingkungan hidup. Kegiatan CSR dimulai dari dalam perusahaan dengan cara tata kelola yang kolaborasi antara para karyawan dan dua Komite CSR yang khusus dibentuk. Perusahaan sangat memperhatikan kesejahteraan karyawan dan konsumen. Komitmen perusahaan dimulai dengan membentuk struktur internal yang menjalankan komitmen CSR, yakni: Komite Risk Management and Sustainable Development yang terdiri dari para anggota Board of Directors, yang bertugas mengawasi dan mengarahkan strategi CSR, dan Strategic CSR Orientation Committee ("COS CSR") yang menjalankan strategi CSR. lnformasi lengkap dapat dilihat pada Laporan Keberlanjutan yang dipublikasi 2015. Kegiatan CSR nya diantarnya dengan pemilihan bahan baku yang ramah lingkungan, penghematan energi, membina hubungan baik dengan konsumen dan membangun realestat yang mendekati akses transportasi umum.

Konteks Jakarta

Di Jakarta telah banyak dilakukan diskusi maupun seminar bagaimana mewujudkan Jakarta green/smart/sustainable city. Hasil diskusi menyatakan perlunya kolaborasi antara pemerintah dan masyarakat. Partisipasi masyarakat di kota Jakarta sangat diperlukan, misalnya harus mengubah perilakunya agar disiplin untuk tidak mengotori tempat tinggalnya sendiri. Banyak tantangan untuk mewujudkan sustainable city di Jakarta dan menjadi pengembang yang dapat mewujudkan sustainable realestat.

Ada Pergub DKI Jakarta No.112 tahun 2013 tentang Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan Dunia Usaha, yang disingkat menjadi TSLDU. Peraturan ini menyatakan bahwa CSR adalah kegiatan sukarela dan perusahaan mempunyai kebebasan mutlak dalam menentukan bentuk kegiatan, dana maupun lokasi pelaksanaan CSR. Selanjutnya dinyatakan, bahwa CSR bukan merupakan kewajiban/kompensasi/persyaratan/insentif atas diberikannya perizinan kepada perusahaan. Hal ini baik sekali karena dapat menjamin keamanan perusahaan dari oknum-oknum yang meminta dana CSR.

Peraturan ini juga menjelaskan ruang lingkup CSR, yakni: bina sosial dan budaya, ekonomi, fisik lingkungan dan penanggulangan bencana. Dalam Pergub ini juga dijelaskan bahwa dibentuk Forum TSLDU dengan Gubernur DKI sebagai pembina dan diketuai oleh dunia usaha. Peran forum ini adalah untuk menyatukan komitmen antara pemerintah dan perusahaan dan sinergi pelaksanaan CSR perusahaan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan kualitas lingkungan. Berdasarkan penjelasan tersebut secara implisit, CSR dalam konteks Pergub DKI ditujukan untuk kegiatan di luar perusahaan.

Selain itu ada Peraturan Gubernur No. 175/2015 tentang Pengenaan Kompensasi terhadap Pelampauan Nilai KLB dan Instruksi Gubernur Provinsi DK1 Jakarta no.87 tahun 2016 tentang Integrasi Kebijakan Skema Pembiayaan dari Kompensasi terhadap pelampauan nilai koefisien lantai bangunan dan skema TJLSDU ke dalam strategi pembiayaan rencana pembangunan daerah 2017. Pemda DKI Jakarta menginstruksikan kompensasi tersebut digunakan untuk membangun fasilitas publik DKI Jakarta. Jika yang dimaksud dengan "kompensasi pelampauan nilai KLB" sebetulnya merupakan kewajiban yang dikonversi menjadi partisipasi dalam pembangunan, sebaiknya jangan disebut sebagai CSR, karena CSR harus melampaui kepatuhan hukum (beyond compliance).


Untuk melihat atau menambahkan komentar, silakan login